Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenapa Arab Saudi Sangat Benci Al Jazeera

illa - Senin, 26 Juni 2017 - 13:09 WIB

Senin, 26 Juni 2017 - 13:09 WIB

3120 Views

Arab Saudi, Mesir dan Yordania telah mengusir biro-biro Al Jazeera keluar dari negara mereka. Saudi juga telah melarang hotel-hotel menawarkan saluran itu kepada para tamunya. Kini, Qatar terlibat dalam suatu sengketa diplomatik dengan sekelompok negara Arab, dan menutup Al Jazeera tampaknya menjadi salah satu tuntutan kunci.

Jika anda ingin memahami kenapa beberapa pemimpin dunia Arab tidak menyukai Al Jazeera, ingatlah program “Sharia and Life” (Syariah dan Kehidupan).

Selama beberapa tahun, acara itu merupakan salah satu tayangan paling populer di jaringan tersebut, menjangkau puluhan juta orang. Pemirsa akan mengontak saluran itu dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tentang agama kepada Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama Mesir dari kelompok Persaudaraan Muslim.

Pemirsa akan bertanya segala hal seperti: Apakah boleh merokok selama bulan Ramadhan? Apakah seorang wanita Palestina harus mengenakan hijab saat melaksanakan suatu pengeboman bunuh diri?

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Sebelum Al Jazeera, tayangan serupa itu merupakan hal yang tidak biasa di dunia Arab, di mana media diawasi dengan ketat. Tetapi jaringan media milik Qatari ini mempunyai sebuah mandat untuk memproduksi jurnalisme ambisius tentang persoalan-persoalan yang luas (beberapa diantaranya tabu). Jaringan ini juga menawarkan cakupan opini yang lebih luas ketimbang media Arab lainnya.

Kualitas-kualitas itu membuatnya menjadi jaringan paling popular di Timur Tengah. Al Jazeera juga menarik banyak musuh. Para penguasa di Arab Saudi dan Mesir marah atas jangkauan siaran stasiun itu dan hasratnya untuk memancing oposisi. Mereka tidak suka Islamnya dibengkokkan dan mereka marah karena penduduknya dihadapkan pada laporan kritis atas rejim-rejim mereka (dan mendukung agenda Qatari).

Ada sekitar 350 juta pembicara di seluruh Timur Tengah. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, stasiun-stasiun radio berusaha merangkul kelompok ini. Radio Sawt al-Arab misalnya, didirikan oleh Mesir untuk menyebarkan gagasan-gagasan President Gamal Abdel Nasser tentang Pan-Arabik. (Radio itu sangat efektif sehingga para lawan politik Nasser di Arab Saudi menekan radio tersebut).

Tahun 1990-an, keluarga kerajaan Saudi mulai membeli suratkabar-suratkabar Arab dan membagikannya ke seluruh kawasan itu. Mereka juga membangun sebuah stasiun satelit MBC, diperuntukkan bagi audiens yang luas. Siaran itu tak pernah populer, tetapi menjadi potensial sebagai media pan-Arabik.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Jaringan televisi ini juga menimbulkan pemikiran lain pada para pemimpin di kawasan tersebut: bahwa mereka mungkin kehilangan cengkeraman kuatnya atas informasi yang dapat dikonsumsi oleh penduduk mereka.
Shibley Telhami, yang menulis sebuah buku tentang media Arab menjelaskan,” “ini inspirasi yang serempak dan ancaman itu mungkin memberikan inspirasi kepada Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, untuk memulai Al Jazeera … tahun 1996.” Sejak itu, Qatar telah dibanjiri jutaan orang ke dalam jaringannya.

Thani baru saja memegang kekuasaan satu tahun sebelumnya dan telah mendapatkan kritik tajam dari suratkabar-suratkabar yang dikelola Saudi. Al Jazeera, dia berharap, akan memberikan sebuah prespektif yang berbeda, dan mungkin mengurangi pembaca/pemirsa media Saudi.

Untuk membangun audiens, saluran itu memproduksi konten yang menarik bagi pemirsa. Seperti dijelaskan Telhami: “Pemirsa terbuka pada program yang sangat diinginkan orang-orang Arab, dari opini-opini yang berlawanan hingga lebih banyak informasi tentang isu-isu yang sangat mereka pedulikan mengenai Arab dan Muslim.”

