Jakarta, MINA – “Sertifikasi halal menjadi bagian dari strategi akselerasi kebangkitan UMK melalui kemudahan berusaha,” kata Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Mastuki, saat menjadi narasumber Talkshow Transformasi Formal Usaha Mikro yang diadakan Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta, Rabu (19/5).
Pandemi Covid-19 berlangsung hampir dua tahun. Kondisi ini berdampak berat pada berbagai sektor usaha, termasuk pelaku usaha mikro kecil (UMK) di Indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan juta.
Mastuki memastikan, sertifikasi halal mudah untuk dilaksanakan oleh pelaku UMK. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan banyak kemudahan bagi pelaku UMK dalam pelaksanaan sertifikasi halal.
“Undang-undang Cipta Kerja hadir dengan fleksibilitas yang memberikan penyederhanaan perizinan berusaha termasuk proses bisnis sertifikasi halal. Hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UU tersebut,” terang Mastuki.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Perkembangan regulasi JPH ini, lanjutnya, banyak berimplikasi positif, antara lain pada percepatan layanan sertifikasi halal, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK, penataan kewenangan, kepastian hukum, dan juga mendorong pengembangan ekosistem halal di Indonesia.
“Berdasarkan UU Nomor 33/2014, proses sertifikasi halal produk dalam negeri membutuhkan waktu hingga 97 hari kerja dan sertifikasi halal produk luar negeri selama 117 hari kerja. Regulasi terbaru telah memangkasnya menjadi hanya 21 hari kerja saja,” imbuh mantan Juru Bicara Kemenag itu.
Proses 21 hari kerja tersebut, lanjutnya, terhitung setelah semua kelengkapan dokumen dan persyaratan pelaku usaha terpenuhi. Pemangkasan waktu itu meliputi semua proses bisnis layanan sertifikasi halal yang dilakukan di BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Saat ini layanan sertifikasi halal berbasis web melalui aplikasi Sihalal juga telah terintegrasi dengan Online Single Submission (OSS) sebagai sistem yang mengintegrasikan seluruh pelayanan perizinan berusaha yang menjadi kewenangan berbagai Kementerian/Lembaga yang dilakukan secara elektronik, sehingga proses layanan menjadi lebih cepat dan efisien,” urainya.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Mastuki menambahkan bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK sendiri. Di masyarakat istilah ini dikenal dengan self declare.
“Regulasi memberikan opsi pelaku UMK dapat melakukan halal-self-declare. Namun ini tidak berarti auto-halal begitu saja, melainkan harus melalui mekanisme yang dilaksanakan dengan kriteria tertentu. Di antaranya, produk menggunakan bahan baku no risk dan bahan pendukung yang sudah pasti kehalalannya. Proses produksinya juga sederhana dan harus dipastikan kehalalannya,” terang Mastuki.
Regulasi juga membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi peran serta masyarakat dalam penyelenggaran JPH melalui Ormas Islam. Di antaranya adalah untuk mendirikan LPH, penyiapan Auditor Halal, Penyelia Halal, sosialisasi dan edukasi mengenai JPH, pendampingan dalam proses produk halal, publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan, pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum serta pengawasan terhadap produk halal yang beredar. (L/R2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah