بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الۤمّۤۚ ١غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ ٢فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَۙ ٣فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ەۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُۗ وَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَۙ ٤بِنَصْرِ اللّٰهِۗ يَنْصُرُ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ ٥ (الروم [٣٠]: ١ــ٥)
Baca Juga: Jihad Itu Lokomotif Perubahan Seorang Muslim
“Alif Lām Mīm [1] Bangsa Romawi telah dikalahkan, [2] di negeri yang terdekatdan mereka setelah kekalahannya itu akan menang [3] dalam beberapa tahun (lagi). Milik Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang mukmin [4] karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. [5].” (QS Ar-Ruum [30]: 1-5)
Imam Al-Qurthubi Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan keajaiban Al-Qur’an dalam memprediksi kejadian di masa depan. Ketika Romawi (Byzantium) dikalahkan Persia (Iran), kaum Muslimin bersedih karena Persia adalah penyembah berhala seperti Quraisy.
Menurut pendapat yang masyhur, Kekalahan Romawi atas Persia terjadi pada tahun 613/614 M (7 tahun seblum hijrah). Hal itu membuat kaum Muslimin bersedih. Kemudian pada 621 M atau 7 tahun kemudian, Romawi berhasil bangkit dari kekalahannya dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah penting yang sebelumnya jatuh ke Persia, yaitu Syam dan Madain.
Kaum Muslimin condong kepada Romawi yang beragama Nashrani karena kedekatan keyakinan, yaitu sama-sama menyembah Tuhan. Sementara Persia yang beragama Majusi menyembah berhala (api).
Baca Juga: Sedekah Sebelum Terlambat: Tadabbur Qur’an Surat Al-Munafiqun Ayat 10
Sementara Buya Hamka, dalam tafsir Al-Azhar menyebut, bahwa ayat ini mengajarkan kepercayaan kepada janji Allah Ta’ala. Meskipun secara fisik dan kekuatan tampak lemah, namun kaum Muslimin harus tetap yakin bahwa kebenaran pasti akan menang. Musuh-musuh Islam pasti akan hancur, meskipun bukan dihancurkan oleh kekuatan umat Islam.
Melalui ayat di atas, umat Islam diingatkan untuk tidak hanya melihat sebuah konflik dari sisi politik dan militer saja, tetapi juga dari sisi keadilan dan kekuasaan Allah dalam mengatur dunia ini.
Dalam konteks perang versus Israel, Iran dalam posisi sebagai negara yang menantang hegemoni Israel dan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Iran tampil sebagai ikon yang berhasil mendobrak kekuatan Zionis sehingga dunia menyaksikan kehancurannya.
Walaupun Iran dan Israel saling mengklaim kemenangan berada di pihak masing-masing, namun mayoritas masyarakat dunia menganggap Iran lah yang menang dalam perang ini. Indikasi tersebut dapat dilihat dari tujuan Israel yang tidak berhasil menghancurkan instalasi nuklir Iran. Sementara Iran berhasil berhasil memporak-prandakan kota-kota penting di Israel dan menekannya untuk melakukan gencatan senjata.
Baca Juga: Nuklir, Mudharat dan Manfaatnya dalam Perspektif Al-Qur’an
Kemenangan Iran, Babak Baru Perlawanan di Timur Tengah
Selama 12 hari berturut-turut, langit malam di Zionis Israel tampak gelap dan pekat. Rudal-rudal Iran meluncur dengan kecepatan tinggi, membawa pesan perlawanan yang mengguncang pertahanan Israel.
Dalam waktu singkat, beberapa wilayah strategis Israel hancur oleh gempuran rudal balistik dengan presisi tinggi. Dunia tercengang. Kehancuran Zionis ini bukan sekadar keberhasilan militer Iran, tetapi juga sebuah pernyataan bahwa hegemoni Israel di kawasan mulai runtuh.
Baca Juga: Peran Orangtua dan Umara dalam Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina
Iran menunjukkan kepada dunia bahwa tekad yang kuat dan strategi yang tepat dapat mengalahkan dominasi teknologi dan dukungan sekutu internasional.
