Jakarta, MINA – Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz, menegaskan bahwa kualitas buku sangat menentukan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ia menyoroti masih banyaknya buku yang tidak layak dijadikan rujukan, bahkan menghuni perpustakaan tanpa nilai inspiratif maupun edukatif.
“Ketika buku tidak berkualitas, maka ada tiga pihak yang patut bertanggung jawab: penulis yang tidak menulis dengan sungguh-sungguh, penerbit yang abai pada proses seleksi, dan perpustakaan yang tidak melakukan kurasi secara layak,” ujarnya dalam acara Peringatan 75 Tahun Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Hari Buku Nasional, dan pra-acara Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025, Rabu (21/5).
Dalam kesempatan tersebut, Aminudin juga mengungkapkan langkah evaluatif yang tengah ditempuh Perpusnas, termasuk pembenahan layanan pengurusan ISBN agar lebih cepat dan transparan.
“Jika dokumen yang diajukan lengkap dan benar, ISBN bisa selesai dalam waktu kurang dari tiga hari,” jelasnya.
Baca Juga: Prabowo: Indonesia Berpotensi Jadi Penyuplai Energi Dunia
Perpusnas kini tengah menginisiasi program penyaduran ulang karya-karya sastra klasik ke dalam bahasa kekinian agar lebih ramah bagi pembaca muda. Tidak hanya itu, komik sejarah seperti kisah Pangeran Diponegoro juga tengah disiapkan dalam rangka memperingati 200 tahun Perang Jawa.
“Kami ingin buku tetap hidup, namun dalam bentuk yang lebih relevan dan menarik bagi generasi saat ini,” tambah Aminudin.
Ia berharap kolaborasi antara Perpusnas, IKAPI, dan para penulis dapat ditingkatkan untuk menciptakan ekosistem literasi yang saling memperkuat. “Dari 2.700-an penerbit di Indonesia, hanya sekitar 900 yang aktif. Mudah-mudahan ini bukan tanda surutnya semangat penerbitan, melainkan titik balik untuk kebangkitan baru,” ujarnya.
Literasi dalam Bayang-Bayang Aliterasi
Acara bertema “Buku Terbuka, Pikiran Tertutup: Apakah Bangsa Ini Takut Berpengetahuan?” menghadirkan diskusi reflektif tentang kondisi literasi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (2023) menyebutkan bahwa 96,53% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas tergolong melek huruf. Namun, tingkat kinerja baca masyarakat masih rendah, bahkan dominan berada di level terbawah dari enam tingkat yang diukur secara internasional.
Baca Juga: Dampak Erupsi Lewotobi, Tantangan Belajar dan Kesehatan Warga
Hal ini menandakan tingginya aliterasi—masyarakat yang mampu membaca tetapi tidak memiliki kebiasaan membaca—yang berimbas pada lemahnya kemampuan berpikir kritis dan tingginya kerentanan terhadap hoaks dan disinformasi.
Dalam temu wicara tersebut, Ketua Umum IKAPI, Arys Hilman Nugraha, mengungkapkan keprihatinannya. “Masyarakat kita belum menjadi pembaca yang baik. Budaya literasi belum terbentuk karena kita melewati masa pustaka begitu saja—melompat dari tontonan tradisional ke tontonan digital,” kata Arys.
Menurutnya, literasi tidak cukup hanya dengan minat baca. Harus ada akses terhadap bahan bacaan yang memadai dan pembudayaan kebiasaan membaca. Dalam hal inilah, lanjutnya, tantangan terbesar muncul.
Ia juga mengkritik kurangnya dukungan pemerintah dalam membasmi pembajakan buku dan memperkuat industri perbukuan. “Delik aduan pada kasus pembajakan membuat penulis dan penerbit berjuang sendiri. Padahal dampaknya bukan hanya ekonomi, tapi moral bangsa,” tegasnya.
Baca Juga: BMKG: Gelombang Tinggi Ancam Pesisir Jawa Tengah
Arys menyatakan, upaya menciptakan bangsa literat sangat bergantung pada kepemimpinan di semua lini. Ia mengapresiasi Presiden Prabowo yang kerap menunjukkan kecintaan pada buku, namun menegaskan bahwa gestur publik harus dibarengi kebijakan konkret.
“Pemimpin yang peduli literasi tidak akan membiarkan penulis cemas karena royalti rendah, penerbit menderita karena pembajakan, atau toko buku sepi karena tak dijadikan bagian program strategis daerah,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa UU Sistem Perbukuan selama ini bias terhadap buku pelajaran, sementara buku umum dan penerbitan independen justru sering diabaikan. “Buku telah terbuka, kini saatnya pikiran pun harus terbuka. Jangan menilai perbukuan hanya dari kontribusinya terhadap PDB,” kata Arys.
Acara juga menghadirkan diskusi publik bersama Kepala Pusat Perbukuan Kemendikbudristek Supriyatno, aktivis literasi Maman Suherman, dan penulis muda J.S. Khairen, dengan moderator Nathalie Indry dari tim IIBF 2025.
Baca Juga: DD Perkuat Distribusi Qurban Lewat Sentral Ternak Lampung
Sebagai asosiasi penerbit tertua dan terbesar di Indonesia, IKAPI berkomitmen terus memperjuangkan ekosistem perbukuan yang sehat, adil, dan berkelanjutan demi masa depan bangsa yang tercerahkan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kamis Udara Jakarta Memburuk, Warga Rentan Diimbau Selalu Memakai Masker