TUAREG-300x187.jpg" alt="Suku Tuareg bersenjata. (Foto: AP Photo/David Guttenfelder)" width="300" height="187" /> Suku Tuareg bersenjata. (Foto: AP Photo/David Guttenfelder)
Aljir, Aljazair, 11 Jumadil Awwal 1436/2 Maret 2015 (MINA) – Pemerintah Mali dan beberapa kelompok oposisi bersenjata telah menandatangani perjanjian damai, kecuali koalisi oposisi utama bersenjata Tuareg di utara, meminta waktu untuk berkonsultasi dengan akar rumput kelompoknya.
Perjanjian damai disepakati setelah delapan bulan negosiasi alot di negara tetangga Aljazair, merundingkan pemindahan kekuasaan dari Bamako ke utara, wilayah luas yang menjadi basis oposisi bersenjata yang disebut “Azawad”, Al Jazeera melaporkan yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Kelompok oposisi aliansi Tuareg yang mencakup Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad mengatakan, mereka telah meminta “penundaan yang wajar” untuk konsultasi sebelum penandatanganan.
Tuareg adalah orang-orang Berber dengan gaya hidup penggembala nomaden tradisional. Mereka adalah penduduk Sahara Afrika Utara.
Baca Juga: Perang Dua Tahun, Pelanggaran terhadap Anak di Sudan Naik 1.000 Persen
Perpecahan etnis di kawasan gurun utara negara Afrika Barat itu, menjadi tempat munculnya gerakan separatis etnis Tuareg yang telah melahirkan beberapa pemberontakan sejak 1960-an.
Aljazair dan PBB menjadi mediasi pembicaraan di ibukota Aljir sejak Juli tahun lalu, antara menteri dan enam kelompok oposisi bersenjata Mali di tengah gelombang kekerasan yang mengancam dan membahayakan proses perdamaian.
Organisasi-organisasi bersenjata yang mengambil bagian didominasi oleh kelompok Tuareg dan Arab, namun tidak ada kelompok “jihad” yang diundang untuk dialog.
Pejuang terkait Al-Qaeda yang pernah menguasai Mali utara selama lebih sembilan bulan sebelum intervensi militer Perancis pada 2013, sebagian telah diusir dari utara.
Baca Juga: Lebih dari 300 Orang Tewas Imbas Serangan di Kamp Pengungsi Sudan
Perjanjian Perdamaian dan Rekonsiliasi di Mali dari Proses Aljir, menyerukan “rekonstruksi persatuan nasional negara itu” dengan cara yang “menghormati integritas teritorial dan memperhitungkan keragaman etnis dan budaya”.
Rancangan kesepakatan mengusulkan pembentukan majelis regional yang berkuasa dan terpilih, dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih secara langsung. (T/P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pesawat Kargo Kenya Kecelakaan di Somalia, Seluruh Awak Tewas