Oleh: Widi Kusnadi, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Tepat jam 4 pagi waktu Nepal, suara burung gagak membangunkanku, seolah mengajak untuk segera mengingat Yang Maha Memberi Kehidupan. Meski terasa berat karena dinginnya udara malam, aku tetap bergegas mandi dan shalat Tahajud.
Pagi itu, udara Nepal cukup cerah. Setelah shalat Subuh dan tilawah (membaca) Al Qur’an, aku segera berkemas untuk kembali ke “medan laga” melanjutkan misi kemanusiaan menolong sesama. Kali ini, sesuai rencana, kami akan menuju ke desa Capakot, distrik Pokhara, salah satu desa korban gempa beberapa waktu lalu.
Tepat pukul 7.30 waktu setempat, sampailah kami di RS Kantipur General Hospital. Di rumah sakit itu, kami disambut oleh direkturnya dr Budhi man Sheerta. Sang dokter adalah warga asli Capakot yang lama mengenyam pendidikan kedokteran gigi di Jepang selama enam tahun.
Sebelum berangkat ke Capakot, kami sempat mengabadikan untuk berfoto bersama di depan rumah sakit sebagai tanda kebersamaan kerja sama Indonesia-Nepal. Bersama dengan enam perawat rumah sakit itu, kami pun berangkat menumpangi bus ¾ (kira-kira sebesar metromini di Jakarta).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Kami sempat ragu mau melanjutkan perjalanan di hari itu, karena sehari sebelumnya dr. Budhi man bercerita pada kami, medan jalan yang akan ditempuh sama seperti di Sindhupalcowk, bahkan lebih ekstrim lagi. Namun, keraguan itu akhirnya sirna bersama rasa tawakal kepada-Nya. Maka, seraya mengucap Bismillah, berangkatlah kami bersama dr. Budhi man dengan mini bus tersebut menuju desa Capakot.
Makan Siang di Madina
Rupanya, untuk menuju desa Capakot lumayan jauh. Karena lelah dan sudah setengah hari perjalanan belum juga sampai, akhirnya kami beristirahat sebentar sembari makan siang di desa Mogleng, 80 km dari distrik Pokhara. Alhamdulillah, di desa itu, kami mendapatkan restoran Muslim, Madina Hotel & Restaurant namanya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kami pun memesan ayam kare khas Nepal. Kami merasa nyaman dan mantap makan direstoran itu apalagi ada jaminan halal dari penjualnya; seorang Muslim berwajah India yang mengaku pernah beberapa tahun bekerja di Saudi menjadi Chef (juru masak). Maimuddin nama pemilik restoran itu.
Maimuddin menuturkan, di tempatnya itu ada sekitar 200 Muslim. Mereka sedang membangun masjid namun baru sampai pondasi saja. Menurutnya, selama ini komunitas Muslim di daerah itu selalu melakukan segala sesuatu dengan mandiri, termasuk membangun masjid tadi.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pemerintah Nepal juga tidak mengekang keberadaan Muslim di negaranya. Mereka bisa hidup rukun berdampingan dengan pemeluk agama lain yang mayoritas Hindu dan Budha. Apalagi setelah terjadi gempa bumi ini, tentu kerukunan warga Nepal yang berlainan agama itu semakin terjalin erat sebagai akibat kebersamaan dikala tertimpa musibah.
Gempa Susulan Itu
Tak sampai satu jam setelah kami makan siang di restoran Muslim itu, kami merasakan seolah bumi yang dipijak “menari.” “Innalillahi, apakah ini gempa susulan,” bisikku dalam hati. Benar saja, tiba-tiba warga terlihat berhamburan keluar ruangan dengan suara riuh karena panik. Suara gemuruh tanah dan bangunan menderu menambah kepanikan. Sontak, kami pun ikut panik. Tak mau ketinggalan, kami pun segera keluar dan menyelamatkan diri. Aku melihat baliho di pinggir jalan bergoyang-goyang pertanda terjadi gempa susulan.
