Oleh: Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S At-Taubah [9]: 36)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan bilangan bulan sebanyak 12. Bilangan bulan yang dimaksud di sini adalah perhitungan bulan yang menurut edaran bulan mengelilingi bumi yang disebut sistem Qomariah bukan perhitungan bulan menurut edaran matahari mengelilingi bumi yang disebut sistem Syamsiah.
Di antara 12 bulan itu terdapat 4 bulan yang istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ، السَّنَّةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ؛ ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُوْ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (رواه البخاري)
Artinya: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula sewaktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram dan satu bulan terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.”(HR. Bukhari)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pada bulan-bulan ini Allah melarang umat Islam menganiaya diri. Artinya melanggar aturan Allah dengan melakukan peperangan di bulan-bulan tersebut dan menjaga kesuciannya dengan tidak melakukan berbagai macam kemaksiatan. Sebab tidak menganiaya diri pada bulan-bulan tersebut dan menjaga kesuciannya adalah termasuk agama yang lurus.
Namun, larangan melakukan peperangan di bulan-bulan ini tidak berlaku apabila umat Islam diserang. Maka pada ayat tersebut Allah memerintahkan umat Islam memerangi kaum musyrikin yang memerangi umat Islam. Dalam memerangi kaum musyrikin itu, hendaklah dilakukan secara keseluruhan, tidak boleh ada yang tertinggal sebab kaum musyrikin dalam memerangi umat Islam juga mereka lakukan dengan keseluruhan, mereka kerahkan seluruh tenaga, daya, upaya dan harta untuk menghabisi umat Islam. Maka kalau umat Islam diserang oleh orang musyrik maka mereka diperintahkan menyerang walaupun di bulan haram. Karena apabila serangan mereka tidak dibalas, maka akan terjadi kehancuran Islam karena inilah tujuan mereka memerangi umat Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ.
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (Q.S. Al-Baqarah: 217)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Selanjutnya pada akhir ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan, bahwa Dia akan selalu bersama orang yang bertaqwa. Di antara arti taqwa adalah menjaga diri untuk tidak melanggar peraturan di bulan-bulan yang diharamkan dan tidak melakukan peperangan kalau tidak diserang lebih dahulu.
Kata Muharram menurut bahasa berarti diharamkan. Abu ‘Amr Al-‘Alaa berkata, “Dinamakan Muharram karena peperangan diharamkan pada bulan tersebut.”
Rasalullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ. (رواه مسلم)
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat lail.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan adanya keutamaan bulan Muharram karena disandarkan kepada Allah. Para ulama menerangkan bahwa ketika suatu makhluk disandarkan kepada Allah maka itu menunjukkan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut seperti baitullah (rumah Allah), masjidullah (masjid-masjid Allah), jundullah (tentara Allah), hizbullah (golongan Allah) dan sebagainya.
Al-Hafiz Abul Fadhil Al-Iraqy menjelaskan bahwa penamaan Muharram sebagai Syahrullah dikarenakan bulan Muharram termasuk di antara bulan-bulan yang diharamkan oleh Allah berperang di dalamnya. Di samping itu Muharram adalah perdana dalam setahun.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dalam bulan Muharram, ada hari yang ditekankan dan dikhususkan untuk berpuasa yaitu pada haru Asyuro. Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari Asyuro ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mensyariatkan untuk berpuasa yang disebut puasa Asyuro.
Hadits-hadits yang menjadi dasar puasa Asyuro ini antara lain:
عَنْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم)
Dari Qatadah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu.” (H.R Muslim)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ. (رواه البخارى ومسلم)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ. (متفق عليه)
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa pada hari ‘Asyuro dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga berpuasa pada hari itu. Ketika beliau telah tiba di Madinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan kewajiban puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوْا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka Beliau bertanya: “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak berpuasa terhadap Musa dari pada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. (H.R. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
“Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).”
Hal itu dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani, akan tetapi belum tiba tahun depan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sudah wafat.
Oleh karena itu apabila mampu, sebaiknya puasa Muharram dilakukan dua hari yaitu pada hari kesembilan (Tasu’a) dan hari kesepuluh (‘Asyura). Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa puasa di bulan Muharram yang terbaik adalah tiga hari yaitu tanggal 9, 10, dan 11. Hanya menurut Nashiruddin Al-Albany hadits yang menjelaskan puasa tiga hari di bulan Muharram ini sanadnya lemah. Namun dalam pandangan lain, hadits yang lemah dapat dijadikan dasar untuk amalan yang utama (fadhail a’mal). Wallahu a’lam.
