Keputusan Trump Kesalahan Penuh Konsekuensi

Presiden AS . (Foto: Alex Brandon/AP)

Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang megakui Al-Quds () sebagai ibu kota Israel dan rencana memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem adalah sebuah kesalahan yang didorong oleh politik domestik AS. Namun menurut pengamat Timur Tengah, keputusan itu berkonsekuensi strategis internasional.

Tak lama setelah Presiden Trump berkantor di Gedung Putih, muncul harapan baru akan adanya proses perdamaian Timur Tengah yang diperbarui.

Namun, pada Rabu, 6 Desember 2017, Trump mengumumkan keputusan AS yang mengakui Al-Quds sebagai ibu kota Israel, menimbulkan keraguan bagi orang-orang , serta analis Timur Tengah mengenai peran AS sebagai perantara kesepakatan damai potensial, khususnya antara Palestina dan Israel.

Rencana Perdamaian AS Ditolak

Para ahli dan diplomat mengatakan, kemampuan Trump untuk mengenalkan rencana perdamaiannya yang komprehensif akan dikesampingkan di masa mendatang.

Daniel C Kurtzer, mantan Duta Besar AS untuk Mesir dan Israel mengatakan, pada dasarnya, Trump memutuskan lebih penting untuk memperluas, meningkatkan, memperdalam dan memperkuat hubungan AS dengan Israel daripada memajukan proses perdamaian yang dia telah kemukakan sendiri.

Reaksi diplomatik di seluruh dunia sebagian besar negatif. Pertemuan Liga Arab di Kairo mengecam langkah Trump.

Menteri luar negeri Uni Eropa bertemu dengan Perdana Menteri Israel Netanyahu di Brussels yang menegaskan kembali dukungan Eropa untuk solusi dua negara, dengan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Palestina.

“Jika Anda melihat para ahli, mereka semua memperdebatkan dampaknya, apakah ini akan menjadi bencana, atau apakah ini bisa ditolerir,” kata Shibley Telhami, seorang profesor di University of Maryland. “Tidak ada yang mengatakan ini benar-benar akan memajukan perdamaian.”

Telhami mengatakan, penasihat Trump untuk Timur Tengah “tidak berpengalaman”, “hidup dalam gelembung”, dan “tidak memiliki cara independen untuk membuat penilaian tentang konsekuensi”.

Menurutnya, administrasi Trump tampaknya telah membeli argumen Netanyahu bahwa orang-orang Arab tidak lagi peduli dengan Yerusalem dan hanya akan memberikan lip service untuk masalah ini, kemarahan akan mereda, dan pemerintah Arab akan terus maju karena mereka ingin berbisnis dengan Trump.

Telhami menambahkan, intifadah akan menciptakan putaran kekerasan lagi yang mengganggu prioritas penguasa Arab dan memaksa mereka untuk mengambil posisi untuk menjauhkan diri dari Trump. Jika tidak terjadi, atau itu terjadi pada skala yang lebih kecil, hal yang harus diperhatikan apakah Abbas akan menemukan cara untuk kembali ke meja perundingan.

Hady Amr, mantan utusan khusus Presiden Barack Obama untuk perundingan Palestina-Israel, mengatakan bahwa keputusan Trump adalah “sebuah gempa besar di masyarakat Palestina”.

“Orang-orang sangat marah, sangat dihina,” kata Amr.

Langkah Trump telah memicu demonstrasi yang meluas di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.

Sedikitnya sepuluh warga Palestina telah terbunuh oleh tembakan tentara dan serangan udara Israel sejak 6 Desember, ketika Presiden AS mengumumkan keputusannya.

Demonstrasi juga terjadi di kota-kota besar di Asia, Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sementara Hamas dan Hizbullah dengan dukungan Iran, menyerukan perlawanan dan konfrontasi.

Momen Strategis

Trump telah memberikan “alasan yang mudah” bagi PLO untuk menyatakan bahwa AS bukanlah broker yang jujur, mengingkari komitmennya serta melawan PBB dan Pengadilan Pidana Internasional.

Apa yang mungkin dilakukan pimpinan PLO? Husam S Zomlot, Kepala Delegasi Umum PLO untuk AS, mengatakan, warga Palestina akan mengevaluasi kembali peran AS sebagai mediator dan mencari forum di PBB dan tempat lain.

“Ini momen yang strategis,” katanya.

Perwakilan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan dalam sebuah pernyataan pers setelah bertemu dengan Netanyahu bahwa UE akan berusaha untuk memulai kembali perundingan perdamaian Timur Tengah.

UE akan memulai pertemuan “kuartet” dengan PBB, Rusia dan AS, yang mungkin akan turut melibatkan Mesir dan Yordania. (A/RI-1/RS3)

Sumber: tulisan William Roberts di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)