Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kejahatan Zionis di Era Digital

Redaksi Editor : Rana Setiawan - 5 jam yang lalu

5 jam yang lalu

4 Views

Ilustrasi

Oleh Arif Ramdan, Jurnalis Kantor Berita MINA

TIDAK berselang lama setelah serangan pejuang Hamas, 7 Oktober di Israel, CEO Google Sundar Pichai mengeluarkan sebuah pernyataan di media sosial, yang menyatakan simpati pada warga Israel tanpa menyebutkan Palestina. Para eksekutif teknologi lainnya-termasuk dari Meta, Amazon, Microsoft, dan IBM-juga memberikan dukungan mereka untuk Israel.

Sejak saat itu, mereka tetap bungkam ketika tentara Israel membantai hampir 47.000 warga Palestina, termasuk lebih dari 14.500 anak-anak, menghancurkan ratusan sekolah dan semua universitas, serta menghancurkan rumah-rumah, infrastruktur kesehatan, masjid, dan situs-situs bersejarah dunia yang ada Palestina. Untuk melakukan penghancuran tingkat tinggi yang mengejutkan ini, militer penjajah Israel juga telah dibantu oleh program kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dirancang untuk menyasar target pejuang.

Google bersama dengan Amazon telah menandatangani kontrak senilai $1,2 miliar untuk layanan komputasi awan bagi pemerintah dan lembaga pertahanan Israel. Kedua perusahaan tersebut memberi Israel kapasitas untuk menyimpan, memproses, dan menganalisis data, termasuk pengenalan wajah, pengenalan emosi, biometrik, dan informasi demografis dalam apa yang dikenal sebagai Project Nimbus.

Baca Juga: Menjaga Kesehatan Saat Menghadiri Tabligh Akbar: Ini 7 Kiatnya

Perusahaan-perusahaan media sosial juga telah mengulurkan tangan kotor mereka untuk membantu penjajah Israel. Sebuah laporan dari pihak independent yang ditugaskan oleh Meta menemukan bahwa kebijakan ucapan Facebook dan Instagram menunjukkan bias terhadap warga Palestina. Praktik-praktik penyensoran terang-terangan terhadap warga Palestina yang sudah berlangsung lama ini terus berlanjut hingga saat ini.

Pada bulan Desember 2024, Human Rights Watch melaporkan bahwa Meta terus menindak postingan pro-Palestina di Facebook dan Instagram. Dari 1.050 kasus yang ditinjau, 1.049 di antaranya melibatkan konten damai yang mendukung Palestina yang disensor atau diberangus -meskipun mengizinkan sejumlah besar konten pro-Palestina-dan satu kasus penghapusan konten yang mendukung Israel. Perusahaan ini bahkan mempertimbangkan untuk menyensor kata “Zionis”.

Perusahan media sosial lainnya juga menyensor suara-suara pro-Palestina, termasuk X (sebelumnya Twitter), YouTube, dan bahkan TikTok yang dimiliki oleh China. Pemerintah Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menekan perusahaan-perusahaan Media Sosial Besar untuk meninjau dan menyensor konten yang dianggap “teroris” atau mendukung Palestina. Penyensoran oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar tidak hanya berlaku untuk pengguna biasa, Hamas menjadi organisasi perlawanan yang dilarang dan dirugikan oleh raksasa media sosial.

Kebijakan jahat di ruang digital juga menyasar para pempimpin dunia Islam seperti Perdana Menteri Malaysia, Datok Sri Anwar Ibrahim. Unggahan belasungkawa atas syahidnya pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh pada akun Instagram miliknya dihapus oleh Meta. Saat itu, Anwar Ibrahim menyebut Meta telah melakukan tindakan biadab dan menghina perjuangan rakyat Palestina. Di lain sisi, militer Israel, pemerintah, dan organ-organ teror negara Israel lainnya memposting terorisme dengan bebas, dengan dukungan luas. Tidaklah mengherankan jika perusahaan-perusahaan Teknologi Besar yang berbasis di Amerika Serikat bermitra dan berinvestasi di Israel, mendukung kegiatan genosida di Gaza.

