Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemerdekaan Indonesia dan Janji untuk Palestina

Redaksi Editor : Arif R - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Peringati Hari Kemerdekaan RI ke-79, Relawan MER-C Adakan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih di RS Indonesia Gaza (foto: MER-C)

Oleh Deni Rahman, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor

SETIAP tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan dengan penuh rasa syukur dan refleksi. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan yang sejati.

Kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga tentang keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas global. Dalam konteks ini, kemerdekaan Indonesia membawa amanat yang lebih luas: membela bangsa-bangsa lain yang masih terjajah, terutama Palestina.

Palestina bukan sekadar isu politik luar negeri. Ia adalah cerminan dari amanat konstitusi, warisan sejarah, dan panggilan spiritual yang tak terpisahkan dari jati diri bangsa Indonesia. Dalam Preambul Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia menegaskan bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa” dan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Pernyataan ini bukan hanya deklarasi hukum, tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi negara.

Baca Juga: Ulama Asal Palestina Dikirim oleh Turki Utsmani ke Aceh

Sebagai bangsa yang lahir dari penderitaan penjajahan, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk membela Palestina, bangsa yang hingga kini masih terjajah dan terpinggirkan dari hak-haknya yang sah. Dukungan terhadap Palestina bukanlah sikap politis sesaat, melainkan bagian dari identitas kebangsaan dan spiritualitas umat. Palestina adalah bangsa yang pertama kali menunjukkan solidaritas kepada Indonesia saat baru merdeka, melalui dukungan diplomatik tokoh-tokoh Arab seperti Syaikh Muhammad Amin al-Husaini, Mufti Besar Yerusalem. Dukungan ini bukan hanya simbolik, tetapi menjadi ikatan emosional dan spiritual yang memperkuat hubungan kedua bangsa.

Komitmen Indonesia terhadap Palestina juga ditegaskan dalam sejarah panjang diplomasi internasional, salah satunya melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Dalam forum bersejarah itu, dari 29 negara yang hadir, hanya Palestina yang belum merdeka.

Presiden Soekarno dengan lantang menyatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina adalah bagian dari misi sejarah bangsa Indonesia yang belum selesai.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia juga memikul tanggung jawab spiritual dalam membela Palestina. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari kaum laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak…” (QS An-Nisa: 75).

Baca Juga: Al-Aqsa dan Istiqlal: Dua Pilar Kesadaran dan Kemerdekaan Umat Islam

Ayat ini menjadi panggilan tegas bagi setiap Muslim untuk mengambil peran aktif dalam membela saudara-saudaranya yang tertindas. Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut dipahami sebagai seruan untuk berjihad melawan kezaliman dan membela kaum mustadh’afin—mereka yang lemah dan teraniaya.

Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya solidaritas dalam sabdanya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan kepedulian mereka seperti satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakit.” (HR Bukhari dan Muslim).

Diam terhadap penderitaan Palestina adalah tanda lemahnya keimanan dan matinya rasa ukhuwah. Sebaliknya, bergerak, dalam bentuk doa, donasi, advokasi, dan boikot, adalah perwujudan nyata dari iman dan loyalitas kepada Islam.

Indonesia telah menunjukkan dukungan terhadap Palestina melalui berbagai jalur diplomasi, baik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), maupun forum-forum internasional lainnya. Namun tantangan masih besar. Lebih dari 147 negara anggota PBB telah mengakui kedaulatan Palestina, tetapi veto dari negara adidaya seperti Amerika Serikat terus menjadi penghalang utama. Dalam konteks ini, suara Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia memiliki bobot moral dan politik yang signifikan.

Baca Juga: Catatan Rencana Pengobatan Warga Gaza di Pulau Galang

Dukungan terhadap Palestina tidak cukup hanya dalam bentuk diplomasi. Ia harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata: boikot terhadap produk-produk pendukung Zionis, penggalangan dana kemanusiaan, edukasi publik, dan kampanye kesadaran yang berkelanjutan. Gerakan solidaritas ini harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, media, dan komunitas akar rumput.

Palestina bukan hanya wilayah yang terjajah. Ia adalah simbol ujian keimanan dan komitmen umat Islam terhadap ukhuwah. Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, terus dinodai. Ribuan nyawa melayang, puluhan ribu terluka dan kehilangan rumah, sementara blokade panjang menghancurkan generasi demi generasi. Mereka bukan hanya korban konflik. Mereka adalah saudara seiman yang terzalimi.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka.” (HR Al-Hakim).

Sabda ini menjadi pengingat bahwa kepedulian terhadap Palestina bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Ia adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta manifestasi dari iman yang hidup.

Baca Juga: Kaitan Gunung Muria di Kudus dan Moriah di Palestina

Kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya bermakna selama masih ada bangsa yang terjajah. Dalam konteks ini, memperjuangkan kemerdekaan Palestina bukan hanya sikap politik atau kewajiban agama, tetapi juga penghormatan terhadap sejarah bangsa sendiri yang pernah mengalami pahitnya penjajahan. Semoga bangsa Indonesia terus menjaga amanat ini, dan semoga Palestina segera meraih kemerdekaannya yang hakiki.