Hal itu termasuk pertumpahan darah berkepanjangan dalam konfrontasi Palestina-Israel – isu yang disiarkan sangat terbatas dalam televisi nasional Arab agar tidak membangkitkan kemarahan publik mereka.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Dobrak hambatan

Stasiun itu juga mendobrak hambatan-hambatan penting lainnya. Al Jazeera mengirimkan para reporternya ke Knesset Israel dan menyiarkan debat secara langsung. Dalam perang Gaza 2008, Al Jazeera menurunkan lebih banyak reporter ke lapangan dibanding media lain dan menjadi satu-satunya stasiun yang melakukan liputan langsung.

Al Jazeera, tulis Telhami, mendorong “presentasi-presentasi beragam pandangan, seperti menyampaikan kembali pandangan Israel tahun 1990-an, ketika hanya sedikit stasiun televisi Arab yang berani melakukan hal itu, termasuk menyiarkan rekaman Bin Laden, pandangan-pandangan Iran atau meliput pidato serta konprensi pers para pejabat Amerika – termasuk Menhan Donald Rumsfeld, para komandan dan juru bicara militer serta pejabat-pejabat Gedung Putih dan Deplu AS – selama perang Irak.

Kualitas Al Jazeera merupakan poin penjualan terbesar. Tahun 2001, jaringan ini menjadi stasiun televisi Arab paling banyak dilihat untuk berita-beritanya. Tahun 2006, lebih dari 75 persen dari penduduk Arab menyebut jaringan ini favorit mereka atau sumber berita favorit kedua.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Namun, sukses jaringan ini juga membuatnya menjadi target kritik baik dari luar maupun dalam negaranya. Setelah 11 September 2001, orang-orang Amerika menuduh saluran itu menyulut kemarahan dan ketakutan tentang kebijakan luar negeri AS. Tahun 2012, China memberi sanksi terhadap Al Jazeera edisi Inggris.

Al Jazeera Arab (yang dikelola terpisah dari Al Jazeera Inggris) juga memiliki reputasi kurang baik karena mendukung Persaudaraan Muslim. Hugh Miles, penulis “The Al Jazeera Effect,” yang membandingkannya dengan jaringan Fox News, mengatakan kepada Telegraph bahwa Al Jazeera Arab sangat partisan dan mendukung Islamist.

“Saya kira ini adalah suatu posisi yang dapat dipertahankan karena ada banyak Islamist dan itu adalah suatu pandangan populer di beberapa bagian dunia. Hal tersebut tidak diterima oleh negara-negara Arab lainnya yang menganggapnya sebagai hasutan dan ancaman, tetapi mereka memberikan perspektif lain,” katanya.

“Al Jazeera adalah sensationalist, Islami, and pan-Arabik, tetapi itu mencerminkan kebijakan Doha,” tulis Simon Henderson, Direktur Washington Institute’s Gulf and Energy Policy Program, empat tahun setelah peluncuran jaringan tersebut. “Beberapa pemerintah Arab akan lebih suka Al Jazeera benar-benar menghilang.”

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Perseteruan diplomatik terbaru antara Qatar dan sejumlah negara Arab menyebabkan beberapa reporter televisi itu khawatir bahwa itulah yang akan terjadi. Pada saat stasiun itu mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendesak agar jaringan tersebut terbuka “ada sebuah usaha untuk membungkam kebebasan berekpresi di kawasan tersebut.”

Para staf khawatir Qatar mungkin setuju untuk mengatakan, beberapa hal harus direstrukturisasi sehingga kebebasan jaringan televisi itu berkurang. Beberapa reporter asing Al Jazeera dari negara-negara seperti Suriah atau Mesir hawatir bahwa mereka akan dipulangkan ke negara-negara asalnya.

Namun, para jurnalis jaringan itu, masih yakin bahwa mereka masih tetap positip.

“Mungkin ada banyak hal yang terjadi di level politik yang diplomatik yang lebih tinggi,” kata redaktur Al Jazeera Inggris, Giles Trendle kepada Telegraph. “Tetapi dari sisi Al Jazeera, saya hanya akan bilang kami percaya kami akan tetap di sini dan terikat pada pekerjaan serta jurnalisme kami.” (RS1/P1)

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Sumber: Al Jazeera

Miraj Islamic News Agency/MINA

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Palestina
MINA Health
Internasional