Baca Juga: Silaturahim Membuka Pintu Keberkahan

Dukungan perusahaan-perusahaan teknologi terhadap Israel membongkar citra palsu mereka sebagai perusahaan yang mendukung antirasisme dan hak asasi manusia. Pada kenyataannya, mereka terlibat dalam kejahatan Israel, seperti halnya organ-organ imperialisme Amerika lainnya. Apa yang kita saksikan adalah apartheid AS-Israel, penaklukan kolonial, dan genosida, yang didukung oleh perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Amerika.

Zionisme, sebagai gerakan politik yang mendukung pendirian dan ekspansi negara Israel, telah lama menjadi subjek kontroversi. Di era digital, pengaruh Zionisme tidak hanya terbatas pada aspek politik dan militer, tetapi juga telah merambah ke dunia maya. Berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan digital dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan Zionis, termasuk propaganda, sensor, peretasan, dan manipulasi informasi.

Salah satu metode utama yang digunakan oleh Zionis dalam dunia digital adalah propaganda dan manipulasi informasi. Melalui media sosial, situs berita, dan forum daring, mereka menyebarkan narasi yang menguntungkan Israel sekaligus mendiskreditkan lawan-lawan politiknya, terkhsusus Palestina. Teknik ini sering kali melibatkan penggunaan bot dan akun palsu untuk memperkuat opini tertentu, menciptakan kesan bahwa pandangan pro-Zionis mendapat dukungan luas.

Kelompok-kelompok Zionis sering kali menekan platform digital besar seperti Facebook, Twitter, dan YouTube untuk menyensor atau membungkam suara-suara yang mengkritik Israel. Laporan media Al-Jazeera bertajuk “Bias Media Sosial dalam Konflik Israel-Palestina” pada tahun 2023 mengurai banyak aktivis pro-Palestina mengalami pemblokiran akun atau penghapusan konten mereka tanpa alasan yang jelas. Lobi pro-Israel juga kerap menekan perusahaan teknologi agar mengadopsi kebijakan yang lebih ketat terhadap konten yang menyoroti pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel.

Baca Juga: Ini Dia Para Pembicara Tabligh Akbar dari Luar Negeri

Serangan siber yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang berafiliasi dengan Zionisme telah menargetkan situs web pemerintah, media independen, serta organisasi yang mendukung Palestina. Teknik yang digunakan meliputi DDoS (Distributed Denial of Service), defacing (pengubahan tampilan situs), serta pencurian data. Serangan ini bertujuan untuk melemahkan infrastruktur digital yang digunakan oleh aktivis dan jurnalis dalam menyebarkan informasi tentang kejahatan Israel.

Perusahaan teknologi besar sering kali dituduh memiliki bias pro-Israel dalam algoritma pencarian dan rekomendasi mereka. Misalnya, hasil pencarian di Google cenderung mengarahkan pengguna ke sumber yang mendukung narasi Zionis, sementara konten yang mendukung Palestina sering kali sulit ditemukan atau dikategorikan sebagai “konten sensitif.” Selain itu, teknologi pengenalan wajah dan kecerdasan buatan juga digunakan oleh Israel untuk mengawasi dan menindas warga Palestina di wilayah pendudukan.

Kejahatan Zionisme di dunia digital bukanlah sekadar teori konspirasi, melainkan realitas yang terbukti melalui berbagai bentuk manipulasi informasi, sensor, peretasan, dan eksploitasi teknologi. Untuk melawan dominasi ini, di mana kejahatan di dunia digital sudah semakin kentara, penting bagi kaum muslimin di Indonesia dan dunia untuk lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi, mendukung platform independen, serta memperjuangkan kebebasan berbicara di dunia maya. Kesadaran digital dan literasi media menjadi senjata utama dalam menghadapi propaganda dan pengaruh Zionisme dalam era digital.

Michael Kwet, penulis buku Digital Colonialism: US Empire and The New Imperialism in the Global South mengurai kerja media-media Barat dalam menentukan kata kunci (keyword) yang menguntungkan penjajah Israel dan menenggelamkan data derita rakyat Palestina. Kwet dalam analisisnya yang dipublikasikan pada rubrik opini aljazeera.com menyebutkan bahwa lebih dari 1.000 artikel dari New York Times, Washington Post, dan Los Angeles Times tentang perang Israel di Gaza sangat merugikan para pejuang.

