Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Belum Maksimal Menurunkan Prevalensi

Rana Setiawan - Senin, 7 November 2022 - 22:33 WIB

Senin, 7 November 2022 - 22:33 WIB

4 Views

Ilustrasi.(Sumber: Pixlab)

Jakarta, MINA – Organisasi pengendalian tembakau di Indonesia menyatakan kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10% dinilai belum maksimal, cenderung sangat kecil, dan tidak akan efektif menurunkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak.

Organisasi tersebut yang diwakili oleh Komnas Pengendalian Tembakau, CISDI, CHED ITB AD, Lembaga Demografi FEB UI, PKJS UI, MTCC dan TCSC IAKMI sebagai institusi yang mempunyai kepedulian pada isu kenaikan cukai hasil tembakau,

Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., menyampaikan kemudahan akses dan murahnya harga rokok adalah faktor signifikan tingginya prevalensi perokok anak, sehingga kenaikan cukai yang hanya 10% ini akan kembali menganggalkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak yang kini sudah mencapai 9,1%.

“Ditambah lagi, kenaikan tipis ini tidak terlalu berpengaruh pada perokok adiktif mengingat terlalu dekat dengan angka inflasi tahunan,” kata Hasbullah pada temu media digelar secara hibrida berpusat di sekretariat TCSC IAKMI, Jakarta, Senin (7/11).

Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa

Sementara Kepala Lembaga Demografi FEB UI, ekonom dan peneliti dari UI, Dr. Abdillah Ahsan, S.E, M.S.E., mengatakan, hal lain yang juga mengecewakan adalah tidak adanya penyederhanaan golongan.

Menurutnya, struktur cukai saat ini dengan delapan golongan yang ada, sangat memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah, serta memberikan peluang bagi produsen untuk menghindari cukai dengan melekatkan pita cukai rendah pada produk yang cukainya lebih tinggi.

“Kompleksitas sistem cukai rokok dengan sejumlah golongan tersebut, memberikan celah penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga mengakibatkan kerugian ganda bagi kesehatan dan pendapatan negara,” ujar Abdillah.

Dia menyatakan, kenaikan Cukai Hasil Tembakau merupakan amanah Undang-undang Cukai No 39 Tahun 2007, tarif CHT per tahun di Indonesia belum pernah mencapai tarif yang dicantumkan dalam Undang-undang yaitu 57% dengan harga dasar perhitungan terhadap HJE.

Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, SH., mengatakan, kenaikan cukai yang kecil ini membuat target RPJMN tidak akan tercapai dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja menjadi 8,7% pada tahun 2024.

Tulus menyampaikan, target tersebut hanya akan tercapai jika terjadi kenaikan minimal 25% setiap tahun.

“Kenaikan cukai 5 tahunan sebesar 15% untuk rokok elektronik juga terlalu kecil, mengingat prevalensi rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, laju kenaikan yang sangat tinggi, bahkan ebih besar di kalangan remaja,” katanyai.

Cukai sendiri merupakan salah satu kebijakan yang cost effective untuk mengurangi prevalensi perokok. Namun cukai yang diberlakukan belum mampu menurunkan harga rokok eceran, sehingga konsumsi, terutama pada anak dan remaja masih terancam tinggi.

Baca Juga: Guru Tak Tergantikan oleh Teknologi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Tekankan Peningkatan Kompetensi dan Nilai Budaya

Ketiga pembicara sepakat memberikan dukungan penuh kepada Pemerintah, baik pusat dan daerah untuk konsisten menaikkan cukai tembakau untuk kepentingan penurunan prevalensi perokok anak dan target penurunan prevalensi perokok anak sesuai target RPJMN 2024.

Pada Kamis (3/11), Kementerian Keuangan RI mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dengan kenaikan rata-rata cukai rokok sebesar 10% (SKM I-II naik 11,75%-11,50%; SPM I-II naik 12%-11,8%; SKT I-II-III naik 5%), yang akan berlaku sama untuk 2023 dan 2024.

Cukai rokok elektronik naik 15% dan 6% untuk HPTL, yang berlaku kenaikannya setiap tahun selama 5tahun, mulai 2023 sampai 2028.

Selain itu, pemerintah juga menyatakan, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) harus fokus digunakan untuk perbaikan kesehatan (perbaikan puskesmas, posyandu, dan penanganan stunting; perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok ilegal).

Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa

Juga impor tembakau akan diatur dan dibatasi untuk melindungi petani tembakau dalam negeri.(L/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio

Rekomendasi untuk Anda