Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا (الفتح [٤٨]: ١)
Baca Juga: Aneksasi Zionis terhadap Masjid Ibrahimi Harus Dihentikan
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (QS. Al-Fath: 1)
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun setelah Perjanjian Hudaibiyah, yaitu perjanjian antara Nabi Muhammad ﷺ dengan kaum Quraisy pada tahun ke-6 Hijriah. Meski sekilas perjanjian itu merugikan umat Islam, Allah Ta’ala menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa perjanjian tersebut adalah “fath” (kemenangan) yang nyata.
Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menyatakan bahwa “fath” dalam ayat ini adalah Perjanjian Hudaibiyah, yang membuka jalan bagi penyebaran Islam dan melemahkan kekuatan kaum kafir Quraisy. Perjanjian Hudaibiyah mengandung banyak kebaikan, di antaranya umat Islam bisa berdakwah secara luas, tanpa dihalangi oleh kekuatan kaum kafir Quraisy.
Sementara itu, Imam As-Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa “fathan mubina” mencakup segala bentuk kemenangan yang membawa maslahat besar bagi umat Islam, baik secara spiritual, sosial, ekonomi dan lainnya.
Baca Juga: Ilmu Dunia Dikejar, Ilmu Akhirat Dicampakkan: Ironi Pendidikan Zaman Ini
Ayat ini juga menegaskan, bahwa kemenangan adalah karunia langsung dari Allah Ta’ala yang diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Namun kemenangan tidak diturunkan begitu saja, melainkan melalui proses kesabaran, perjuangan, dan ujian yang berat.
Dalam ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…، كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢ بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ ٢٤٩ (البقرة [٢]: ٢٤٩)
“Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah [2]: 249)
Baca Juga: Pelajaran Dari Demak, Potret Pendidikan di Indonesia
Para ulama menjelaskan, ayat di atas mengajarkan pentingnya kesabaran, ketaatan, dan keteguhan iman dalam menghadapi ujian dan perjuangan di jalan Allah Ta’ala.
Sementara itu, dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (رواه احمد)
“Ketahuilah, bahwa pertolongan (kemenangan) itu bersama kesabaran, jalan keluar itu bersama kesempitan, dan sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (HR Ahmad)
Baca Juga: Mengukir Solidaritas Palestina Sejak Dini, Tantangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Dalam konteks perjuangan melawan Zionis Israel, ayat dan hadits di atas dapat menjadi sumber energi ruhani bagi umat Islam. Jika saat ini, umat Islam di Gaza tampak lemah, baik dari segi jumlah maupun kekuatan militer, namun karena mereka mampu bersabar, tetap teguh dalam perjuangan, dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala, maka kemenangan mereka dapatkan.
Hakikat Kemenangan
Ibnul Qayim Al-Jauzi Rahimahullah menyatakan, kemenangan Islam adalah terbukanya hati seseorang untuk menerima Islam sebagai agamanya, sebagai jalan hidupnya. Hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala masuk ke dalam lubuk-lubuk hati manusia untuk menerima Islam, mengamalkan syariat-syariatnya, tunduk dan patuh pada aturan-aturannya.
Islam sekali-kali tidak pernah pernah mengajarkan peperangan sebagai sarana menyebarkan dakwah. Peperangan bukan pula dilakukan atas dasar fanatisme kebangsaan, etnis dan kesukuan. Tetapi perang diizinkan apabila Islam dihinakan, kaum Muslimin terusir dari kampung halaman, atau untuk menolong orang yang terjajah dan teraniaya.
Baca Juga: Suriah dan Israel Menuju Perang Terbuka?
Oleh sebab itu, Islam tidak mengajarkan penjajahan (kolonialisme). Islam tidak pernah memerintahkan melakukan pendudukan wilayah (occupation), tetapi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam dan para shahabatnya memerintahkan melakukan pembebasan (liberation).
Kemenangan Islam bukanlah keberhasilan menguasai suatu wilayah ataupun mendapatkan banyak harta benda dan kekuasaan, tetapi merupakan kemenangan atas setiap hati nurani umat manusia, untuk tunduk dan patuh menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya, bebas menjalankan syariat-syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi, hakikat kemenangan dalam Islam sangat jauh berbeda dengan kemenangan dalam perebutan kekuasaan (politis). Kemenangan sesungguhnya adalah ketika seseorang mendapatkan ridha Allah Ta’ala, sebagai buah dan hasil dari ibadah dan amal shalih yang ia lakukan.