Baca Juga: Panitia Nyatakan Siap Gelar Tabligh Akbar, Layani Jamaah dengan Sepenuh Hati

Kwet menyebut penggunaan istilah-istilah kunci (keyword) tertentu dan konteks penggunaannya pada laporan media Barat menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang mencolok dalam pemberitaan mengenai tokoh-tokoh Israel dan pro-Israel dibandingkan dengan tokoh-tokoh Palestina dan suara-suara pro-Palestina- dengan penggunaan istilah-istilah yang lebih mengedepankan narasi-narasi Israel dibandingkan dengan narasi-narasi Palestina.

Harapan Baru

Secercah harapan di antara kepungan kejahatan penjajah Israel di dunia digital mulai muncul ke permukaan. Juan P. Villasmil editor di Intercollegiate Studies Institute dan kontributor untuk The Spectator World menyuguhkan fakta menarik tentang perubahan drastis Gen-Z di Amerika. Mereka menjadi lebih anti-Israel dan pro kepada perjuangan Palestina. Perubahan sikap Gen-Z di Amerika dan bahkan di negara-negara Eropa terjadi selama perang Thufanul Aqsa berlangsung di Gaza, suatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Jajak pendapat, tagar, cerita Instagram, dan demonstrasi di kampus menunjukkan bahwa generasi Z di Amerika saat ini, lebih skeptis terhadap Israel dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Di TikTok, di mana separuh penggunanya berusia di bawah 30 tahun, #freepalestine memiliki 31 miliar unggahan dibandingkan dengan 590 juta unggahan untuk #standwithisrael -lebih dari 50 kali lipat lebih banyak.

Baca Juga: Pentingnya Tabligh Akbar dalam Dakwah Islam

Sebagian besar video-video singkat ini tampaknya direkam oleh para remaja yang memiliki pengetahuan tentang konflik yang sama banyaknya dengan saya (tidak banyak). Namun, apa yang kurang dari anak-anak ini dalam hal informasi, mereka menebusnya dengan semangat. Sementara orang Amerika yang lebih tua mungkin masih melihat TikTok sebagai aplikasi tempat para remaja melakukan tarian konyol, inilah saatnya mereka mulai melihatnya sebagai sumber media yang paling banyak membentuk pandangan dunia anak-anak mereka.

Beberapa politisi sudah menyadari hal ini-oleh karena itu mereka menyerukan agar TikTok dilarang sepenuhnya. Terlepas dari pendapat Anda tentang hal itu, inilah yang pasti: Sebuah aplikasi yang membuat remaja Amerika yakin bahwa mereka tiba-tiba menjadi ahli dalam sejarah dan politik Timur Tengah layak untuk ditanggapi dengan serius.

Setelah serangan 7 Oktober ke Israel, tren TikTok terbaru menunjukkan sesuatu yang telah berkembang selama bertahun-tahun: sifat imperialistik dari pemikiran sayap kiri Amerika. Ironisnya, perspektif Amerika yang unik-yang sering kali didukung atas nama anti-imperialisme-justru menjadi imperialis, memaksakan diri untuk masuk ke dalam urusan-urusan yang tidak seharusnya.

Apa yang terjadi dalam kejahatan Zionis di ruang digital tersebut, tidak lepas dari apa yang disebut dalam Protokol Zionis ke-13. Blueprint Zionis untuk menguasai dunia dengan jelas menyebutkan Zionis terus berusaha agar opini umum tidak mengetahui permasalahan sebenarnya dari kejahatan yang mereka rancang. Zionis akan terus menghambat segala yang mengetengahkan buah pikiran yang benar. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memuat berita lain yang menarik di surat kabar. Agen-agen Zionis yang menangani sektor penerbitan akan mampu mengumpulkan berita semacam itu. Pandangan masyarakat harus dialihkan kepada hiburan dunia (entertainment), seni dan olahraga.

Baca Juga: Melek Literasi dalam Jama’ah: Fondasi Kuat untuk Kemajuan Umat

Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti ini? Di mana kita tidak bisa ikut membantu Palestina, berjihad di garis terdepan, dalam perang Thufanul Aqsa. Rapatkan barisan kaum muslimin, bergerak bersatu, berjamaah di ruang digital dengan gerakan terkordinasi dan terpimpin dalam menciptakan opini publik untuk mengimbangi-menghentikan-dominasi kejahatan Zionis di ruang digital yang semakin terkordinir dengan jahat.

