Kepemimpinan Umat Islam Berpola Kenabian

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Kepemimpinan bagi umat Islam merupakan hal yang sangat fundamental dan asasi. Hal ini tampak dari kehidupan umat Islam yang terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa awal Islam di Jazirah Arab.  Fase ini berlangsung selama 23 tahun, di Makkah (13 tahun) dan di Madinah (10 tahun).

Pascakenabian, kepemimpinan umat Islam beralih ke para sahabat, yang dikenal dengan kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Fase ini umat Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin (para Khalifah yang mendapatkan petunjuk yang benar) secara berkesinambungan. Mulai dari Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddq, Amirul Mukminin Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Imaam Ali bin Abi Thalib.

Periode ini berlangsung sekitar 30 tahun yang berlangsung tahun  11-40 H. / 632-661 M.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semasa hidupnya berwasiat kepada umat Islam agar berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin. (Hadits Riwayat Ahmad dari Irbad bin Sariyah).

Namun karena rentang waktu ribuan tahun lalu sejak jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, berbagai problematika umat, serbuan budaya Barat dan kondisi perbedaan pendapat umat Islam itu sendiri. Maka wajar jika penegakkan kepemimpinan kembali yang sesuai dengan kenabian itu mengalami berbagai masalah.

Sentral Kepemimpinan Umat Islam

Abul A’la Al-Maududi mengatakan, Khulafaur Rasyidin telah memberikan contoh bagaimana menerapkan kaidah kepemimpinan umat Islam sesuai dengan pola kenabian yang menunjukkan kebenaran.

Kedudukan sentral kepemimpinan umat Islam tersebut terbukti mampu mengumpulkan dan menyatukan kekuatan umat Islam di seluruh dunia. Termasuk daya dan kemampuan sosial umat Islam, untuk menegakkan dawkah meninggikan agama Allah (kalimatullah hiyal ‘ulya).

Dalam tinjauan Al-Quran, Allah telah menjadikan  manusia dalam kedudukannya sebagai Khalifah agar dapat menggunakan pemberian itu sesuai dengan tuntuna Allah. Sekaligus hal ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya. Namun ia hanyalah Khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya, yakni Allah. Seperti tercantum di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 30.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, dalil ayat ini berisi tentang wajibnya mengangkat seorang pemimpin umat Islam (Khalifah) untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara manusia dan memutuskan persengketaan di antara mereka.

Termasuk untuk menolong orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang yang zalim, menegakkan hukuman-hukuman, memperingatkan mereka dari perbuatan-perbuatan keji, dan pekerjaan lainnya yang tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya seorang Imaam (Khalifah).

Hal ini mengingat bahwa suatu hal yang merupakan kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula.

Wali Al-Fattaah dalam buku Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah (Pustaka Amanah, 2011) menegaskan, keberadaan Khalifah atau Imaam adalah wajib bagi kaum Muslimin. Maka pelanggaran akan hal ini berarti suatu anarki, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya, masing-masing kelompok mengklaim sebagai yang paling benar.

Menurutnya, saat ini anarkisme itu tidak saja terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Akan tetapi telah menjalar ke negeri-negeri yang didiami mayoritas umat Islam. Pada satu saat mereka akur satu sama lain. Namun pada saat lainnya mereka mengambil jalan sendiri-sendiri.

Umat Islam digambarkanya bagaikan gundukan manusia jika tanpa pimpinan. Mengaku Muslim tapi tidak pernah mengontrol langkahnya. Padahal adanya pimpinan bagi umat Islam adalah wajib adanya selama terdapat umat Islam di muka bumi ini.

Jadi, masalah kepemimpinan umat Islam ini adalah masalah yang sangat fundamental, karena mencakup persoalan asas Islam dan umat Islam.

Tidak ada umat tanpa pimpinan dan tidak ada pimpinan tanpa umat di belakangnya.

Kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah

Sekarang jika umat Islam hendak kembali berjaya, memimpin peradaban dunia dan menegakkan syariat Allah di muka bumi ini, syaratnya mutlak wajib kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Inilah jawaban khas bagi umat Islam, dan jika terjadi perselisihan dan perbedaan, maka kembalinya pun adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, atasu Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Allah menegaskan di dalam firman-Nya, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS An-Nisa/4: 59).

Akhirnya, dengan tetap menjaga ukhuwah Islamiyyah di tengah beragamnya kondisi umat Islam, marilah kita terus merapatkan shaf perjuangan, saling menjaga komunikasi dan hubungan persaudaraan di antara komunitas umat Islam.

Dengan demikian insya-Allah umat Islam akan dapat bersatu, sehingga  terwujudlah kembali sentral kepemimpinan umat Islam yang mengikuti pola Kenabian, sebagaimana petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan telah diamalkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin. Aamiin. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.