Kedudukan Al-Qur’an dan Sunnah dalam Mengatasi Masalah-Masalah Kontemporer

(Foto: Hadis/MINA)

Oleh : Ustaz Umar Rasyid Hasan, Ketua Bidang Istinbat Majelis Qadha Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبِةِ لِلْمُتَّقِّيْنَ وَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلي الضالمين . وَلَا اِلَهَ اِلَّا اللهِ اِلَهَ الْأَوَلِيْنَ وَالْاَخِرِيْنَ وَقيوم السَّمَاوَاتِ وَالْاراضين وَمَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنَ . وَأَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعالَمِيْنَ . اَمَّا بَعْدُ

Dalam perjalanan sejarah diterapkannya Syariat dari masa ke masa, sama sekali tidak ada perubahan kebijakan yang dapat merubah (status ) syariat itu, sehingga melenceng jauh keluar dari rel yang semestinya, semenjak dari hulu sampai hilir tetap diberlakukan sama, tidak peduli saat hukum akan diberlakukan pada orang-orang yang memiliki pengaruh atau pada masyarakat biasa, termasuk di dalamnya pada kasus-kasus besar ataupun kecil.

Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam acapkali terjadi kasus besar dan kecil yang dialami langsung oleh masyarakat saat itu, meskipun kejadiannya sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan masyarakat sekarang.

Demikian pula terjadi kasus-kasus tersebut pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bin Al-Khothob, Utsman Bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhum ajma’iin, dalam pelaksanaan Hukum Syariat sama sekali tidak ada perbedaan, dan sejarah menyaksikan hal itu.

Adapun kasus-kasus kehidupan pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang terjadi dan dianggap pelik oleh Khalifah saat itu, baik pada KeKhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiiq dengan adanya ahlu Riddah dan kelompok yang memisahkan antara Sholat dan Zakat sehingga terjadi peperangan, atau sekalipun pada saat Umar Bin Al-Khothob menjadi Khalifah, yang pada zamannya persoalan bagi Waris menjadi suatu yang menyulitkan, sebagai contoh kasus Kalaalah dan Al-Umariyatain, yang mana baik pada kasus perang ahlu Riddah ataupun kasus Kalaalah dan Al-Umariyatain yang saat itu terasa sebagai kemunculan pertama masalah Kontemporer (Nawaazil), tetapi Hukum yang diberlakukan tetap berpijak pada hukum Syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Al-Qur’an dan As-Sunnah

Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber supremasi Hukum Syariat, solusi absolut, up to date sepanjang masa bagi kejumudan dan kebuntuan perkara yang sulit mendapatkan jalan keluar.

Al-Qur’an dan As-Sunnah senantiasa dipelajari, ditadaburi, dianalisis, ditijau ulang oleh para Alim Ulama’, selalu dipegang erat-erat oleh mereka, dan diajarkannya pada generasi penerus sebagai estafeta da’wah kenabian yang tidak mengenal lelah.

Namun amat manusiawi yang sulit dipungkiri, bahwa betapapun mereka kalangan para Alim hidup selalu bersama Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang selalu mereka pelajari dan ajarkan pada generasi penerusnya, tetapi tatkala pada kehidupan mereka terjadi kasus yang menyulitkan yang kasus dan masalahnya tidak mereka jumpai di dalam Kitab Suci Al-Qur’anul Kariem dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, mereka berkumpul merumuskan solusi mencari  jalan keluar, sekuat daya nalar yang mereka miliki, bekerja keras berfikir, adu argument sesama mereka, berdebat melalui penafsiran-penafsiran, melakukan pendekatan Hukum dari ayat satu ke ayat yang lain, pendekatan hukum dari riwayat satu ke riwayat yang lain, lelah, letih, tidak mereka pedulikan dan tidak jarang mereka melakukan pendekatan Qiyaas (analogi), Sehingga melahirkan kesepakatan Hukum yang diakui secara aklamasi utuh kesepakatan Ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, berupa IJMAA’ ULAMA’dan QIYAAS nya para Sahabat ridwanullah a’laihim ajma’iin.