Adapun kemenangan bagi seorang Muslim bisa berwujud beberapa macam, antara lain:
Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam
Pertama, kemenangan langsung yang dibuktikan dengan kekalahan musuh, seperti yang dialami oleh Nabi Musa Alaihi Salam atas musuhnya Fir’aun.
Hal itu juga dialami oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dengan mengalahkan musuh-musuhnya di berbagai medan pertempuran sehingga dakwah Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Kedua, kemenangan berupa balasan Allah Ta’ala kepada musuh setelah penegak kebenaran wafat. Imam At-Thabari Rahimahullah memberi contoh kisah kemenangan pengikut Nabi Yahya Alaihi Salam. Setelah beliau terbunuh, Allah Ta’ala membinasakan bangsa Romawi yang menjadi dalang pembunuhan itu.
Ketiga, kemenangan berupa sesuatu yang dianggap kekalahan, seperti; dipenjara, diusir, dianiaya, bahkan terbunuh oleh musuh. Allah Ta’ala berfirman:
Baca Juga: Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. (ال عمران [٣]: ١٦٩)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Keempat, istiqamahnya seseorang dalam kebenaran. Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, istiqamah merupakan pertolongan yang terbesar. Kemenangan dalam bentuk istiqamah ini disebutkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda: “Orang-orang sebelum kalian, ada yang ditanam hidup-hidup lalu didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua, tetapi hal ini tidak menjadikan mereka mundur dari agamanya. Ada pula yang disikat dengan sikat besi hingga terlepas dagingnya, tetapi hal ini tidak menyebabkan dia mundur dari agamanya.” (H.R. Al-Bukhari)
Kelima, kemenangan berbentuk kuatnya hujjah dan penjelasan. Imam At-Thabari Rahimahullah berkata, “Allah berjanji kepada para rasul, bahwa mereka pasti akan ditolong, yakni berupa kuatnya hujjah yang mengalahkan kebatilan.”
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Kegagalan Zionis Israel di Gaza
Tiga tujuan utama Israel dalam perang ini adalah untuk menguasai Gaza, sebagaimana disampaikan pemimpinnya Benyamin Netanyahu dalam berbagai kesempatan, yaitu: melenyapkan kelompok Hamas, menguasai Gaza dan mengembalikan sandera yang ditahan di Gaza. Namun, tidak satu pun dari tujuan itu tercapai.
Bukti di lapangan menunjukkan, pejuang Palestina, Hamas dan lainnya masih tetap eksis, bahkan memperlihatkan kemampuan bertahan yang mengesankan meskipun diserang oleh militer Israel yang memiliki persenjataan modern.
Gaza tetap berada di bawah kontrol rakyat Palestina. Para penduduk Gaza tetap berada di wilayah mereka. Sementara Zionis Israel hanya bisa menyerang dan membunuh mereka, namun tidak mampu menguasai Gaza hingga hari ini.
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
Sementara itu, kesepakatan pertukaran sandera menjadi salah satu momen yang mempermalukan Zionis Israel di mata dunia. Bahkan hingga hari ini, masih ada puluhan sandera di Gaza yang belum mampu dibebaskan oleh militer Zionis Israel.
Pertukaran sandera yang telah terjadi sebelumnya menunjukkan bahwa pejuang Palestina memiliki posisi tawar yang kuat dalam diplomasi, sehingga Israel terpaksa menerima syarat-syarat yang diajukan para pejuang.
Kehancuran Zionis di Depan Mata
Prediksi kehancuran Zionis Israel justru datang dari para tokoh-tokoh mereka sendiri, terutama para mantan pejabat yang telah merasakan betul bagaimana pahitnya mengelola pemerintahan yang rasis, diskriminatif dan dimusuhi berbagai bangsa di dunia karena kejahatan mereka yang sudah tidak bisa lagi ditutup-tutupi.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Seorang veteran militer Zionis Israel, Mayor Jenderal (Purn) Itzhak Brik memprediksi, bahwa negaranya akan segera mengalami kehancuran yang mengerikan dan keruntuhan. Hal itu karena perang yang tidak kunjung usai.
Itzhak Brik menyampaikan prediksinya itu melalui sebuah artikel di surat kabar Israel, Haaretz. Ia menulis bahwa pertempuran di Gaza yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 lalu hingga saat ini akan berubah menjadi “perang” antar elit Israel, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan bagi negara itu.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Israel Avigdor Lieberman juga mengatakan hal yang sama. Lieberman mengatakan bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sedang menjerumuskan Israel menuju kehancuran dan ia tidak tahu bagaimana mengelola kondisi terkini negaranya.
