NUR ICHWAN ABADI, RELAWAN, INSINYUR, WARTAWAN, DI GAZA

Seorang relawan dari Ponpes Al-Fatah asal Jambi, Abdul Aziz, memeluk erat ayahnya di Bandara Seoekarno-Hatta, Kamis 25 Juni 2015, setelah berpisah beberapa tahun. (Foto: Rudi/MINA)
Seorang relawan dari Ponpes Al-Fatah asal Jambi, Abdul Aziz, memeluk erat ayahnya setibanya didi Bandaraa Seoekarno-Soekarno-Hatta, Kamis 25 Juni 2015, setelah berpisah beberapa tahun. (Foto: Rudi/MINA)

Oleh : Nani Reza,  Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-fatah Cileungsi Bogor

Palestina kini disebut juga sebagai negeri yang sudah mengalami banyak perang dengan Israel, negeri para syuhada.Bagaimana tidak. Telah terjadi beberapa kali perang di sana yang menimbulkan  korban yang tidak sedikit, para syuhada Palestina, kehancuran rumah-rumah warga yang mengenaskan, terbunuhnya anak-anak, wanita, penduduk sipil, suami atau istri, sungguh tragis.

Namun tidak sedikit yang menginginkan untuk bisa menginjakkan kaki di sana, bahkan menginginkan untuk ikut membela bumi di mana juga terletak kiblat pertama umat Islam, .

Nur Ikhwan Abadi misalnya. Insinyur yang lahir, besar, dan mengenyam pendidikan di Lampung ini telah tiga kali pulang-pergi dari Indonesia ke Gaza, Palestina. Menjalin silaturahim dengan warga di sana. Ikut memimpin pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza yang merupakan daerah perang. Merangkap pula sebagai Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA). Dengan taat ia melaksanakan amanat-amanat Imaamul Muslimin, H.M. Hamidy, padanya.

Berbagai pengalaman dan kesan telah dialami  Nur Ikhwan selama di Gaza. Kami merangkum hasil wawancara dengannya, ketika kepulangannya bersama 14 relawan lain ke Indonesia pada Kamis, 25 Juni 2015 lalu.

“Gaza adalah tempat yang melahirkan puluhan ribu penghafal Al Qur’an setiap tahunnya, dan yang lebih menakjubkannya lagi adalah mereka bisa menghafal 30 juz hanya dengan waktu dua bulan saja, Subhanallah, di negeri yang penuh dengan konflik itu tidak menyurutkan sedikitpun semangat mereka untuk menghafal sampai tuntas,” cerita Nur Ikhwan yang terkesan dengan keadaan muslim Gaza Palestina tersebut.

Ia juga memaparkan : “Sejak 2007 jalur Gaza diblokade, akses keluar masuk tidak bebas, bahan makanan pun sangat terbatas, itulah yang selalu dialami warga di sana. Dengan keadaan yang sangat menyedihkan itu, Zionis Israel juga telah melancarkan tiga kali serangan tidak seimbang pada 2009, 2012, dan 2014. “Tidak terbayangkan jika itu terjadi di Indonesia, apakah kita mampu menjalaninya, seperti rakyat Gaza,” kata Nur Ikhwan.

Sebagai  wartawan, sebagai Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA), ia mengalami sendiri situasi perang waktu agresi Israel musim panas tahun lalu. Sebagai wartawan profesional, ia dan wartawan MINA lainnya di Gaza berusaha melakukan reportase langsung di tengah desingan bom Israel. Pernah suatu kali dalam menyabung nyawa meliput agresi Israel, ia pantau, kok lama sekali beritanya tak diedit oleh redaktur MINA di Jakarta. Ia melampiaskan emosinya dengan menulis “Eee gue menyabung nyawa di sini”. Pemred MINA segera mengambil alih persoalan dan berkomunikasi dengan Nur Ikhwan melalui jaringan pribadi. Untuk menunjukkan perhatian dan penghargaan padanya, untuk tetap menjaga semangatnya meliput di medan perang. “Saya memahami perasaan Ikhwan, saya juga pernah meliput perang Vietnam,” kata Pemred. MINA untuk menyentuh perasaannya.