Meskipun akhirnya melahirkan perbedaan cara pandang Fiqh (Furuu’) dan interpretasi logika yang sangat terasa ditubuh Ummat Islam, namun pada masalah Ushul mereka tetap bersepakat untuk sama dan sefaham.

Kedua dua Hukum ini diakui oleh seluruh ummat islam sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dengan demikian lengkaplah sudah demi menjaga keabsahan, kesempuranaan, dan kemuliaan Syariat Islam, Al-Islam itu sendiri terbentengi oleh empat (4) pilar Hukum Syariat, Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijmaa’ Ulamaa’ dan Qiyaas para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

قَالَ تَعَالَي : اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاّنَّا لَهُ لَحَفِظُوْنَ (سورة الحجر : 9)

“Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur’an), dan Kami pulalah yang menjaganya”

Hukum Syariat Islam

Sudah lumrah kita mengetahui, berbagai parian atau bentuk karakter masalah yang terjadi pada tubuh Ummat ini, baik ketika dimasa awwalnya sampai diakhirnya, semua itu tidak akan terlepas dari tinjauan Hukum Syariat Islam.

Apakah parian kasus yang terjadi atau bentuk karakter masalah itu masuk pada ranah al-wujuub (اَلْوُجُوْبَ), an-nadeb (اَلنَّدِب), al-haromah  ,(اَلْحَرَمَةَ)al-karoohah (اَلْكَرَاهَة), atau masuk pada katagori al-abaahah (اَلْاِبَاحَةَ) , Pada kalimat ibaahah terkadang para Ulama menggunakan kalimat at-takhyiir (اَلتَّخْيِيْرُ), yang berarti memilih.

Semua kejadian masalah akan bermuara pada lima (5) bentuk Hukum Syariat ini, tidak terkecuali pada besar atau kecilnya kasus, apakah pada perzinahan yang mengharuskan pelakunya dirajam atau dicambuk, pada pembunuhan yang mengharuskan Qishos atau pembayaran Diyaat, pada pencuri/perampok atau korupsi yang mengharuskan pelakunya dipotong tangan dll.

Termasuk didalamnya pada kasus-kasus an-nawaazil (اَلنَّوَازِل) kontemporer, baik pada ibadah sholat, shaum ramadhan, zakat dan haji, yang mana pada umumnya pada Ibadah-ibadah tersebut tidak sepi dari unsur kontemporer atau Nawaazil.

Seperti sholat di pesawat terbang yang akan menuju sebuah negeri yang siangnya itu terlalu panjang, atau pada seseorang yang meminum obat penahan haidl saat melakukan ibadah shaum ramadhan atau haji, atau pada kasus zakat profesi yang memancing banyak pro dan kontra, atau kasus bom bunuh diri, bayi tabung, demokrasi dan partai politiknya, dan perkara-perkara kekinian yang tidak luput dari persoalan kontemporer dan bernuansakan Ijtihadi. Dengan berdalih pada usul Fiqh :مَا لَا يُتِمَّ الْوَاجِبِ الا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ “ Tidak akan sempurna melakukan kewajiban terkecuali dengan menghadirkan sesuatu, maka hukum menghadirkannya itu adalah Wajib.”

Ijtihaad

Selama dunia ini masih ada dan kasus-kasus kehidupan pada komunitas Bani Adam akan selalu bermunculan, maka ruang Ijtihad pada systim kehidupan mereka akan terus berlangsung ada, hal ini mengingat bahwa Ad-Dienul Islamiy terbangun dari sesuatu yang mudah dan masuk akal, segala permasalahan yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan Ummat ini akan selalu mendapatkan jalan keluar dengan sebaik-baiknya.

قَالَ ابْنِ مَرْدَوَيْه : حَدَّثَنَا مُحَمَّدْ بن عبد الله بن حفص …..اِلَي عن ابن أبزي عن أبيه قال : كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا أَصْبَحَ قال : أَصْبَحْنَا عَلَي مِلَّةَ الاِسْلَامِ  وَكَلِمَةُ  الْاِخْلَاصِ  وَدِيْنِ نَبِيِّنَا  مُحَّمَدٍ  وَمِلَّةَ أَبِيْنَا  اِبْرَاهِيْمَ  حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ  .