Tim kami berlari sejauh mungkin bersama warga untuk menghindari bangunan yang akan roboh, sambil memantau keadaan sekitar kita. Dalam keadaan panik seperti itu, aku dan tim serta warga terkejut karena melihat bukit yang tampak menjulang beberapa puluh meter di belakang restoran tempat kami makan siang itu tiba-tiba mengeluarkan asap tebal. Oh, rupanya itu pertanda baru saja terjadi reruntuhan akibat gempa.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
dr. Budhi man segera menelpon rumah sakit tempat ia bekerja untuk menanyakan kondisi disana. Ia bersyukur karena bangunan rumah sakitnya aman, tapi gedung lantai lima di sebelah rumah sakit menjadi miring akibat gempa yang baru terjadi. Warga pun lari ke rumah sakit mencari perlindungan dan pertolongan medis.
Belum reda kepanikan warga, gempa kembali melanda. Gempa kali ini lebih besar lagi. Warga termasuk kami, makin panik karena getaran dan guncangannya kian hebat. dr Budhi man segera menelpon kementerian Nepal dan mendapat informasi, gempa kali ini berpusat di kota Namche Bazar.
Gempa kedua itu berkekuatan 7,3 Skala Richter (SR). Akibat besarnya kekuatan gempa, guncangannya bisa dirasakan sampai Ibukota India, New Delhi dan Ibukota Bangladesh, Dhaka. Perdana Menteri Nepal, Sushil Koirala meminta rakyatnya tetap tegar dan bersabar.
Menurut laporan resmi pemerintah negara itu, satu jam setelah gempa menyatakan, 37 warga Nepal tewas, 17 lainnya tewas di India, dan satu di Tibet.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Laporan yang kami terima, gedung Kathmandu Guest House (KGH) yang selama ini menjadi base-camp para relawan Indonesia mengalami keretakan hingga seluruh relawan terpaksa pindah ke Park Village Resort Budhanikhanta.
Dua kali Terjebak Sungai
Setelah situasi mulai kondusif, kami pun melanjutkan perjalanan. Benar saja apa yang dikatakan dr. Budhi man, kali ini kami harus melalui hutan dengan kondisi jalan berkelok-kelok dan di’temani’ kepulan debu sangat tebal sehingga kami harus memakai masker meski di dalam bus. Sudah lebih dari tiga jam kami melewati jalan tanah liat di hutan itu, tapi belum juga sampai di tempat tujuan. Kami melihat kiri kanan, disamping kami jurang mengancam. Jika si sopir salah perhitungan sedikit saja, pasti bus akan terjun ratusan meter ke dasar jurang. Komandan Saleh bertanya kepada dr Budhi man, kapan kita akan sampai? Dia menjawab tiga jam lagi. Subhanallah, rupanya masih lama.
Akhirnya, sampailah kami di sebuah jalan dengan sungai membentang di tengah hutan itu. Aku sempat berfikir, apakah mungkin bus ini bisa menyeberangi sungai itu? Alhamdulillah, dengan dengan pertolongan Allah dan segenap upaya dari si sopir, akhirnya bus dapat menyeberang juga, meski beberapa kali garda belakang mentok terbentur batu hingga menimbulkan suara benturan keras. Itu adalah sungai pertama yang harus kami lalui sebelum sampai pada sungai kedua yang di hutan itu.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Entah karena lelah atau apa, tak terasa kami pun sampai di sungai kedua. Sungai kedua ini tak semudah sungai pertama saat melaluinya. Kali ini bus kami tidak bisa naik ke seberang. Kami terjebak di tengah sungai. Masih beruntung karena sungai itu tak sedalam sungai Mahakam di Samarinda atau Kapuas di Kalimantan Barat. Bus kami terjebak di tengah sungai. Bagian belakang bus terganjal batu besar sehingga ban belakang tak bisa menginjak tanah, alias nggandul dalam bahasa Jawa.
Melihat situasi begitu sulit, kami pun berusaha membantu si sopir sebisa mungkin agar bus itu sampai ketepian. Kami, para penumpang yang terdiri dari relawan berusaha keras mengganjal batu pada ban belakang. Sementra sopir bus berusaha berkali-kali mengegas bus agar bisa naik ke seberang. Namun, berkali-kali juga usaha itu kami lakukan, hasilnya nihil. Bus tetap saja belum juga beranjak, padahal saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 sore.
Sebenarnya, kami sudah lelah dengan kondisi perjalanan yang menantang itu. Rasanya, energi tadi siang selepas makan di restoran Muslim itu habis sudah. Tapi kami berusaha untuk sabar dan selalu berdoa kepada yang Maha memudahkan agar tujuan kami membantu sesama dimudahkan. Kami pun beristirahat sejenak di alam terbuka itu. “Bisa jadi kami akan menginap di alam terbuka yang ditemani bintang-bintang malam ini,” pikirku.