Serangan rudal Iran tidak hanya menghancurkan bangunan dan infrastruktur penting di Israel, tetapi juga menggerus rasa percaya diri musuh-musuh mereka.
Rudal-rudal Iran yang menghantam fasilitas-fasilitas vital di Tel Aviv dan Haifa, membawa kerusakan yang tidak bisa diabaikan. Pusat komando militer yang selama ini menjadi simbol kekuatan Israel, kini tinggal puing-puing.
Bangunan-bangunan yang dulu berdiri megah kini porak-poranda. Ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, berlindung di bunker-bunker dan kemudian mengungsi ke luar negeri, mencari tempat yang aman.
Baca Juga: Hijrah Rasulullah sebagai Langkah Strategis Menuju Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Tidak hanya kehancuran infrastruktur, Zionis Israel juga menderita kerugian yang lebih besar lagi, yakni di bidang politik, ekonomi dan kepercayaan dunia. Israel semakin nampak keretakannya, mulia dari perseteruan para tokoh-tokohnya, hingga semakin menipisnya dukungan dari sekutu utamanya, yaitu Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Zionis Israel semakin terpojok dengan tuntutan rakyatnya yang semakin marah. Bursa saham Tel Aviv mengalami penurunan terburuk dalam beberapa dekade, membuat para investor lari. Bank-bank internasional yang biasanya menjadi penopang ekonomi Israel mulai menarik diri, menandakan krisis yang lebih besar di cakrawala.
Selama perang 12 hari dengan Iran (13–24 Juni 2025), Israel mengalami kerugian besar di berbagai sektor. Menurut data resmi pihak Israel, sedikitnya 28 hingga 31 orang tewas, dan lebih dari 3.000 orang lainnya mengalami luka-luka. Serangan Iran menyebabkan kerusakan signifikan terhadap infrastruktur dan properti sipil, dengan lebih dari 9.000 rumah terdampak dan puluhan ribu warga mengungsi. Secara ekonomi, Israel diperkirakan mengalami kerugian langsung sekitar 20 miliar dolar AS (Rp 326 Triliun).
Di Gedung Knesset (parlemen Israel), mereka menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kebijakan-kebijakan militer yang selama ini dianggap tangguh mulai dipertanyakan kekuatannya. Para pemimpin Israel terlihat cemas, mencoba mencari solusi di tengah tekanan publik dan ancaman yang setiap saat bisa datang tiba-tiba.
Baca Juga: Berjama’ah Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina
Mantan Kepala Intelijen Militer Israel, Amos Yadlin menyatakan: “Kekalahan ini adalah pukulan berat bagi Israel, yang selama ini dikenal memiliki pertahanan canggih dan pasukan yang tak tertandingi di kawasan. Ketidakmampuan kita menghadapi serangan rudal Iran menunjukkan perlunya reformasi besar-besaran dalam strategi pertahanan.”
Sementara itu, dalam sebuah wawancara dengan ILTV Security Brief pada 26 Juni 2025, Kolonel Richard Kemp, mantan Komandan Pasukan Inggris di Afghanistan memberikan analisis mendalam terkait dinamika konflik terbaru antara Israel dan Iran.
Kemp menyoroti bagaimana Iran, meski dihadapkan pada serangan besar-besaran, mampu memaksa Israel untuk meninjau ulang klaim mereka atas keberhasilan dalam konflik tersebut. Analisisnya mencerminkan bahwa strategi militer Iran, yang sering kali mengandalkan taktik asimetris (menggunakan sekutunya di Kawasan) sehingga menciptakan tekanan yang signifikan terhadap Israel.
Meskipun Kemp tidak secara eksplisit menyebut situasi ini sebagai kekalahan bagi Israel, ia mengindikasikan bahwa capaian Israel dalam konflik ini tidak sesuai dengan tujuan strategis mereka. Komentarnya juga menggarisbawahi bahwa dampak dari pertempuran itu akan membawa konsekuensi besar bagi keseimbangan kekuatan di kawasan Timur Tengah.
