Ramallah, MINA – Sekelompok teolog Kristen Asia mengatakan Israel sebagai rezim politik termasuk dalam definisi hukum apartheid yang dipahami secara internasional.
Global Kairos Asia Pacific Palestine Solidarity (GKAPPS) menegaskan dalam sebuah pernyataan, baru-baru ini, “definisi hukum apartheid yang dipahami secara internasional aalah sistem pemisahan rasial yang dilemdbagakan”, demikian dikutip dari Wafa, Sabtu (30/7).
“Israel termasuk dalam ruang lingkup definisi ini sebagai rezim politik yang dengan sengaja dan jelas memprioritaskan hak-hak politik, hukum, dan sosial yang mendasar bagi satu kelompok di atas yang lain, dalam unit geografis yang sama berdasarkan identitas ras-nasional-etnis seseorang. Ini tidak lain adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” Kata mereka.
Kelompok itu mencatat, selama setahun terakhir, mereka telah mengikuti analisis yang meluas dan ekspresi politik solidaritas global dengan rakyat Palestina dalam perjuangan mereka untuk pembebasan dari cengkeraman Apartheid Israel.
Baca Juga: Jajak Pendapat: Mayoritas Warga Penjajah Israel Ingin Akhiri Perang
“GKAPPS sangat tidak setuju dengan penjajah, akar rasis dari penindasan di wilayah Palestina. Bahwa situasi ini terus berlanjut sejak tahun 1967 merupakan indikasi kegagalan masyarakat internasional untuk hidup menurut standar yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB dalam maksud dasarnya menegaskan bahwa keadilan adalah cita-cita akuntabilitas dan keadilan dalam perlindungan dan pembelaan hak dan pencegahan dan hukuman kesalahan,” ujar GKAPPS.
“Sejak tahun 1967, pemerintah Israel telah mengadopsi kebijakan dan praktik perampasan tanah yang secara historis milik orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Apartheid sedang dipraktikkan oleh Israel di wilayah Palestina yang diduduki dengan berbagai cara. Israel mengoperasikan pogrom politik yang terdiri dari diskriminasi akut terhadap warga Palestina menggunakan sistem hukum dan politik ganda yang memberikan hak istimewa kepada 700.000 pemukim Yahudi Israel yang tinggal di 300 permukiman ilegal Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat,” tambahnya.
Seperti yang dicatat oleh konferensi GKAPPS baru-baru ini, warga Palestina tetap terjebak dalam siklus kekerasan, penghinaan, dan keputusasaan yang semakin dalam.
Orang-orang Palestina menderita akibat perampasan tanahnya, peningkatan pemukiman, pemindahan paksa, pembongkaran dan penodaan warisan dan tempat-tempat suci, “tembok apartheid”, pos pemeriksaan, kehadiran militer yang berlebihan, pembunuhan sewenang-wenang dan ekstra-yudisial, penyiksaan, penolakan hak-hak dasar, tingkat kematian anak yang luar biasa, hukuman kolektif, sistem pengadilan militer yang kejam, periode kekerasan militer Israel yang intensif… dan daftar pelanggaran hak asasi manusia tidak berakhir. Kebrutalan militer tidak memiliki batas yang nyata.
Baca Juga: Front Demokrasi Serukan Persatuan di Tepi Barat Palestina
Israel menangkap sekitar 1.300 anak laki-laki dan perempuan pada tahun 2021, dan dari Januari hingga Maret 2022 lebih dari 200 anak telah ditahan.
Kelompok Teologi Kristen ini juga mengatakan. Gaza, dengan lebih dari dua juta penduduk, telah ditutup rapat oleh blokade militer darat, udara dan laut sejak 2007. Ini diidentifikasi dengan tepat sebagai “penjara udara terbuka”.
“Wilayah itu telah secara teratur dibombardir oleh pesawat militer, pesawat tak berawak dan tank yang membunuh ribuan warga sipil, melukai berkali-kali lebih banyak, membuat setengah juta kehilangan tempat tinggal, dengan penghancuran sarana penghidupan,” ungkap GKAPPS.
Sementara itu, lebih dari enam juta warga Palestina adalah pengungsi tanpa kewarganegaraan yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga Palestina, selama beberapa generasi sejak diusir dari rumah mereka.
Baca Juga: Abu Ubaidah: Tentara Penjajah Sengaja Bombardir Lokasi Sandera di Gaza
Anak-anak di kamp-kamp pengungsi ini lahir sebagai pengungsi, tumbuh sebagai pengungsi dan mati sebagai pengungsi. Israel menolak pelaksanaan Hak Kembali mereka, yang diabadikan dalam Konvensi Jenewa Keempat dan Resolusi PBB 194 yang disahkan segera setelah Nakba, dan yang memberi mereka hak untuk kembali ke Palestina, negara asal mereka.
Kelompok Teolog Kristen tersebut dengan tegas mendesak Israel untuk “meninggalkan kriminalitas politiknya”.
“Sebaliknya Israel harus mengikuti gagasan Convivencia yang akan mengizinkan ‘koeksistensi’ komunitas Kristen, Muslim, dan Yahudi dan dengan perluasan interaksi budaya dan pertukaran yang dipupuk oleh kedekatan komunitas seperti itu,” katanya menegaskan. (T/R7/P1)
Baca Juga: Al-Qasam Rilis Video Animasi ”Netanyahu Gali Kubur untuk Sandera”
Mi’raj News Agency (MINA)