Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

JUTAAN PENGUNGSI MUDA KEHILANGAN PELUANG IKUT PENDIDIKAN TINGGI

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 23 September 2015 - 23:48 WIB

Rabu, 23 September 2015 - 23:48 WIB

285 Views

pengungsi-gen-muda-nature-300x197.jpg" alt="pengungsi gen muda nature" width="396" height="260" /> Pengungsi kalangan generasi muda (Foto: Nature)

New York, 9 Dzulhijjah 1436/23 September 2015 (MINA) – Scholars at Risk Network , sebuah Kelompok HAM di New York, menyampaikan penelitiannya, bahwa nasib para pengungsi di beberapa negara akan terancam kehilangan kesempatan belajar di pendidikan tinggi saat di pengungsian.

“Akan banyak generasi muda di kalangan pengungsi akibat konflik di Timur Tengah yang kehilangan kesempatan berharga melanjutkan studi di pendidikan tinggi,” kata Robert Quinn, Direktur Eksekutif Scholars at Risk Network, di New York City, Rabu (23/9).

Untuk itu, seperti dilaporkan Nature News, ia menyerukan universitas dari pemerintahan di seluruh dunia yang menampung pengungsi untuk berinvestasi lebih banyak dalam menampung ratusan ribu pengungsi dari kalangan mahasiswa.

Kelompok HAM itu memperingatkan bahwa dunia akan kehilangan generasi masa depan dari calon-calon ilmuwan, insinyur, dokter, guru dan pemimpin masa depan, yang tidak menutup kemungkinan terlahir dari para pengungsi.

Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu

“Merupakan kesempatan penting untuk menyiapkan modal intelektual agar tidak hilang. Kita akan kehilangan generasi pendidikan tinggi, yang justru akan semakin mudah dan menjadi lahan subur bagi perekrutan milisi radikal dan teroris tanpa pertimbangan intelektual,” kata Quinn.

Hal ini menurutnyamenjadi kepentingan Eropa dan Barat untuk melindungi dan berinvestasi dalam modal intelektual. Kegagalan untuk berinvestasi adalah perbuatan bodoh, ujarnya.

Konflik di Suriah, Irak, Yaman, Libya dan negara-negara Afrika Utara lainnya, serta akibat pengusiran warga Palestina, telah menyebabkan sejumlah catatan pengungsi. Pada akhir 2014, sekitar 60 juta orang di seluruh dunia tercatat sebagai pengungsi, baik di bagian yang lebih aman dari negara mereka atau di luar negeri.

Menurut catatan Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, itu adalah jumlah tertinggi yang pernah tercatat, dan hampir dua kali lipat dari jumlah 37,5 juta orang pengungsi sepuluh tahun sebelumnya.

Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza

Suriah, dengan populasi penduduk sekitar 21 juta sebelum konflik, sejak situasi perang sejak empat tahun lalu, telah mengakibatkan warganya mengungsi sejumlah sekitar 7,6 juta orang , dan lebih 4 juta di antaranya terpaksa meninggalkan negara mereka.

Jutaan orang mahasiswa juga ikut mengungsi ke luar negeri, dan sebagian besar ditampung sementara di negara-negara tetangga , seperti Turki (sekitar 1,8 juta pengungsi), Lebanon (1,2 juta) dan Jordania (630.000). Namun hanya sekitar 5%  pengungsi dari kalangan mahasiswa mendapat kesempatan melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi lokal.

Beberapa Kendala

Beberapa perguruan tinggi di Turki diminta untuk menampung para pengungsi yang akan melanjutkan kuliahnya. Namun yang menjadi masalah adalah beberapa hambatan lebih lanjut untuk pendaftaran, seperti tidak adanya dokumen, termasuk catatan akademis masa lalu. Kesulitan bahasa adalah masalah besar lainnya.

Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan

Isu lainnya adalah soal keuangan. Mereka lebih memilih mencari pekerjaan untuk bertahan hidup, dan tidak ada waktu untuk mengikuti pendidikan. Di Turki, hanya terdata 1% dari pengungsi Suriah berusia 18-24 yang melanjutkan studi di perguruan tinggi.

“Pendidikan menjadi sesuatu yang terbengkalai dari semua krisis ini. Orang-orang lebih mengedepankan soal bagaimana makan, mendapatkan tempat tinggal dan kebutuhan dasar lainnya,” imbuh Robert Quinn, Direktur Eksekutif Scholars at Risk Network, di New York.

Allan Goodman, Presiden dan Direktur Eksekuti Institut of International Education (IIE), mencatat besarnya skala krisis.

“Tidak ada organisasi atau negara memprogram untuk menghadapi masalah ini,” katanya.

Baca Juga: Puluhan Anggota Kongres AS Desak Biden Sanksi Dua Menteri Israel

Goodman juga mengatakan bahwa upaya kemanusiaan telah cenderung berfokus pada menyelamatkan nyawa dan mengurangi penderitaan di antara mereka yang melarikan diri konflik.

“Pendidikan menjadi yatim piatu dari semua krisis ini,” katanya.

Menurutnya, solusi jangka panjang akan membutuhkan investasi yang sangat besar dan keterlibatan yang lebih besar oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi di seluruh dunia.

Oktiber mendatang, IIE dan organisasi lainnya akan mengadakan lokakarya dua hari di Istanbul, Turki, yang bertujuan mengkoordinasikan upaya dan mengeksplorasi pendekatan baru untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi pengungsi. (T/P4//P2)

Baca Juga: Tiba di Peru, Prabowo akan Hadiri KTT APEC

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Sebelum Bertemu Prabowo, Biden Lebih Dulu Jamu Presiden Israel

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Internasional
Feature
Internasional
Indonesia
Internasional