Baca Juga: Iman, Jihad, dan Hijrah: Tiga Pilar Tegaknya Kalimatullah
Kekuatan Iran tidak hanya terletak pada senjata mereka. Ideologi perjuangan dan aliansi strategis yang dibangun dengan kelompok-kelompok di kawasan serta rakyat yang mendukung pemerintahannya menjadi faktor kunci keberhasilan mereka.
Seorang perwira militer Iran yang menjabat sebagai komandan Pasukan Quds, unit elit dari Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), Jenderal Qasem Soleimani, sebelum meninggalnya menyatakan, “Kami tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi dengan iman dan tekad. Kekalahan Israel menunjukkan bahwa kekuatan militer tanpa moral dan prinsip tidak akan bertahan lama.”
Bagaimana Sikap Kaum Muslimin Menyikapi Perang Iran vs Israel
Dari sisi kedekatan dengan kaum Muslimin, Iran lebih dekat kepada Islam karena mengakui Allah Ta’ala sebagai tuhan mereka. Sementara Zionis Israel memiliki ideologi anti agama, berulang kali melakukan kejahatan kemanusiaan sehingga menjadi musuh bersama seluruh umat manusia.
Baca Juga: Seluruh Pemeluk Dienul Islam Adalah Muslim
Konflik antara Iran dan Israel bukan sekadar pertarungan militer biasa. Perang ini memiliki dimensi ideologis, geopolitik, dan strategis yang kompleks, sehingga perlu kehati-hatian bagi umat Islam untuk menentukan sikap yang tepat.
Sebagai Muslim, memberi dukungan kepada pihak tertentu hendaknya berdasarkan berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, hikmah, dan maslahat bagi umat secara keseluruhan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an:
…،وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة [٥]: ٨)
Baca Juga: Ukhuwah Islamiyah dan Pembebasan Al-Aqsha
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 8).
Kecenderungan negara-negara Muslim berdiri di belakang Iran adalah bukti bahwa mayoritas umat Islam, apapun madzab dan aliansinya, mereka bisa berada dalam satu front dalam melawan kejahatan Zionis Israel.
Sikap terbaik kaum Muslimin dalam menyikapi perang Iran vs Israel adalah mengapresiasi Iran sebagai pihak yang melawan kedzaliman, penjajahan dan pelaku genosida, yaitu Zionis Israel.
Meski demikian, umat Islam juga harus cerdas dalam membaca situasi, karena perang ini tidak lepas dari kepentingan besar negara-negara adidaya yang sering kali memanfaatkan konflik untuk agenda mereka sendiri.
Baca Juga: Istighfar Kunci Perubahan Nasib: Tadabbur Qur’an Surat Nuh Ayat 10-12
Selain itu, penting bagi kaum Muslimin untuk terus membangun sinegri dengan pihak-pihak yang memiliki kesamaan visi, guna mengatasi perpecahan yang sering kali dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Pendiri gerakan perlawanan Hamas, Syaikh Ahmad Yassin Rahimahullah pernah mengatakan, “Umat Islam harus bersatu melawan penjajahan, dan kekuatan terbesar kita adalah persatuan.”
Umat Islam harus mengambil sikap yang arif dan bijaksana, tidak terjebak dalam provokasi yang merugikan persatuan umat. Sebagai Muslim, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa sikap kita membawa maslahat bagi agama, umat, dan dunia.
Terlepas dari anggapan bahwa terjadi sandiwara dan peran Amerika Serikat (AS), yang jelas, hal itu menunjukkan ketangguhan dan kecanggihan teknologi militer Iran yang berhasil mengalahkan Zionis Israel. Ini adalah pesan bagi dunia bahwa perubahan sedang terjadi di Timur Tengah. Hegemoni yang selama ini dipegang oleh Israel dan sekutunya kini mulai goyah. Dunia menyaksikan bagaimana Iran, dengan segala keterbatasannya, mampu berdiri melawan dua kekuatan besar Israel dan Amerika Serikat.
Dari peristiwa perang Israel vs Iran itu, umat Islam hendaknya semakin optimis, bahwa kemenangan perjuangan pembebasan Al-Aqsa dan Palestina semakin dekat. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pertolongan-Nya dari arah mana saja, bahkan dari arah dan pihak yang kita tidak menyangkanya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)