Berkata Ibnu Mardawaih : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin Hafsh ….sampai kepada ibni Abziy dari Ayahnya : Berkata : “ Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam jika diwaktu pagi beliau berkata : “ Kami memasuki waktu pagi di atas Millah Al-Islam, dan kalimat yang ikhlas, dan agama nabi kami Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, dan diatas millahnya ayah kami Ibrohim dalam keadaan lembut dan bukan dari golongan orang-orang yang musyrik”.

وَقَالَ الْاِمَام أَحْمَدْ : عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا  اِنَّهُ  قَالَ : قِيْلَ  لِرَسُوْلِ اللهِ  صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ  أَيُّ الْاَدْيَانِ  أَحِبُّ اِلَي اللهِ تَعَالَي ؟  قَالَ :  الْحَنِيْفِيَّةُ  السَّمَحَةُ .

Dan berkata Imam Ahmad : Dari ibni Abbas RDA sesungguhnya dia berkata : “Dikatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, agama yang seperti apa yang paling sangat di sukai Allah Ta’alaa ?. Maka beliau menjawab : “ Yang lembut dan pengertian “.

اَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قال رسول الله  صلي الله  عليه  وسلم يَوْمَئِذٍ : لِتَعْلَمَ  يَهُوْدِ  أَنَّ فِي دِيْنِنَا  فَسِحَةٌ  ,  اِنِّي  أَرْسَلَتْ  بِحَنِيْفِيَّةٍ  سَمْحَةٍ  . رواه البخاري و مسلم .

Sesungguhnya A’isyah berkata : “Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda : “ Agar orang Yahudi mengetahui bahwa, didalam agama kami terdapat keleluasaan, Aku diutus untuk kelembutan dan pengertian “. Diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim.

Sesulit apapun masalah yang sedang dan akan dihadapi oleh Ummat Islam, pasti akan mendapat kemudahan sebagai gantinya, bahkan pada masalah Musibah sekalipun, kita dianjurkan berdoa yang isi dan Hikmah dari Do’a itu memohon pengganti yang lebih baik dari sebelum musibah itu terjadi.

اللَّهُمَّ  أَجْرَنِي  فِي  مُصِيْبَتِي  وَاخْلَفَ لِي  خَيْرًا  مِنْهَا

“Ya Allah berilah aku ganjaran kebaikan pada musibahku, dan gantikanlah dengan yang lebih baik dari nya “

فَاِنَّ مَعَ  الْعُسْرِ يُسْرًا  اِنَّ  مَعَ  الْعُسْرِ يُسْرًا  (سورة الانشراح : 5-6)

“Maka sesungguhnya dengan kesulitan itu ada kemudahan, sungguh dengan kesulitan itu ada kemudahan “.

Terbuka luasnya kesulitan ummat ini akan menjadi kemudahan, ini berarti masalah Ijtihad pada ummat inipun menjadi patokan, tolak ukur atau semacam barometer kemudahan pada setiap kali ummat ini mendapatkan perkara-perkara pelik dan sulit dipecahkan, dan hal ini akan berlaku sepanjang zaman masa selama dunia dan kehidupan manusia ini berlangsung.

Tentunya tergambar diantara kita, tidak semua masalah tiba-tiba perlu Ijtihad, kondisi seperti ini hanya akan berlaku manakala terjadi pada kesulitan yang serius, dan harus memenuhi kriteria persyaratan Ijtihad. Ketika tidak terpenuhi persyaratan Ijtihad, maka Ijtihad itu sendiri tertutup, dan itu bisa terbuka kemba-li  ketika persyaratannya telah terpenuhi, kapanpun, dimanapun dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan arti dari Ijtihad itu sendiri .

