Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemiskinan Menjamur di Negeri yang Konon Kaya

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 43 detik yang lalu

43 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

INDONESIA dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam. Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan bumi membentang: hutan yang luas, tambang emas dan batu bara yang melimpah, serta lautan yang menyimpan potensi perikanan luar biasa. Namun, ironisnya, jutaan rakyat masih hidup dalam keterbatasan. Pemandangan anak-anak yang harus bekerja membantu orang tua, rumah-rumah reyot di pinggiran kota, dan antrean panjang pembagian bantuan sosial menjadi bukti nyata bahwa kemiskinan masih merajalela.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin negeri yang dikaruniai begitu banyak kekayaan justru masih dihuni oleh rakyat yang hidup serba kekurangan? Apakah kekayaan itu hanya sekadar statistik di atas kertas? Ataukah distribusi kekayaan yang tidak merata menjadi akar persoalan?

Ketimpangan sosial semakin terasa di kota-kota besar. Sementara gedung pencakar langit menjulang tinggi sebagai simbol kemajuan, di bawahnya, masyarakat miskin kota harus bertahan hidup dengan penghasilan yang jauh dari cukup. Mereka bekerja serabutan, mengandalkan upah harian yang tak sebanding dengan harga kebutuhan pokok yang terus meroket.

Pembangunan ekonomi yang digembar-gemborkan selama ini ternyata belum sepenuhnya menyentuh akar rumput. Banyak proyek infrastruktur besar dibangun, namun belum memberikan dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat miskin. Mereka tetap menjadi penonton di tengah hiruk-pikuk pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Bertahan Hidup di Negeri Seribu Janji

Kemiskinan bukan hanya tentang kekurangan materi, tetapi juga tentang hilangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Anak-anak dari keluarga miskin seringkali terpaksa putus sekolah demi membantu orang tua bekerja. Sementara itu, layanan kesehatan yang berkualitas masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar warga miskin.

Korupsi dan salah urus anggaran menjadi salah satu faktor utama yang memperparah kemiskinan. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat malah dikorupsi oleh segelintir orang yang haus kekuasaan. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Di sisi lain, mentalitas feodal dan budaya ketergantungan juga turut memperpanjang mata rantai kemiskinan. Banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan pemberdayaan yang memadai sehingga sulit mandiri. Program bantuan seringkali bersifat karitatif, bukan transformatif.

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, dan kartu sembako. Namun, efektivitasnya masih perlu dievaluasi secara jujur dan objektif. Jangan sampai program itu hanya menjadi pencitraan politik yang temporer.

Baca Juga: Mau Sukses Instan, Tapi Takut Proses Panjang?

Media sosial sering memperlihatkan gaya hidup mewah para pejabat dan selebriti, yang kontras dengan kenyataan yang dialami rakyat miskin. Ketimpangan ini menimbulkan luka sosial dan kecemburuan yang bisa berujung pada krisis kepercayaan terhadap negara dan sistem yang ada.

Kemiskinan yang menjamur di negeri kaya menunjukkan adanya kegagalan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kekayaan alam seharusnya dikelola secara adil dan berkelanjutan, bukan dikeruk habis-habisan oleh korporasi besar yang tidak memedulikan dampaknya terhadap masyarakat sekitar.

Jika bangsa ini ingin keluar dari jerat kemiskinan, perlu ada keberanian untuk melakukan reformasi struktural. Pemerataan ekonomi, pemberdayaan masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas terhadap para koruptor harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, mimpi Indonesia sejahtera akan terus menjadi utopia.

Pendidikan menjadi kunci utama memutus rantai kemiskinan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, mendapatkan pendidikan/">akses pendidikan yang layak. Pendidikan bukan hanya mencetak tenaga kerja, tapi juga membentuk manusia yang mampu berpikir kritis dan mandiri.

Baca Juga: Tetap Istiqamah Meski Luka Tak Jua Reda

Selain itu, sektor ekonomi mikro dan UMKM harus diperkuat. Banyak rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari usaha skala kecil, namun akses mereka terhadap modal, pelatihan, dan pasar masih sangat terbatas. Negara harus hadir untuk membantu mereka tumbuh, bukan malah menekan dengan regulasi yang rumit.

Partisipasi masyarakat sipil juga penting dalam mengawal kebijakan publik. Rakyat harus kritis, melek informasi, dan aktif menyuarakan aspirasi mereka. Demokrasi yang sehat hanya akan tercipta jika rakyat sadar bahwa perubahan tidak datang dari atas semata, tapi juga dari bawah.

Kemiskinan di negeri yang konon kaya bukan sekadar paradoks, melainkan sebuah ironi yang menyakitkan. Selama pengelolaan kekayaan masih tidak adil, dan selama suara rakyat kecil tak didengar, maka kemiskinan akan terus menjadi bayang-bayang yang menakutkan di balik gemerlap nama besar “Indonesia”.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Gaza, Kebebasan Pers, dan Tanggung Jawab Dunia

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Khadijah
Indonesia
Palestina