Kedudukan Rasul (Makanatur Rasul)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Sejatinya, setiap muslim faham dan kenal benar siapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Naif rasanya mengaku sebagai pengikut Muhammad Shallallahualaihi wa sallam, tapi cara berfikir, bertutur kata, berprilaku bahkan cara ber-Islam masih jauh dari contoh-contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beragama Islam ini bukan sekedar pengakuan lisan semata, tapi harus dibuktikan dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki yang istimewa bagi umat Islam. Namun, kedudukan beliau yang istimewa itu tidak disikapi oleh umat Islam dengan sikap ghuluw (berlebihan), sebagaimana sikap kaum nasrani yang mempertuhankan Nabi Isa ‘alaihissalam.

Umat Islam memposisikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara proporsional sebagaimana diajarkan sendiri oleh beliau. Dari ‘Ubaidillah bin Abdillah dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya.  (HR. Bukhari).

Dari Hadits di atas dapat disimpulkan, kedudukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah abdun min ‘ibadillah; seorang hamba (manusia biasa) dari sekian banyak hamba-hamba Allah Ta’ala. Yang membedakannya dengan hamba Allah Ta’ala lainnya adalah beliau rasuulun minal mursalin; seorang rasul (utusan Allah) dari sekian banyak rasul-rasul Allah lainnya.

Sebagai abdun min ‘ibadillah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada bedanya dengan manusia lain. Beliau adalah manusia biasa (insaanan), memiliki garis keturunan (nasaban), dan berjasad (jisman).

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’.”  (Qs. Al-Kahfi, 18: 110).

Oleh karena itu sebagai manusia biasa, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan aktivitas makan, minum, pergi ke pasar, beristeri, berniaga dan segala aktivitas manusia lainnya. Untuk mengetahui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba atau manusia biasa, dapat diketahui secara pasti dari as-siratun nabawiyyah (perjalanan hidup Nabi), khususnya di dalam fiqhus sirah (kajian tentang perjalanan hidup) beliau.

Sedangkan sebagai rasuulun minal mursalin, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tugas untuk ballaghar risalah (menyampaikan risalah) sebagai bentuk adaul amanah (penunaian amanah).

Seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Maidah, 5: 67).

Beliau pun bertugas menjadi imamul ummah (pemimpin umat). Hal ini menjadi salah satu bukti kebenaran firman Allah Ta’ala yang menyebutkan bahwa keturunan Ibrahim ‘alaihis salam akan dijadikan pemimpin-pemimpin yang membimbing di atas jalan kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.” (QS. Al-Anbiyaa: 73).

Untuk mengetahui Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasuulun minal mursalin dapat kita ketahui dengan jelas dari ad-da’watun nabawiyah (dakwah nabi), khususnya di dalam fiqhud da’wah (kajian tentang aktivitas dakwah) beliau.

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan as-sunnah. Dari segi bahasa ‘sunnah’ berarti jalan. Maksud dari sunnah Nabi adalah segala sesuatu yang diucapkan, disetujui dan diamalkan olehnya sebagai minhajul hayah (pedoman hidup) bagi manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“…Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah: 151).

As-sunnah adalah landasan fiqhul ahkam (kajian hukum) yang menjadi rujukan umat Islam dalam beramal atau mengambil keputusan, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)