Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Arab Saudi sedang menghadapi dilema terbesar di tengah wabah pandemi virus Corona yang tampaknya belum akan berakhir dalam beberapa bulan ke depan. Dilema itu adalah antara menunda pelaksanaan ibadah haji 1441H atau tetap melaksanakannya dengan ketentuan protokol kesehatan.
Seorang pejabat senior di Kementerian Haji dan Umrah Saudi mengatakan kepada British Financial Times (11/6/2020), bahwa pihak berwenang Saudi sedang mempertimbangkan membatalkan musim haji untuk pertama kalinya sejak tahun 1932. Pertimbangan utamanya, sejumlah kasus terserang virus Corona masih terus berlanjut di negara itu, bahkan telah melebihi 100.000 orang.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
“Kasus ini telah dipelajari dengan hati-hati dan berbagai skenario sedang dipertimbangkan. Keputusan resmi akan diambil dalam waktu sepekan ini (pertengahan hingga akhir Juni),” pejabat itu menambahkan.
Arab Saudi berada di bawah tekanan untuk melaksanakan atau membatalkan musim haji yang sudah dijadwalkan oleh seluruh negara yang telah memiliki daftar calon jamaah haji tahun ini.
Menurut laporan surat kabar Arabi 21, salah satu proposal yang dibahas adalah untuk memungkinkan sejumlah kecil peziarah untuk tetap melakukan ibadah haji, setelah mengambil tindakan pencegahan kesehatan yang diperlukan. Artinya adalah pembatasan jumlah jamaah haji dengan protokol pencegahan yang ketat.
Pemerintah Arab Saudi mulai mengambil langkah-langkah awal untuk memerangi virus Covod-19 setelah menemukan kasus pertama pada 2 Maret. Selanjutnya segera otoritas memberlakukan pembatasan perjalanan dan jam malam di seluruh kerajaan selama dua bulan. Pembatasan sempat dilonggarkan, tetapi kasus-kasus baru malah mulai meningkat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Lalu, Saudi pun menunda, bahkan memulangkan sejumlah rombongan jamaah umrah. Baik yang terjadwal, sudah di bandara negara masing-masing, sudah transit di negara kedua. Maupun jamah yang sudah sampai Saudi.
Sebelum ini Arab Saudi sudah menentukan jumlah peziarah dari masing-masing negara, dengan setiap pemerintah berusaha meningkatkan jumlah peziarah. Bahkan masa tunggu (waiting list) beberapa orang untuk melakukan ibadah tahunan ini telah mencapai 30 tahun.
Termasuk Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar, yang biasanya mengirim sekitar 200.000 jamaah tiap tahunnya. Pemerintah Indonesia dengan alasan pencegahan dan penyelamatan jiwa jamaah, memutuskan menunda pelaksanaan perjalanan haji tahun ini.
Indonesia kabarnya sempat membuat dua proposal, baik untuk menunda kewajiban, atau untuk mengurangi jumlahnya hingga 50%. Namun hingga saat ini, paling tidak sampai tulisan ini dibuat, pihak Arab Saudi belum membuka pintu untuk ziarah dari negara mana pun.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Sebelumnya pada akhir April, Arab Saudi telah menangguhkan akhir April untuk Umrah karena epidemi Corona, dan sebulan kemudian menyarankan umat Islam yang ingin melakukan haji tahun ini untuk tidak terburu-buru mempersiapkan diri, sehingga dapat memberi mereka klarifikasi lebih lanjut mengenai tingkat virus.
Pertimbangan Ekonomi
Arab Saudi berencana untuk memperluas pariwisata religius dan meningkatkan jumlah pengunjung menjadi 15 juta sepanjang tahun 2020. Pendapatan dari pelaksanaan Haji dan Umrah merupakan sumber anggaran utama, karena setiap tahunnya mampu menghasilkan pendapatan untuk Saudi sebanyak 12 miliar dolar AS (senilai Rp170,9 triliun).
Karena itu, menurut laporan Surat kabar Saudi Gazette, pembatalan musim haji tahun ini akan mendorong tekanan keuangan pada kerajaan terutama pada pemilik hotel dan perusahaan pariwisata di Mekah dan Madinah, perusahaan penerbangan, maupun para pekerja yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam pelayananan sekitar 2 juta jamaah haji.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Namun efek ekonomi bagi Kerajaan Saudi, menurut Dr. Ahmed Al-Shehri, ekonom Saudi, “Kebijakan ekonomi Saudi bergantung pada surplus moneter sebelumnya, yang merupakan keuntungan di Kerajaan dan negara-negara Teluk.”
Kebijakan Saudi sendiri, tampak dalam bentuk barunya, yang menempatkan manusia di garis depan, dalam arti lebih memprioritaskan melindungi warga negara dan penduduk, baru kemudian ekonomi.
Ia memberikan angka, Kerajaan telah menghabiskan hampir 8 persen dari PDB Saudi dalam krisis pandemi itu.
Menurut Al-Shehri, seperti dilaporkan Sputniknews Arabic, edisi Selasa (9 Juni 2020) pendapatan haji jika dibandingkan dengan PDB Kerajaan hanya persentase yang sangat kecil. Selain itu, haji adalah sektor jasa di Arab Saudi.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Secara umum diketahui bahwa sektor jasa sangat sensitif dan berfluktuasi dengan kondisi cuaca dan keputusan politik. Sehingga secara umum tidak ada masalah pada Ekonomi Saudi.
Ia menunjukkan bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh Arab Saudi mengenai ziarah dan upacara keagamaan adalah keputusan yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan dan lingkungan untuk peziarah dan bukan dari perspektif keuntungan ekonomi. Karena faktany, Saudi menghabiskan tagihan yang sangat tinggi pada layanan logistik dan layanan yang diberikan kepada para peziarah dalam waktu normal.
“Mengurangi jumlah adalah pilihan yang rasional dan logis. Itu tidak mengganggu emosi dan keputusan politik, itu hanya terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan orang-orang yang datang ke Arab Saudi,” ujarnya.
Maka jika Kerajaan mengambil keputusan semacam ini, itu secara logis dan ekonomis dibenarkan, karena negara menghadapi pandemi global, sehingga setiap keputusan yang berkaitan dengan ibadah tidak memiliki sensitivitas apa pun.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Al-Shehri menambahkan, meninggalkan sesuatu tanpa batasan justru akan menimbulkan bahaya bagi para peziarah itu sendiri. Karena sebagian besar yang datang lansia yang paling rentan terhadap bahaya, dan sebagian besar berasal dari negara-negara yang hampir seluruhnya terdampak virus Covid-19.
Karena itu, membuat kebijakan pelaksanaan ibadah haji tahun ini, saat pandemi Corona masih berlangsung, akan sangat berisiko bagi jutaan jamaah yang akan berkerumun di mana-mana.
Kerajaan Saudi tampaknya melihat bahwa pembatasan atau pembatalan pelaksanaan ibadah haji dari mancanegara, tidak ada hubungannya dengan masalah ekonomi dan politik. Landasannya tetap pada keamanan dan kesehatan.
Adapun masalah materi, itu tidak terlalu signifikan untuk menjadi bahan perttimbangan. Sebab, Saudi selaku pelayan jamaah haji, akan memerlukan dana tambahan yang jauh lebih besar dengan penerapan protokol layanan kesehatan dan logistik untuk peziarah haji.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Peluang besarnya adalah pelaksanaan ibadah haji secara terbatas dengan standar protokol ketat bagi jamaah dari kalangan pengurus dua masjd suci Masjdil Haram dan Masjid Nabawi, keluarga kerajaan dan pejabat tertentu, petugas masjid, kesehatan dan kebersihan, serta kalangan terbatas yang direkomendasikan otoritas haji Sudi. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin