Kematian Faustina Tay, Gambaran Nasib Pekerja Rumah Tangga di Lebanon

Pada pagi hari tanggal 13 Maret lalu, mengirim pesan putus asa terakhirnya kepada kelompok aktivis yang dia hubungi tentang pelecehan yang dideritanya di tangan majikan -nya.

“Tuhan tolong bantu saya,” tulis berkebangsaan Ghana berusia 23 tahun itu.

Sekitar 18 jam kemudian, dia ditemukan meninggal.

Mayat Tay ditemukan di sebuah parkir mobil di bawah rumah majikannya yang berlantai empat di pinggiran selatan Beirut, antara pukul 3 dan 4 pagi pada 14 Maret.

Seorang dokter forensik yang memeriksa jenasahnya menemukan bahwa kematiannya disebabkan oleh cedera kepala “akibat jatuh dari tempat tinggi dan hantaman tubuh yang kuat.”

Dokter menemukan, “tidak ada tanda serangan fisik.” Sebuah pemeriksaan di rumah majikan Tay tidak menemukan tanda-tanda perlawanan dan kematiannya disimpulkan sebagai bunuh diri, menurut laporan polisi.

Hussein Dia, yang rumahnya tempat Tay tinggal dan telah bekerja selama 10 bulan dengan keluarganya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia dan keluarganya sedang tidur ketika Tay meninggal.

Dia mengatakan dia tidak tahu apa yang mendorong pemudi itu untuk menghabisi nyawanya sendiri. Dia menyangkal pernah menyerang Tay secara fisik.

Tetapi pada pekan sebelum kematiannya, Tay mengirim lusinan teks dan lebih dari 40 menit pesan suara ke kelompok aktivis yang berbasis di Kanada, This Is Lebanon, dan saudara lelakinya di Ghana, memberikan laporan terperinci tentang kekerasan fisik berulang yang dialaminya.

This Is Lebanon adalah lembaga yang membantu pekerja rumah tangga secara online berdasarkan kasus per kasus jika pekerja menghadapi pelecehan dari majikannya.

Lembaga HAM Human Rights Watch menemukan dalam laporan 2010 bahwa pengadilan Lebanon gagal meminta pertanggungjawaban majikan atas pelanggaran, sementara badan keamanan sering tidak “menyelidiki secara memadai klaim kekerasan atau pelecehan”.

Tay mengatakan kepada kelompok itu bahwa dia dan Ali Kamal, pemilik agen pekerja rumah tangga yang membawanya ke Lebanon, masing-masing telah memukulnya dua kali antara 16 Januari hingga 6 Maret.

Tay juga mengatakan dalam pesannya, Kamal bersama karyawannya bernama Hussein telah menganiayanya.

Dalam pesan-pesan itu, Tay berulang kali menyatakan keprihatinannya bahwa berbicara tentang penderitaannya dapat menyebabkan lebih banyak pelecehan, dan penyitaan teleponnya, yang katanya telah terjadi sebelumnya.

Dia juga takut yang dialaminya akan jauh lebih buruk.

“Saya takut. Saya takut; mereka mungkin membunuhku,” katanya dalam pesan suara, dengan nada suara dingin kepada para aktivis.

 

Perbudakan modern

Cara kematian Tay tidak jarang terjadi di Lebanon, sebuah negara dengan sekitar 250.000 pekerja rumah tangga. Dua orang meninggal setiap pekan, menurut badan intelijen Keamanan Umum negara itu, dengan banyak yang jatuh dari gedung-gedung tinggi dalam upaya pelarian yang gagal, atau dalam kasus-kasus yang dianggap bunuh diri.

Pekerja rumah tangga seperti Tay dipekerjakan di bawah sistem kafala terkenal di negara itu, yang mengikat tempat tinggal resmi mereka bersama majikannya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mengakhiri kontrak.

Sistem sponsor yang berlaku di beberapa negara Timur Tengah, telah memfasilitasi berbagai penyalahgunaan, seperti tidak membayar upah, kurangnya waktu istirahat dan hari libur, serta serangan fisik dan seksual.

Mantan Menteri Buruh Lebanon Camille Abousleiman menyamakan sistem itu dengan “perbudakan modern” dan ia memulai proses reformasi yang masih dalam tahap awal.

Wanita yang datang ke Lebanon untuk pekerjaan rumah tangga dari sejumlah negara Asia Tenggara dan Afrika, seperti Filipina, Nepal dan Ethiopia, biasanya bekerja untuk membantu menghidupi keluarga mereka di negerinya dan akhirnya pulang.

Kasus Tay menjelaskan jenis pelecehan yang berakhir dengan pulang ke keluarga mereka dalam peti mati. Itu banyak terjadi di Lebanon.

Faustina Tay mengirim foto-foto bekas penganiayaan terhadap dirinya ke keluarga di Accra, Ghana. (Foto: Demanya)

Dari Accra ke Beirut

Sepuluh bulan sebelum kematiannya, Tay menjalankan bisnis mie kecil di ibu kota Ghana, Accra, dengan bantuan keuangan dari saudaranya Joshua Demanya yang bekerja sebagai sopir.

Demanya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia telah menyarankan saudaranya untuk tidak pergi ke Lebanon “karena ada kisah orang-orang yang pergi ke sana dan sangat menderita sehingga mereka melarikan diri.”

Tay mengabaikan nasihat kakaknya dan tiba di Beirut pada 5 Mei untuk mulai bekerja di apartemen Dia, tempat ia tinggal bersama istri majikannya, Mona, dan ketiga anak mereka.

Di sana, Tay tidak punya kamar sendiri, sebaliknya, dia tidur di sofa di dapur. Dia mengeluh bahwa dia terlalu banyak bekerja, tidak punya hari libur dan biasanya hanya bisa tidur jam 2 pagi dan bangun jam 8 pagi.

“Saya seharusnya tetap tinggal”

Tay dengan cepat menyesali keputusannya meninggalkan Ghana. Pada November 2019, dia mengirim sms kepada kakaknya, “Saya seharusnya tetap di sini (dan) melanjutkan bisnis saya.”

Pada bulan Januari, dia memberi tahu majikannya bahwa dia tidak bisa bekerja lagi dan meminta dikirim pulang. Namun, majikannya menolak.

“Saya membayar $ 2.000, dan saya berkata, ‘Tenang, kami akan membiarkan Anda bepergian setelah Ramadhan’.” Dia ingat mengatakan pada Tay.

Saat itulah Tay mengatakan, Dia memukulnya untuk pertama kalinya, pada 16 Januari, sebelum membawanya ke agensi Kamal, tempat dia mengatakan bahwa Kamal dan Hussein memukulnya.

Namun, Kamal dan Hussein membantah tuduhan itu saat dihubungi oleh Al Jazeera. Kamal mengatakan bahwa agensinya, yang didirikan pada tahun 1992, membawa sekitar 1.000 pekerja rumah tangga ke Lebanon setiap tahun. “Negara akan menutup kita sejak lama, jika mereka menganiaya pekerja rumah tangga,” kata Kamal.

Kamal memberi tahu Tay bahwa satu-satunya cara dia akan pulang adalah jika dia bekerja dua bulan lagi dengan keluarga Dia, untuk membayar tiketnya kembali ke Ghana.

Tay setuju.

Namun, ketika perjanjian itu jatuh tempo pada bulan Maret, dia menghubungi lembaga This Is Lebanon dan mengatakan bahwa Dia menolak untuk membiarkannya pergi. Beberapa hari kemudian, pada 10 Maret, dia berkata, Dia, Kamal dan Hussein memukulinya lagi.

“Bos saya memukul saya tanpa ampun kemarin (dan) pagi dia membawa saya ke kantor (dan) saya dipukuli lagi, ini adalah kedua kalinya mereka memukuli saya di kantor.”

Dia mengatakan, dia membawa Tay ke agensi dengan tujuan membiarkannya bepergian, tetapi kemudian menerima telepon dua jam kemudian dari agensi, “Kami telah menyelesaikannya, dia akan melakukan perjalanan pada bulan Juli.”

Sementara Demanya mengatakan, adik perempuannya telah setuju “karena takut”.

“Aku tidak ingin mati di sini”

Al Jazeera memberi tahu kasus Tay kepada Kementerian Buruh di Libanon. Penasihat kementerian itu Lamia Yammine mengatakan bahwa nama-nama majikan Tay telah dicatat dan Kementerian akan menolak jika mereka mengajukan permohonan untuk diizinkan mempekerjakan pekerja rumah tangga lain.

Dia mengatakan, mereka akan dimasukkan daftar hitam secara permanen “jika terbukti nanti bahwa bunuh diri itu disebabkan oleh pelecehan.”

Pada 12 Maret, Tay mengirim serangkaian gambar kepada kakak laki-lakinya, tampak menunjukkan tangan yang meradang, memar di lengannya dan goresan di bawah matanya yang katanya disebabkan oleh pemukulan.

Dia juga berbagi gambar tisu bernoda darah yang katanya adalah hasil mimisan.

Menurut Demanya, meski dilecehkan, Tay menyatakan keinginan kuat untuk hidup.

“Saya sangat, sangat lemah,” katanya dalam pesan suara, menggambarkan rasa sakit di pergelangan tangan, kaki, dan lehernya.

“Tolong, bantu saya. Bantu saya untuk kembali ke negara saya untuk perawatan. Tolong, saya tidak ingin mati di sini.” Katanya. Tapi ternyata ia mengalami kematian di negara tempat ia bekerja.  (AT/RI-1/P1)

 

Sumber: tulisan Timour Azhari di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.