Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesaksian tentang Keperkasaan Rakyat Gaza

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - Ahad, 26 Oktober 2025 - 23:55 WIB

Ahad, 26 Oktober 2025 - 23:55 WIB

0 Views

Dr. Ahmed Abdul Malik, Ulama Afrika yang juga Dosen SQABM Online. Photo By : Hadis/MINA
Dr. Ahmed Abdul Malik, Ulama Afrika yang juga Dosen SQABM Online. Photo By : Hadis/MINA

Oleh Ahmed Abdul Malik, dosen Universiti Sains Islam Malaysia (USIM)

Analis militer Zionis dari Lembaga Penyiaran Israel, Yossi Yehoshua, berkata: “Saya pikir kami sedang berperang melawan dua juta pejuang di Gaza, bukan empat puluh ribu seperti yang dikatakan. Di Jalur Gaza, setiap orang yang bergerak adalah pejuang dan turut berperan dalam apa yang kami alami sekarang…

Keberanian warga sipil dan keteguhan mereka untuk tidak meninggalkan tempat tinggalnya — meskipun hidup dalam neraka perang — lebih kuat daripada peluru dan jebakan para pejuang perlawanan!

Bahkan foto seorang anak kecil yang dilihat dunia, ketika ia dengan penuh keberanian dan keteguhan menggendong adiknya di punggungnya saat berada di bawah serangan, lebih kuat daripada peluru roket Al-Yasin yang menghancurkan tank Merkava dan menewaskan awaknya.

Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an

Di Kota Gaza proses pengungsian warga memakan waktu hampir sebulan meskipun terjadi pengeboman dan ancaman, dan puluhan orang terbunuh setiap hari. Namun, lebih dari 700.000 pengungsi kembali ke Gaza dalam waktu kurang dari 72 jam.

Tahukah kalian mengapa mereka kembali begitu cepat?

Jangan percaya bahwa mereka rindu rumah mereka — mereka tahu rumah-rumah itu sudah hancur! Mereka kembali untuk melindungi barisan belakang para pejuang perlawanan, agar mereka bisa keluar dari terowongan, bahkan mungkin bertemu keluarga mereka walau hanya beberapa jam.

Di mana keberadaan tujuh ribu polisi bersenjata itu?

Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina

Bagaimana mereka bisa berkumpul kembali, mengambil posisi, dan melanjutkan tugas mereka dalam waktu kurang dari 24 jam?

Dan mengapa rakyat Gaza patuh tanpa ragu kepada polisi Hamas meskipun setelah semua yang terjadi?

Saya pikir siapa pun yang berbicara tentang kemenangan sekarang seharusnya merasa malu — untuk tidak saya katakan hal yang lebih keras lagi.

Gaza adalah legenda hidup, dari mana dunia harus belajar banyak nilai luhur yang telah punah di banyak masyarakat.”

Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir

Ya, engkau benar, hai Zionis — dan banyak dari kalanganmu telah menyampaikan kesaksian serupa. Kelebihan yang terbaik adalah Adalah kelebihan yang datang dari pengakuan musuh; sesungguhnya ada prinsip-prinsip dan pelajaran di Gaza serta dari para pahlawannya yang patut ditulis dengan tinta emas dan dipelajari di setiap masyarakat dan negeri di seluruh dunia. Prinsip-prinsip itu hanya ada pada kaum Muslim, dan hanya dipahami oleh orang-orang beriman yang menepati janji mereka kepada Allah.

Dengarkanlah dariku, hai Zionis: seorang mahasiswaku dari Gaza — yang sempat meninggalkan Gaza dengan susah payah untuk mengikuti ujian promosi doktoral di sini, Malaysia, pada saat peperangan antara Israel dan Gaza tengah memuncak — ketika ujian promosinya selesai, ia datang kepadaku untuk pamit karena akan kembali esok. Kutanya kepadanya: “Kau kembali ke mana, saudaraku?” Ia menjawab: “Saya kembali ke Gaza Profesor.” Kukatakan kepadanya: “Kau mau kembali ke Gaza, tempat puluhan syahid setiap hari, rumah-rumah dihancurkan, tak ada air maupun makanan”  Ia menjawab: “Ya. Orang-orang Zionis ingin mengusir kami dari tanah kami agar bisa menguasainya, dan itu tidak akan pernah mereka capai. Esok saya kembali ke tanah air. Dan yang lain yang masih berada di luar pun, Insya Allah, akan kembali juga ke Gaza.”

Semangat serta prinsip-prinsip mulia ini tidak dimiliki kecuali oleh penduduk Gaza. Di antara prinsip dan semangat tersebut adalah sebagai berikut:

Prinsip pertama: Kepercayaan penuh kepada Allah.

Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!