Lieberman menambahkan bahwa Netanyahu kini hanya berusaha memastikan bahwa ia tetap berkuasa selama mungkin. Israel saat ini sedang menghadapi apa yang disebutnya sebagai ancaman eksistensial, dan sedang mengalami krisis multidimensi, politik, ekonomi dan keamanan, yang merupakan krisis terbesar sejak berdirinya negara tersebut.
Hanya ada dua pilihan bagi Netanyahu, menjalankan politik bumi hangus dan perang terbuka, atau ia masuk penjara karena banyak kasus yang dituduhkan kepadanya. Tentu, hal itu adalah pilihan yang sulit bagi Netanyahu.
Senada dengan para pejabatnya, sejarawan Israel, Illan Pappe menunjukkan lima tanda kehancuran Zionis Israel yang sudah di depan mata:
Pertama, perang saudara antara orang-orang Yahudi yang dimulai antara Yahudi sekuler dan religius di Israel sebelum serangan 7 Oktober. Kedua, adanya dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap isu Palestina di seluruh dunia.
Ketiga, kesenjangan kelas yang tajam di Israel membuat kemiskinan terus meningkat. Keempat, adanya ketidakmampuan tentara Israel mengamankan wilayahnya, dan Kelima, adanya generasi baru Yahudi yang tidak setuju dengan gagasan Zionisme.
Antara Holocaust dan Genosida Gaza
Holocaust dan genosida adalah dua istilah yang sering terdengar saat membahas kejahatan kemanusiaan paling kelam dalam sejarah. Meski kerap disamakan, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam definisi, latar sejarah, dan bentuk pelaksanaannya.
Holocaust (meski masih diperdebatkan kebenarannya) merujuk pada pembantaian sistematis sekitar enam juta Yahudi oleh rezim Nazi Jerman pada periode 1941-1945. Sementara itu, genosida didefinisikan oleh Konvensi PBB tahun 1948 sebagai upaya sistematis untuk menghancurkan, baik sebagian maupun seluruhnya, suatu kelompok berdasarkan identitas etnis, agama, ras, atau nasionalitas.
Dengan definisi ini, apa yang dilakukan Israel di Gaza saat ini, berupa pembunuhan massal, blokade total, penghancuran fasilitas sipil, hingga perampasan hak hidup telah memenuhi unsur-unsur genosida sebagaimana ditetapkan hukum internasional.
Ilan Pappe menyebut perlakuan Israel terhadap Palestina sebagai “incremental genocide” atau genosida yang berjalan secara perlahan namun pasti. Senada dengan Pappe, Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina juga menggambarkan serangan brutal di Gaza sebagai kejahatan genosida yang dilakukan terang-terangan di hadapan dunia.
Jika Holocaust dikecam oleh semua negara-negara Barat, sementara genosida di Gaza yang masih berlangsung hari ini, disaksikan oleh warga dunia, justru negara-negara Barat banyak memilih diam atau bahkan mendukungnya dengan menyuplai senjata dan dana kepada Zionis Israel pelaku genosida.
Ironisnya, orang-orang yang lahir dari luka Holocaust justru melakukan praktik yang sama kejamnya terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza. Ini menjadi paradoks sejarah yang banyak dikritik oleh sejarawan dan pengamat hak asasi manusia di berbagai belahan dunia.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) saat ini sedang didesak untuk mengadili para pejabat Israel yang bertanggung jawab atas genosida di Gaza. Sama seperti pengadilan Nuremberg yang mengadili para penjahat Nazi.
Pengadilan Nuremberg adalah serangkaian sidang internasional yang digelar di kota Nuremberg (Jerman) antara tahun 1945 hingga 1946 untuk mengadili para pemimpin Nazi atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida selama Perang Dunia II.
Holocaust dan genosida di Gaza sama-sama menjadi cermin kelam kebrutalan yang lahir dari ideologi kebencian, supremasi, dan dehumanisasi. Bedanya, Holocaust telah lama berakhir dan menjadi kutukan sejarah yang terus dikenang sebagai tragedi pilu bagi kemanusiaan.
Sementara itu, genosida Gaza yang disaksikan mata dunia, pelakunya adalah bangsa yang pernah menjadi korban Holocaust itu sendiri. Kekejaman Holocaust bukan dicegah agar tidak kembali terulang, tetapi justru Zionis Yahudi melakukannya kepada bangsa Palestina yang pernah menolong mereka dari kekejaman Nazi.
Holocaust dan genosida adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi oleh peradaban manapun. Dunia tidak boleh membiarkan hal itu. Siapa pun pelakunya harus diadili di hadapan hukum internasional, agar keadilan dan martabat kemanusiaan kembali ditegakkan.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)