Muharram Bulan Pertama Kalender Islam
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Kalender Islam atau juga disebut kalender hijriah ditetapkan oleh Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu pada tahun keempat beliau menjadi khalifah. Menurut Asy-Sya’bi, suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar bahwa ia menerima surat dari Khilafah Umar tanpa diberi tanggal, bulan dan tahun. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dan kekeliruan. Maka Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat untuk membicarakan kemungkinan dibuat kalender yang seragam bagi umat Islam. Para sahabat setuju dan di antara mereka ada yang mengusulkan agar digunakan kalender Romawi, ada yang mengusulkan penanggalan Persia. Untuk pangkal tahun ada yang usul agar dihitung sejak kelahiran Nabi, ada pula yang mengusulkan sejak turunnya wahyu pertama, adapula yang mengusulkan sejak Perang Badar dan peristiwa penting lainnya dalam kehidupan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ali bin Abi Thalib mengusulkan agar perhitungan awal tahun dimulai dari hijrahnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah. Usul ini diterima oleh Khalifah Umar karena peristiwa hijrah merupakan awal keberhasilan perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersama sahabatnya dalam menegakkan masyarakat Islam.
Menurut Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya As-Syamarikh fi Ilm At-Tarikh sebagaimana yang dinukil oleh Republika (Ahad, 18 Oktober 2015) Khalifah Umar bin Khatthab bukanlah sosok pertama yang menyerukan penggunaan peristiwa hijrah sebagai acuan penanggalan. Akan tetapi justru Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah yang paling awal menyerukan penggunaannya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fi As-Syuruth karangan Abu Thahir bin Mahmasy.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menulis surat kepada umat Nasrani di Najran. Untuk penulisannya beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib dan agar menulis kalimat, “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak hijrah”. Oleh karena itu dengan yakin As-Suyuthi menegaskan dalam kitabnya, “Jelas yang pertama Rasulullah, Umar hanya melanjutkan”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitabnya “At-Tarikh Ash-Shaghir”. Bahwa ketika Umar bin Khatthab akan menetapkan sistem penanggalan, dia mengumpulkan para sahabat meminta saran mereka. Setelah mendapatkan beberapa masukan, ia memilih pendapat Ali bin Abi Thalib yang acuannya adalah peristiwa hijrah. Walaupun terdapat perbedaan riwayat seperti di atas, secara prinsip maksudnya adalah tentang perlunya dibakukan kalender khusus bagi umat Islam. Adapun nama-nama bulan sudah dikenal jauh sebelum Islam yang kemudian dipakai pada masa Islam.
- Muharram, dinamakan demikian karena pada bulan itu diharamkan berperang dan menumpahkan darah.
- Shafar, yang berarti kosong atau kuning. Dinamakan demikian karena pada bulan ini, dahulu semua laki-laki bangsa Arab meninggalkan rumah untuk berperang, berdagang, berburu, mengembara dan lain sebagainya sehingga rumah mereka kosong dari kaum laki-laki.
- Rabi’ul Awal, yang berarti mereka menetap pertama. Dinamakan demikian karena pada bulan ini, kaum laki-laki yang tadinya keluar rumah sudah kembali ke rumah keluarganya masing-masing.
- Rabi’ul Akhir, yang berarti menetap kedua. Dinamakan demikian karena semua laki-laki yang tadinya meninggalkan rumah telah menetap di rumah masing-masing untuk terakhir kali.
- Jumadil Awal, yang berarti kekeringan pertama. Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab mengalami kekeringan.
- Jumadil Akhir, yang berarti kekeringan kedua. Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab mengalami kekeringan kedua (terakhir).
- Rajab, yang berarti mulia. Dinamakan demikian karena orang Arab dahulu memuliakan bulan ini dengan menyembelih anak unta yang pertama dari induknya yang dilakukan pada tanggal 1. Pada tanggal 10 mereka menyembelih unta lagi, tapi tidak mesti anak unta yang pertama. Pada bulan ini orang Arab kuno juga pantang berperang dan pintu Ka’bah selalu dibuka.
- Sya’ban, yang artinya berserak-serak. Dinamakan demikian karena pada bulan ini orang Arab dahulu bertebaran pergi ke lembah-lembah dan oase-oase untuk mencari air dan penghidupan.
- Ramadhan yang artinya panas terik atau terbakar. Dinamakan demikian karena pada bulan ini cuacanya sangat panas, jika orang berjalan kaki tanpa alas kaki, maka telapak kaki akan terasa terbakar.