Masjid Al-Aqsha dan Palestina: Jalan Panjang Pembebasan

Masjid Al-Aqsha bukan sekadar situs bersejarah. Ia adalah simbol kemuliaan umat Islam, titik sentral spiritual dan geopolitik, serta saksi bisu dari perjuangan panjang bangsa Palestina. Di balik dindingnya yang terluka, tersimpan amanat besar yang menanti pembebasan. Palestina bukan hanya tanah terjajah, tetapi juga medan ujian bagi solidaritas dan kesadaran umat.

Prof. Dr. Abdul Fattah El-Awaisi, pakar geopolitik Islam asal Palestina, melalui karya-karya mereka, kita diajak memahami bahwa pembebasan Al-Aqsha bukan sekadar wacana, melainkan proyek peradaban yang membutuhkan strategi, ilmu, dan iman.

Baca Juga: Sunan Kudus Mendirikan Masjidil Aqsa Menara Kudus

Dalam bukunya Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa, Prof. El-Awaisi memperkenalkan teori “Lingkaran Berkah Baitul Maqdis.” Ia menyatakan bahwa siapa yang menguasai Baitul Maqdis akan memengaruhi arah peradaban dunia. Maka, pembebasan Al-Aqsha harus dimulai dengan membangun kesadaran geopolitik Islam.

Umat Islam perlu memahami bahwa isu Palestina bukan hanya konflik lokal, tetapi bagian dari pertarungan ideologi dan peradaban. Kajian geopolitik Islam harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan, diskusi publik, dan dakwah harian. Komunitas intelektual seperti Daurah-daurah Al-Quds dapat menjadi wadah untuk merumuskan strategi pembebasan berbasis ilmu dan sejarah.

Imaam Yakshyallah Mansur menekankan pentingnya literasi dan pendidikan tentang Masjid Al-Aqsha. Ia menjadikan isu ini sebagai kurikulum di Pesantren Al-Fatah dan menjadi mata kuliah di STAI Al-Fatah. Menurutnya, cinta kepada Al-Aqsha harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan formal dan nonformal.

Buku-buku tentang sejarah Palestina dan keutamaan Al-Aqsha serta tanggung jawab Muslimin terhadapnya perlu diterjemahkan dan disebarluaskan. Seminar, pelatihan guru, dan kampanye literasi harus digalakkan agar generasi muda tumbuh dengan kesadaran dan semangat perjuangan.

Baca Juga: Tantangan Parenting di Era Serba Digital

  1. Diplomasi dan Advokasi Global

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar memiliki posisi strategis untuk memimpin diplomasi global dalam membela Palestina. Langkah konkret yang dapat diambil antara lain mendorong pemerintah untuk lebih aktif di PBB dan OKI, menggalang dukungan dari negara-negara Global South, serta membentuk tim advokasi internasional yang terdiri dari diplomat, akademisi, dan aktivis.

Diplomasi bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab umat. Setiap suara, tulisan, dan aksi solidaritas adalah bagian dari tekanan moral terhadap penjajahan.

2. Jihad Pena dan Media Digital

Prof. El-Awaisi dan Imaam Yakshyallah sama-sama menekankan pentingnya peran media dan tulisan dalam membela Palestina. Di era digital, jihad tidak hanya di medan perang, tetapi juga di ruang opini publik.

Baca Juga: Sunan Kudus Menantu Ulama Palestina

Umat Islam harus aktif menulis artikel, opini, dan buku tentang keadilan Palestina. Konten digital seperti video dokumenter, infografis, dan kampanye media sosial dapat menjadi senjata ampuh untuk menggugah kesadaran dunia. Media alternatif yang fokus pada isu Palestina perlu didirikan dan diperkuat.

3. Aksi Nyata dan Solidaritas Kemanusiaan

Aqsha Working Group (AWG) bersama MER-C dan lembaga lainnya telah menunjukkan teladan nyata dengan memimpin pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Kini Maemuna Centre (Mae-C) sedang mengagas Pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSAI) di Gaza sebagai wujud nyata kepedulian umat Islam Indonesia selanjutnya. Bahwa pembebasan Al-Aqsha bukan hanya wacana, tetapi aksi nyata.

Donasi kemanusiaan, aksi solidaritas, dan boikot produk pendukung Zionis adalah bentuk komitmen yang harus dijalankan secara kolektif. Umat Islam harus membuktikan bahwa cinta kepada Al-Aqsha bukan hanya di lisan, tetapi juga dalam tindakan.

Baca Juga: Mengapa Zionis Ingin Duduki Gaza Sepenuhnya?

4. Ukhuwah dan Jamaah: Kunci Kemenangan

Pembebasan Masjidil Al-Aqsha hanya bisa dicapai jika umat Islam bersatu, berjama’ah. Perpecahan internal adalah penghalang utama perjuangan. Maka, ukhuwah Islamiyah harus menjadi tema utama dakwah dan khutbah.

Pembebasan Masjid Al-Aqsha dan Palestina bukan sekadar mimpi, tetapi proyek peradaban yang membutuhkan strategi, ilmu, dan iman. “Al-Aqsha Haqquna, Al-Aqsha milik kita, adalah tanggung jawab seluruh umat Islam untuk membebaskannya’

Kini saatnya umat Islam bangkit, bersatu, dan bergerak. Karena Al-Aqsha menanti bukan hanya pembela, tetapi pemimpin yang mampu mengembalikan kemuliaannya. []

Baca Juga: Menjadi Orang Tua Cerdas di Tengah Arus Teknologi

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda