Kemensos Diminta Lebih Jeli Penyaluran BLT BBM Agar Tepat Sasaran

(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Pemerintah mengalokasikan anggaran alih subsidi untuk bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliun. Dari angka tersebut, sebanyak Rp12,96 triliun dialokasikan untuk program bagi 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM).

Anggota Komisi VIII RI Bukhori Yusuf mengingatkan Kementerian Sosial () untuk lebih jeli dalam penyaluran BLT BBM.

Berkaca pada penyelenggaraan program bansos selama pandemi, masalah exclusion dan inclusion error menjadi salah satu permasalahan mendasar yang membuat bantuan tidak tepat sasaran.

“Isu yang sering dikeluhkan adalah soal akurasi data penerima manfaat bansos. Misalnya, ada yang berhak menerima bansos, tetapi dia tidak memperolehnya karena alasan tidak terdata,” kata Bukhori di Jakarta, Rabu (7/9).

Begitupun sebaliknya, lanjut dia, ada yang tidak berhak alias mampu, tetapi dia justru menerima bansos.

“Ini yang menjadi salah satu concern utama DPR terhadap Kemensos terkait pentingnya pembenahan DTKS sehingga kami pernah mengusulkan pencanangan tahun 2021 sebagai Tahun Pendataan,” ujar Bukhori.

Anggota Komisi Sosial DPR ini mengatakan, dana bansos sebagai kompensasi atas kenaikan BBM masih terbilang kecil.

Dari anggaran subsidi energi yang disebut pemerintah mencapai Rp502 triliun, ternyata hanya Rp24,17 triliun atau 4,8 persennya saja yang dialokasikan untuk tiga program bantalan sosial, yakni bantuan subsidi upah, Dana Transfer Umum, serta BLT yang akan dibagikan kepada 20,65 juta KPM dengan total anggaran sebesar Rp 12,96 triliun.

“Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, apakah dana Rp 24,17 triliun itu akan mampu menjadi bantalan sosial terkait dengan kenaikan BBM. Jawaban saya, ya harus dipikir bersama karena menurut saya angka tersebut tidak masuk akal. Jika dari Rp502 triliun hanya dialokasikan Rp24,17 triliun atau 4,8 persennya saja, janganlah terlalu digembar-gemborkan,” kritiknya.

Kedua, lanjutnya, terkait data 20,65 juta KPM ini sebenarnya adalah data yang selama ini sudah menerima Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/sembako yang kemudian tinggal ditambah.

“Persoalan yang akut sampai hari ini adalah apakah data penerima bansos atau KPM dari BPNT dan PKH itu benar-benar 100 persen sudah memenuhi kriteria orang yang berhak menerima? Jawabannya tidak, meskipun jumlah yang tidak memenuhi kriteria itu belum bisa dipastikan. Tetapi perkiraan saya, masih akan ditemukan individu-individu yang sebenarnya tidak berhak menerima, tetapi menerima BLT ini,” ujarnya.

Legislator dapil Jateng 1 ini memperkirakan, sedikitnya ada sekitar 2 persen dari 20 juta kelompok masyarakat yang disasar oleh pemerintah untuk BLT BBM, yakni sekitar 400.000 orang akan menerima bansos meskipun tergolong keluarga yang mampu.

“Saya memperkirakan akan ada 400.000 kepala keluarga yang semestinya tidak berhak untuk menerima, tetapi tetap menerima. Walaupun saya sudah menanyakan kepada Menteri Sosial, apakah betul bahwa data ini sudah diverifikasi secara benar, jawaban Mensos tentu normatif, yakni sudah,” ungkapnya.

Namun faktanya di lapangan, lanjut dia, tidaklah demikian. Oleh karena itu, Komisi VIII DPR berkomitmen mengawal penyaluran BLT BBM ini untuk meminimalisir risiko distribusi BLT yang salah sasaran.

“Pengawalan pertama terkait dengan apakah nilai Rp24,17 triliun itu sudah memadai untuk menjadi bantalan sosial dalam meredam efek kenaikan harga BBM. Sementara pengawalan kedua adalah untuk memastikan apakah dana Rp12,96 triliun yang disalurkan kepada 20,65 juta masyarakat miskin itu akan tiba pada sasaran yang berhak menerima,” katanya.

Berdasarkan pengalaman kami, sambung Bukhori, meskipun jumlah kasus bansos yang tidak tepat sasaran tidak sebanyak yang tepat sasaran, DPR tetap bertanggung jawab memastikan 100 persen bantuan yang berasal dari uang rakyat ini diterima sepenuhnya oleh rakyat yang berhak.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)