Sembari rehat sejenak, salah satu tim kami, Komandan Saleh namanya, sudah merebus air agar bisa membuat kopi panas bagi yang menginginkannya. Tim rombongan itu terlihat sudah ikhlas jika memang malam itu harus bermalam di tengah hutan lepas. Apa daya, bus kami terjebak di tengah sungai itu.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Beruntung sinyal handphone di hutan itu bisa tertangkap, sehingga aku bisa berkomunikasi dan meminta doa kepada teman-teman MINA di Jakarta agar Allah memberikan solusi terbaik. Teman-teman di Jakarta mengirim pesan agar banyak berdoa dan istighfar sehingga Allah akan segera memberikan jalan keluar.
Selang beberapa saat setelah mendapat pesan dari teman-teman MINA Jakarta, aku pun tak menyia-nyiakan waktu untuk bergegas mengambil air wudhu dan melakukan shalat hajat dua rekaat, sembari berdoa semoga Allah mengangkat bus kami yang terjebak di sungai. Aku sangat yakin doa seorang musafir pasti dikabulkan. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri.
Masya Allah, biidznillah (dengan izin Allah), setelah aku shalat hajat, tiba-tiba ada seorang pemuda lewat dengan tangan kanan di depan berbalut kain putih, pertanda ia mengalami patah tulang. Ia mendatangi kami, namun tak bicara sepatah katapun, mungkin karena tahu kami orang asing dengan bahasa yang tak dipahaminya. Sesampai di samping bus kami. Tanpa berpikir panjang, teh Iis dan kak Rita segera menghampiri pemuda itu dan mengatakan akan membantu pengobatannya serta mengganti gip yang ia kenakan.
Setelah berkonsultasi dengan dr Habib dan dr Ratih, kedua wanita itu segera mempersiapkan peralatan dan langsung bekerja. Kira-kira sepuluh menit, mereka selesai mengganti gip pemuda itu dan memberinya obat untuk membantu penyembuhan.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pemuda itu pun berlalu dari hadapan kami. Kami sama-samar berharap, semoga pertolongan yang kami berikan kepada pemuda tadi tadi menjadi wasilah agar Allah juga mendatangkan pertolongan kepada kami dengan mengangkat bus yang terjebak di tengah sungai. Tak terasa, sinar matahari sudah mulai menghilang, mega merah mulai merona, tanda waktu Magrib tiba.
Lalu, aku pun beranjak untuk mengambil senter sebab yakin sekali tim akan bermalam di hutan malam itu. Tiba tiba saja dari seberang muncul sebuah truk pengangkut pasir datang, lengkap dengan besi di depan, seolah menawarkan bantuan untuk menderek bus kami. Para relawan segera menyambutnya dengan mengaitkan besi kepada kedua kendaraan itu. Meski dengan susah payah, akhirnya bus bisa terangkat ke seberang. Alhamdulillah ya Allah…pertolongan-Mu begitu dekat.
Kematian Didepan Mata
Mega merah telah berlalu, malam menyelimuti hutan itu. Suara jangkrik pun bersahutan pertanda malam menjelang. Bus yang kami naiki segera melaju menerobos gulitanya malam di tengah hutan yang menganga jurang di kiri dan kanan. Kami bertanya kepada Budhi man berapa lama lagi kita akan sampai? “45 menit lagi,” jawabnya. Ah, sebentar lagi akan tiba di tempat yang dituju pikirku.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Bus pun terus melaju meski jalan cukup terjal, jarak pandang hanya beberapa meter saja, sinar lampu depan yang beberapa kali mati berbarengan dengan matinya mesin bus. Sudah lebih dari satu jam kami berlajan, belum juga sampai tujuan. Ah, ternyata bus salah jalan. Tanpa pikir panjang, berbaliklah kami ke belakang menyusuri jalan berliku tak jelas kemana arah yang dituju.
Karena kondisi jalan off road sangat terjal, beberapa kali bus oleng ke kiri dan kanan. Penumpang pun berkali-kali teriak histeris karena guncangan yang begitu kencang. Bus kita berkali-kali hampir masuk jurang. Ban kiri belakang berkali-kali hampir tergelincir karena tak sempurnanya jarak pandang, ditambah ungkapan dari dr Budhi man, “We are too greedy to cut off the way that make longer than schedule.” Subhanallah..