Nur Ikhwan Abadi yangbiasa juga disebut dengan akronim NIA, selanjutnya memaparkan : “Mereka warga Gaza tidak pernah menyerah dengan keadaan, meskipun rumah  mereka dihancurkan, anak mereka dibunuh secara kejam, suami atau istri mereka dibunuh, oleh Zionis Israel, namun tidak pernah ada kata menyerah dalam hidup mereka.”

“Yang juga berkesan adalah warga Gaza merupakan muslim yang sangat memuliakan tamu, mereka menyiapkan apapun yang ada di rumah mereka,meskipun keadaan mereka yang serba kekurangan, “tamu adalah raja yang harus dimuliakan”, tutur Nur Ikhwan menirukan salah satu ucapan warga disana yang menjamu relawan asal Indonesia yang berada di Gaza untuk menyelesaikan pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di sana.

Salah satu yang sangat khas juga yang selalu dijalankan warga Gaza yaitu menyebarkan salam, mereka menyebarkan salam baik dengan orang yang dikenal atau tidak dikenal, sungguh cukup luar biasa, lanjut Nur Ikhwan bercerita.

Warga Gaza menyampaikan harapan yang besar pada Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, untuk senantiasa membantu perjuangan rakyat Palestina secara maksimal dalam berbagai bidang, termasuk dalam diplomasi internasional.

“Dengan terbebasnya Palestina dan Al Aqsa maka dunia ini akan damai,” tutur Nur Ikhwan menirukan ucapan salah satu warga di sana.

Selain itu warga Gaza juga meminta doa kepada seluruh umat Muslim di dunia, terutama kepada Indonesia agar diberi kemudahan dalam membebaskan Palestina dan Masjid Al Aqsa , karena menurut mereka pusat permasalahan umat Islam dunia adalah di Palestina.

RSI, Sumbangan Murni Rakyat Indonesia

Saat ini bangunan RSI telah 100 % selesai berkat do’a  dan dukungan dari seluruh  rakyat Indonesia, dana yang dihasilkan murni dari rakyat Indonesia. Dengan selesainya RSI ini maka selesai pula lah tugas Nur Ikhwan dan 14 orang lain sebagai relawan di Gaza Palestina.

Nur Ikhwan menjelaskan tugas yang ia lakukan di sana adalah mengawasi proses pembangunan RSI,  dimulai sejak Mei 2011 untuk pengerjaan proses struktur.

Di tengah kesibukan membangun rumahsakit dan sebagai wartawan MINA,  dia selalu menjalin silaturahim dengan warga Gaza. Jadinya banyak sekali warga Gaza yang  mengenalnya.

“Keberadaan warga Indonesia , telah menjadi sinar tersendiri untuk kami,” tutur Nur Ikhwan mengulang ungkapan salah seorang warga Gaza.                                                     

Keluarga Mujahid tetap beraktivitas walau jauh dari suami

Siti Mutmainnah, akrab dipanggil iin, 34 tahun, istri dari Nur Ikhwan Abadi, relawan yang akrab dipanggil Nia.

“Perasaan tidak karuan ketika baru ditinggal sang suami untuk berjihad ke bumi Gaza, Palestina, terkadang rindu. Namun berdoa untuk suami adalah salah satu cara agar bisa tenang, berharap agar suami selalu dalam lindungan Allah, selalu diberikan kesehatan, bisa menjalankan tugas dengan baik, dan pulang dengan selamat,” tuturnya.

Selama ditinggal suami, Ibu empat orang anak ini mengisi kegiatan seperti biasa, mendidik anak, mulai merintis bisnis pakaian, dan sekarang menjadi salah satu pengelola Unit Kesehatan Sekolah (UKS)  di Pondok Pesantren , Muhajirun, Negararatu, Natar, Lampung Selatan.

Ia berpesan kepada para istri yang ditinggal suaminya berjihad profesional ke Gaza Palestina untuk tetap sabar, berusaha selalu ikhlas menjadi Istri seorang Mujahid.

Sekarang, masih ada empat orang relawan yang tinggal di Gaza Palestina untuk mempersiapkan Grand Launching RSI yang dijanjikan akan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. (L/nrz/K08/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0