- Syawwal yang artinya naik. Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab punya kebiasaan naik unta. Pinggul unta dipukul, sehingga ekor unta menjadi naik.
- Dzul Qa’dah yang artinya empunya duduk. Dikatakan demikian karena dahulu orang Arab pada bulan ini mereka punya kebiasaan duduk di rumah, tidak mengadakan perjalanan.
- Dzul Hijjah yang artinya empunya haji. Dinamakan demikian karena pada bulan ini, sejak Nabi Adam ‘Alahi Salam manusia sudah melakukan ibadah haji.
Di samping kalender hijriyah, dunia saat ini juga menggunakan kalender Masehi. Kalender Masehi yang mengambil kelahiran Yesus Kristus sebagai tahun pertama, mula-mula diusulkan oleh Denys le Petit pada tahun 532 M. Menurut penelitiannya, Yesus lahir tanggal 25 Desember tahun 753 Romawi. Namun sebagian orang berpendapat bahwa Denys le Petit terpengaruh oleh kepercayaan Paganis Romawi Kuno yang menyembah Dewa Mithra sebagai lambang Dewa Matahari yang biasa diperingati dan dirayakan ulang tahunnya pada tanggal 25 Desember. Tanggal inilah yang digunakan oleh dunia Kristen untuk memperingati Hari Natal sejak dulu sampai saat ini.
Adapun nama-nama bulan tahun Masehi, kebanyakan diambil dari nama-nama dewa bangsa Romawi, yaitu;
- JANUARI. Merupakan bulan pertama dalam tahun masehi. Berasal dari nama dewa Janus, dewa bermuka dua, yang satu menghadap kedepan dan yang satunya lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus juga disebut Dewa Pintu.
- FEBRUARI. Merupakan bulan kedua dalam tahun masehi. Berasal dari nama dewa Februus, dewa penyucian.
- MARET. Merupakan bulan ketiga dalam tahun masehi. Berasal dari nama dewa Mars, dewa perang. Pada asalnya, maret merupakan bulan pertama dalam kalender Romawi, lalu pada tahun 45 SM Julius Caesar menambahkan bulan Januari dan Februari di depannya sehingga menjadi bulan ketiga.
- APRIL. Merupakan bulan keempat dalam tahun masehi. Berasal darinama dewi Aprilis, atau dalam bahasa latin disebut juga Aperire yang berarti “membuka”. Diduga kuat sebutan ini berkaitan dengan musim bunga dimana kelopak-kelopaknya mulai membuka. Juga diyakini sebagai nama lain dari Dewi Aphrodite atau Phru, Dewi cinta orang romawi.
- MEI. Merupakan bulan kelima dalam tahun masehi. Berasal dari dewi kesuburan bangsa romawi, Dewi Maia.
- JUNI. Merupakan bulan keenam dari tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Juno.
- JULI. Merupakan bulan ketujuh dalam tahun masehi. Di bulan ini Julius Caesar lahir, sebab itu ia dinamakan bulan juli. Sebelumnya bulan juli disebut sebagai Quintilis, yqang berarti bulan kelima dalam bahasa latin, karena kalender romawi menempatkan maret sebagai bulan pertama.
- AGUSTUS. Merupakan bulan kedelapan dalam tahun masehi. Seperti juga nama bulan juli yang berasal dari nama Julius Caesar, maka bulan agustus pun berasal dari nama kaisar Augustus. Pada awalnya, ketika maret masih menjadi bulan pertama, Agustus menjadi bulan keenam dengan sebutan Sextilis.
- SEPTEMBER. Merupakan bulan kesembilan dari tahun masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa latin Septem, yang berarti tujuh. September merupakan bulan ketujuh dalam kalender romawi sampai tahun 153 SM.
- OKTOBER. Merupakan bulan kesepuluh dalam tahun masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa latin Octo, yang berate delapan. Oktober merupakan bulan kedelapan dalam kalender romawi sampai tahun 153 SM.
- NOVEMBER. Merupakan bulan kesebelas dalam tahun masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa latin Novem, yang berarti Sembilan. November merupakan bulan kedelapan dalam kalender romawi sampai tahun 153 SM.
- DESEMBER. Merupakan bulan keduabelas atau terakhir dalam tahun masehi. Nama bulan ini berasal dari bahasa latin Decem, yang berarti sepuluh. Desember merupakan bulan kedelapan dalam kalender romawi sampai tahun 153 SM. (P004/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)