Kepanikan teman-teman semakin memuncak. Ku lihat wajah-wajah mereka pucat pasi. Kak Rita dan teh Iis menengadahkan tangan, mereka berdoa. Komandan Saleh beberapa kali meminta agar bus berhenti saja dan melanjutkan perjalanan esok hari. Jelas suatu kecerobohan, dengan jarak pandang hanya beberapa meter, lampu depan bus yang tak jelas terang, ditambah ancaman jurang ratusan meter di kiri kanan. Sungguh mendebarkan malam itu berada di dalam bus melalui jalan-jalan off road yang terjal dan tak jelas kemana arahnya.
Dalam kepanikan yang belum pernah ku alami sebelumnya itu, aku mencoba menenangkan diri. Kuambil tayamum untuk segera shalat Maghrib dan sekaligus jamak Isya. Aku berusaha untuk tidak ikut histeris. Aku berusaha untuk tetap tenang dan memasrahkan segalanya kepada Allah yang Maha memberi kehidupan. Dalam keadaan tak menentu itu, aku berusaha berdoa, “Ya Allah, jika bus ini masuk jurang dan takdirku meninggal dalam perjalanan ini, ampuni segala dosaku ya Allah. kutitipkan keluargaku kepada Mu ya Allah. Engkaulah sebaik-baik penerima titipan. Aku teringat Pae dan Mae (Bapak dan Ibu). Maafkan anakmu Mak, Pak, sudah sebesar ini belum bisa membahagiakanmu. ”
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Keadaan tak juga membaik. Sebaliknya, berkali kali, garda belakang bus terganjal batu yang menyebabkan suara keras, ditambah teriakan histeris dari para relawan karena goyangan badan bus yang hampir masuk jurang. Semua barang bawaan milik kami dalam bus berhamburan karena kerasnya guncangan. Sementara kami tidak tahu berapa lama lagi perjalanan ini sampai tujuan. Berkali kali dr Budhi man keluar bus, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia membawa kami ke jalan yang benar.
Sepanjang jalan, kami memejamkan mata agar tak melihat suasana disekitar. Ku tutup juga telingaku agar tak mendengar jeritan-jeritan histeris teman-teman. Aku mencoba untuk terus beristighfar, meski tubuh ini pun terus bergetar dengan keras karena guncangan bus akibat jalan yang tak datar.
Meski dr Budhi man meyakinkan semua penumpang agar tidak panik, tetap saja kami gamang, bahkan semakin menjadi karena kami sebenarnya tahu dr Budhiman sendiri tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Sudah hampir jam sembilan (artinya dua jam perjalanan) belum juga sampai tujuan. Sementara jalan semakin berliku, suara keras benturan garda mobil dan batu membuat kami semakin lelah. Jurang menganga di kiri dan kanan seolah menengadah, menyambut siapa saja yang lengah. Kondisi para relawan yang sudah lusuh penuh debu, dengan wajah pucat membiru, namun bus tetap melaju menyusuri gelapnya hutan belantara, yang tak tahu hendak kemana.
Ketika kami membuka mata, ada gemerlap cahaya di ujunga sana. Aku bertanya, apakah aku sudah berada di alam berbeda. Sesekali kucubit pipiku, apakah masih terasa, ah ternyata sakit juga. Oh, berarti aku masih di alam dunia. Kulihat kanan kiri, ada suara anak-anak memanggil, Hellow Indonesia-Hellow Indonesia, seolah mereka menyambut kami. Namun benarkah ini bukan mimpi? Aku masih belum yakin rasanya.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Ternyata benar, kami sudah sampai di tempat tujuan. Para penduduk mengulurkan tangan, menyambut kami dengan penuh kehangatan. dr. Budhi man berkata, “This is my life, this is my town, please enjoy your night and tomorrow we will pick you up for medical treatmen.” Kami pun menjawab, “Thank you very much doctor. You bring me to the beautuful place. This is unforgetable moment that I will always remember in all my life”
Akhirnya, malam itu kami pun beristirahat melepas segala kelelahan dan kepanikan yang baru saja dialami. Aku sendiri merasa sangat bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan untuk bisa merasakan apa yang dirasakan warga Nepal seperti gempa bumi. Bersyukur karena kami masih diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan meski halang rintang menghadang di depan mata. (L/R04/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)