Belitung, MINA – Kementerian Agama (Kemenag) menanggapi hasil Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin merespons hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII di Bangka Belitung, menilai salam lintas agama yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia sebagai bagian praktik baik (best practise) merawat kerukunan umat.
Menurutnya, salam lintas agama disampaikan bukan untuk merusak akidah antar umat, tapi berangkat dari kesadaran dari sikap saling menghormati dan toleran.
“Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing, dan secara sosiologis, salam lintas agama perkuat kerukunan dan toleransi,” kata Kamaruddin Amin, di Jakarta, dikutip Sabtu (1/6).
Baca Juga: Pelatih Timnas Arab Saudi Puji Suporter Indonesia
Salah satu hasil ijtima ini adalah panduan hubungan antar umat beragama berupa Fikih Salam Lintas Agama. Disebutkan dalam panduan tersebut bahwa pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Menurut Kamaruddin dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.
Ia menilai, dalam praktiknya, salam lintas agama menjadi sarana menebar damai yang juga merupakan ajaran setiap agama. Ini sekaligus menjadi wahana bertegur sapa dan menjalin keakraban.
Baca Juga: Banjir Rob Muara Angke Capai Satu Meter, Warga Dievakuasi
“Sebagai sesama warga bangsa, salam lintas agama bagian dari bentuk komitmen untuk hidup rukun bersama, tidak sampai pada masalah keyakinan,” ujar Kamaruddin.
Lebih lanjut, Kamaruddin memaparkan, di negara bangsa yang sangat beragam/multikultural, artikulasi keberagamaan harus merefleksikan kelenturan sosial yang saling menghormati dengan tetap menjaga akidah masing-masing.
“Salam lintas agama adalah bentuk komunikasi sosial yang secara empiris terbukti produktif dan berkontribusi meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama,” paparnya.
Ikhtiar merawat kerukunan penting terus diupayakan. Caranya dengan menguatkan kohesi dan toleransi umat, bukan mengedepankan tindakan yang mengarah segregasi.
Baca Juga: Masyarakat Diimbau Waspada Banjir Lahar di Kawasan Empat Gunung Berapi
“Ikhtiar merawat kerukunan ini berbuah hasil. Praktik baik warga telah meningkatkan indeks kerukunan umat beragama,” sebut Kamaruddin.
Dalam tiga tahun terakhir, jelasnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan. Pada 2021 sebesar 72,39, indeks naik menjadi 73,09 pada 2022. Sementara pada 2023, indeks KUB kembali naik menjadi 76,02.
“Ada tiga dimensi yang dipotret, yaitu toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00. Ini indikator yang sangat baik,” papar Kamaruddin.
Masalah hukum salam lintas agama pernah dibahas juga dalam Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 2019. Dalam simpulannya disebutkan pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti “selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua,” dan semisalnya.
Baca Juga: Erupsi Lewotobi NTT Berkurang, Penerbangan Kembali Normal
Namun demikian, Komarudin menambahkan dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BMKG Prediksi 25 Wilayah di Indonesia Hujan Lebat pada 19-20 November