الْاِجْتِهَادُ فِي اللُّغَةِ  : بَذْلُ الْمَجْهُوْدِ  وَاسْتِفْرَاغِ  الْوَسْعِ  فِي  فِعْلِ  مِنَ  الْاَفْعَالِ ,  وَلاَ يَسْتَعْمَلُ  اِلَّا  فِيْمَا  فِيْهِ  كُلْفَةٍ  وَجُهْدٍ . فيقال :  اِجْتَهِدُ  فِي  حَمْلِ  حَجَرَ الرُّحَا  وَلَا  يقال :  اِجْتَهِدُ  فِي  حَمْلِ  خَرْذِلَةٌ.

Al-Ijtihaad menurut bahasa (Etimologi): Memberikan/ menghadirkan etos kerja yang sungguh-sungguh dan memberikan keleluasaan waktu/keadaan pada sebuah pekerjaan dari berbagai bentuk pekerjaan, dan perkara serupa ini tidak akan digunakan melainkan pada suatu keadaan yang berat dan sungguh-sungguh”.Lalu dikatakan : “Aku sedang bersungguh-sungguh mengangkat beban batu yang berat dan besar, dan tidak dikatakan : “Aku sedang bersungguh-sungguh mengangkat potongan-potongan daging yang kecil lagi remeh”.

Hukum dan Syarat Ijtihaad

Ditinjau dari karakter masalah yang terjadi, dan  Alim Ulama telah melakukan penelitian terhadap kasus yang sedang dihadapi, lalu menindak lanjuti Hukum yang akan diberlakukan pada setiap kejadian pada ummat, maka Hukum Ijtihaad terpusat pada tiga Hukum pilihan berdasarkan kesepakatan Ulama :

Pertama : Wajib A’in bagi yang bertanggung jawab atas kasus/masalah yang terjadi, dan dikhawatirkan kejadiannya berlalu tanpa kejelasan Hukum. Demikian juga jikalau kasus/masalah telah terjadi pada diri seseorang, dan dia ingin mengetahui bagaimana status Hukumnya.

Kedua : Wajib Kafaa’iy/kifaayah bagi yang bertanggungjawab atas kasus/masalah yang terjadi, dan tidak khawatir waktu kejadiannya berlalu. Maka dalam kondisi seperti ini jikalau ditinggalkan berdosa semuanya, dan jikalau ada yang mewakili-nya, maka mencukupi.

Ketiga : An-Nadeb (sunnah) untuk berijtihaad pada kasus/masalah yang belum terjadi, baik dipinta ataupun tidak dipinta.

Adapun Syarat Ijtihaad : Pertama : Adil, berlaku untuk semua kalangan ummat.

Kedua : Mengusai Ilmu Syar’iy dengan baik dan benar, Al-Qur’an dengan Uluum dan Tafsiirnya, Al-Hadits dengan Mushtholah dan Ar-Rijaalnya, Al-Fiqh dengan Ushuulnya dll.

Seorang MUJTAHID, tidak mesti hafal Al-Qur’an dan hafal ribuan Hadits meskipun hal itu merupakan KEUTAMAAN, namun ketika dia sanggup beristimbaat berdasarkan kemampuannya memahami Nash-Nash Al-Qur’an dan Al-hadits, dan berpijak pada Ijmaa’ Ulama (Konsensus), dan bersinergi dengan informasi Atsar Shohaabah (Analogi), maka apapun masalahnya/kasus atau problemnya akan selesai dengan baik dan benar.

Seperti kita maklumi bersama bahwa mayoritas manusia HARI INI cenderung pada maksiat yang beragam, terjerumus pada berbagai bentuk kerusakan, sehingga banyak ketimpangan, ketidakseimbangan antara urusan dunia dan akherat, kondisi serupa ini lebih diperparah lagi dengan munculnya kelompok yang memisahkan antara agama dan pemerintahan, akibat dari pengaruh pendidikan barat yang Sekuler, kelompok Liberal yang ingin hidup serba bebas seperti binatang bahkan lebih dari itu, kelompok Plural yang ruang kerjanya hanya mencampur adukan antara yang hak dengan yang batil.

Belum lagi munculnya berbagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang mengatasnamakan Islam, Aliran Ahmadiyah yang sampai sekarang keyakinan mereka belum berubah bahwa setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam itu masih boleh ada nabi lagi, Aliran Syi’ah yang sangat mengkhawatirkan dan menakutkan, bukan pada soal kawin mut’ahnya saja, tetapi pada kebiasaan mereka yang suka membunuh manusia, apalagi terhadap Ahli Sunnah Wal-Jamaa’ah sebagai musuh bebuyutan mereka, tidak henti-hentinya mereka melakukan apapun demi mencapai apa yang mereka inginkan, termasuk beberapa kasus peperangan yang terjadi di dunia saat-saat ini tidak lepas dari campur tangan dan sekenario mereka, di Suriah, Yaman, Mesir, Irak, dan bahkan Indonesia akan menjadi target sasaran berikutnya, dan mereka tidak segan-segan melakukan kerja sama dengan musuh Allah dan Rasul-Nya, seperti Amerika Serikat dan sekutunya karena memang mereka memiliki tujuan yang sama.

Ikhtitaaman

Watak, karakter, tabiat, manusia akan selalu berkembang dan berjalan mengikuti jalur-jalur kehidupan yang selamanya tidak mulus, muncul berbagai paradigma, pemikiran-pemikiran modern yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan para sahabatnya, dogma Agama yang disalah gunakan, bermunculannya kelompok liberal, plural, sekuler yang dapat melahirkan rasis, pasis dll.

Mau tak mau Ulama terlibat dan mereka memeras otak dan pikiran demi mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang dialami oleh banyak masyarakat, masalah kontemporer dalam agama, politik, dunia sosial bahkan budaya semua harus  mendapatkan solusi terbaik yang tidak bertabrakan dengan norma agama.

Nash-Nash yang Shoriih di dalam ayat-ayat muhkamaat yang mengandung kejela-san Hukum dari masalah yang terjadi, demikian pula pada ayat mutasyabbihaat yang dapat melahirkan pandangan darurat menjadi solusi Hukum terakhir sebatas kebutuhan.

الضَرُوْرَةُ  تُبِيْحُ  الْمَحْضُوْرَاتِ

“Kondisi Daruurat membolehkan sesuatu yang Haram menjadi Halal”

Karakteristik Al-Islam yang rahmatan lilaa’lamiin, cocok di segala zaman, sesuai dengan akal pikiran dan naluri manusia (sepanjang sehat), selalu akan menjadi Solusi pada permasalahan apapun yang terjadi, persoalan kekinian yang menjadi tren masyarakat baik pada dunia agama, politik dan berbagai bentuk muamalah, agama ini (Islam) akan selalu memperhatikan dan sekaligus memberikan jalan keluar yang baik dan benar, yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akherat.

Termasuk tren isu kontemporer (An-Nawaazil) yang sampai saat ini terus berkembang dan bermunculan, baik pada perkara besar ataupun kecil baik, perkara itu berasal dari timur tengah ataupun dari dalam negeri kita sendiri, sebagai contoh, Sholat dan Puasa di luar angkasa bagi Astronot, menggunakan air musta’mal yang di daur ulang sehingga bersih kembali, thowaf di luar mathoof, Melontar Jumroh pada dinding berbentuk oval dan tidak lagi pada bentuk tugu, dan lain-lain, semua ini akan bermuara pada Syariat Islam dan akan mendapatkan jalan keluar dengan segala kemudahan tanpa harus menabrak Hukum Syari’.

Wallaahu A’lam.

والحمد لله  أولا  و أخرا. وصلي الله  علي نبينا محمد وعلي  اله  وصحبه أجمعين

(R01/RS2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Tausiyah  ini disampaikan Ustaz Umar Rasyid Hasan dalam Tabligh Akbar Jama’ah Muslimin (Hizbullah) 1438 Hijriyah di Masjid At-Taqwa, Komplek Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, 24 Sya’ban 1438/21 Mei 2017.

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.