Para aktivis-saya menyebutnya mujahid-baik di Aqsa Working Group (AWG) Maemuna Center (Mae-C) Indonesia dan pada unit jihad lainnya dalam upaya pembebasan Al-Aqsa dan Kemerdekaan Palestina, agar terus meningkatkan kemampuan propaganda untuk terus membentuk isu global bahwa kejahatan Zionis adalah nyata. Penuhilah ruang digital di berbagai platform media, para aktivis pro-Palestina, dengan narasi perlawanan agar kejahatan Zionis itu berhenti dan borok mereka semakin terbuka ke ruang publik.

وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍۢ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍۢ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu serta orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; (tetapi) Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas kepadamu dengan cukup, dan kamu tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Anfal: 60).

Baca Juga: Inilah 10 Kebiasaan yang Dilarang dalam Islam tapi Dianggap Biasa

Ayat ini dapat kita jadikan panduan akan pentingnya kebersamaan, disiplin, dan keteraturan dalam menghadapi kebatilan agar bisa menang secara simultan dan efektif. Beberapa langkah taktis dan strategis dapat dilakukan dari saat ini dan seterusnya dalam koordinasi yang rapih dan terpimpin, tidak berjalan sendiri.

Setiap pribadi muslim, khususnya pribadi al-jama’ah agar terus meningkatkan kemampuan literasi digital, ikhwan-ikhwan perlu terus diedukasi mengenai cara menyaring dan menganalisis informasi yang kredibel. Pola kerja ini tidak dapat dilakukan sendiri atau pada sub keamiran dalan sebuah majelis atau unit pelaksana jihad di dalam jamaah. Melihat gencarnya tipu daya Zionis di ruang digital sudah saatnya unit jihad dalam kategori ini direncanakan dengan baik, terstruktur, dan teratur.

Selain itu, membangun media independen dan merawatnya agar tetap eksis merupakan suatu keharusan bagi perjuangan membela Palestina. Kehadiran Kantor Berita MINA yang digagas oleh Allahu Yarham Imaam Muhyiddin Hamidy pada Hari Raya Idul Adha, Jumat 10 Dzulhijjah 1434 H/26 Oktober 2012 M, di Masjid At-Taqwa Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, adalah bagian dari perjuangan tersebut. Gagasan pendirian Kantor Berita MINA ini disandarkan kepada perlunya memperjuangkan pembebasan Masjid Aqsa dan kedaulatan Palestina sebagai negara merdeka.

Kita juga perlu mendukung platform berita dan media sosial alternatif yang tidak tunduk pada kepentingan politik tertentu. Pada wilayah teknis, para ahli bidang IT dapat terus mengoptimalisasi algoritma dan mengembangkan metode agar informasi yang berimbang dan akurat dapat lebih mudah diakses oleh masyarakat.

Baca Juga: Adab Bertamu dan Menerima Tamu Menurut Syariat Islam

Apa yang sudah dan telah dilakukan hari ini dalam upaya peningkatan aktivisme di ruang digital perlu terus dipertahankan dan agar kesadaran kolektif  umat Islam terhadap isu Palestina dan keadilan global terus terawat. Semua hal teknis dan strategis ini tidak hanya dilakukan di Indonesia saja namun perlu terus berkolaborasi di tingkat internasional dengan cara membangun jaringan global yang berfokus pada kebebasan berbicara dan perlindungan hak-Palestina di ruang digital.

Jika pun perang tidak berhenti kita dapat bersama menyeret gerakan Zionis dan penjajah Israel sebagai kelompok yang terhina dengan label perusak peradaban manusia di dunia. Tanda itu sudah ada dan terus bergerak, seperti bola salju yang terus membesar dan kita akan melihat pada saatnya, penjajah Israel itu terhina ini akan dihinakkan, dicampakan di mana pun mereka berada. Sehingga tak ada satu pun ruang bebas bagi Zionis, Yahudi, dan Negara penjajah Israel  merancang ulang kejahatannya, karena batu pun kelak akan bicara menunjuk persembunyian mereka, ”Di sini ada Yahudi”. Allahu a’alam bishawwab. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bukti-bukti Kekalahan Zionis Israel dalam Perang di Gaza

Rekomendasi untuk Anda

Kolom