Yaitu keyakinan yang teguh dan keimanan yang mantap bahwa segala yang terjadi hari ini — berupa tipu daya, pembunuhan, dan serangan ganas dari kaum kafir terhadap negeri-negeri Muslim — semuanya terjadi dengan pengetahuan dan kehendak Allah Ta‘ala. Allah Yang Mahamulia berfirman:

“Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya; maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”(QS. Al-An‘am: 112)

Dan Dia berfirman pula: “Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan saling berperang, tetapi Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 253)

Kehendak-Nya — Subhanahu wa Ta‘ala — tidak terlepas dari hikmah-Nya yang agung. Dia memiliki kebijaksanaan yang sempurna dalam setiap ciptaan dan ketetapan-Nya. Maka orang-orang yang mengenal Rabb mereka mengetahui hal ini; sebab itu, mereka selalu berprasangka baik kepada Allah dan yakin bahwa akibat dari semua peristiwa yang telah Allah takdirkan adalah kebaikan, kemaslahatan, dan kasih sayang bagi orang-orang yang bertauhid, insya Allah.

Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global

Walaupun peperangan hari ini antara kaum Muslim dan kaum kafir masih di tahap awal, meskipun terasa pedih dan berat, namun kita dapat merasakan kelembutan, hikmah, dan rahmat Allah di balik semua itu.

Prinsip Kedua: Iman kepada Sunnah Perlawanan (Mudāfa’ah)

Keyakinan kita bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini terjadi dengan ilmu, kehendak, dan hikmah Allah Ta’ala bukan berarti menyerah kepada kehinaan dan meninggalkan perlawanan. Sebab Allah — yang mentakdirkan peristiwa-peristiwa itu sebagai ketentuan — memerintahkan kita secara syariat untuk melakukan perlawanan; inilah sunnah (sunnah) perlawanan. Allah Ta’ala berfirman:

“Demikianlah; dan seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia memenangi [kamu] atas mereka, tetapi (Allah menghendaki demikian) untuk menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” [Muhammad: 4]

Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Sekiranya tidak karena sikap saling mencegah (sebagian manusia dengan sebagian lain) yang dilakukan Allah, niscaya akan hancur biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah, dan masjid-masjid di mana nama Allah sering disebut; dan pasti Allah akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya; sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [al-Hajj: 40]

Kedua ayat ini merupakan dalil paling tegas tentang keniscayaan pertentangan antara kebenaran dan kebatilan dalam bentuk perlawanan antara kaum Muslimin dan kaum kafir. Barang siapa yang mengharapkan perbaikan, pencegahan kemungkaran, dan penyebaran kebaikan tanpa mengikuti sunnah ini, maka ia sebenarnya jahil terhadap sunnah-sunnah Allah Ta’ala dan menyimpang dari jalan para nabi beserta pengikut mereka.

Perlawanan antara kebenaran dan kebatilan mengambil berbagai bentuk: menjelaskan kebenaran dan menyingkap syubhat serta menghapus kekaburan adalah bentuk perlawanan; amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perlawanan; memperjelas jalan orang beriman dan membedakannya dari jalan orang yang zhalim adalah perlawanan; sabar dan teguh dalam menghadapi cobaan dari musuh-musuh kafir dan zhalim adalah perlawanan. Di antara puncak dan bentuk terdepan perlawanan itu adalah jihad dan berperang di jalan Allah — sebagai upaya menolak kejahatan dan kerusakan kaum kafir yang mengancam negeri-negeri Muslim, agama mereka, jiwa, kehormatan, dan harta benda mereka.

Prinsip Ketiga: Sunnah Ujian dan Pemurnian

Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS

Allah Ta’ala berfirman: “Dan sungguh Kami akan menguji kamu, hingga Kami mengetahui siapa di antara kamu yang berjihad dan siapa yang sabar, dan Kami akan menguji (menceraikan) bukit-bukit kabarmu.” (QS. Muhammad: 13)

Allah juga berfirman sebagai komentar atas Perang Uhud: “Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin pada apa yang kamu sedang alami, sampai Dia memisahkan yang buruk dari yang baik.” (QS. Al-‘Imrân: 97 1)

Dan Dia berfirman mengenai peristiwa yang sama: “Dan apa yang menimpa kamu pada hari kedua pasukan itu bertemu, maka itu adalah dengan izin Allah, dan supaya Dia mengetahui orang-orang mukmin, dan supaya Dia mengetahui orang-orang yang munafik…” (QS. Al-‘Imrân: 66–76)

Jika kita menengok peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung di Palestina dalam cahaya sunnah ujian dan pemurnian ini, kita melihat bahwa sunnah tetap yang berulang itu sedang bekerja—dengan izin Rabb-nya—untuk menghasilkan buah yang telah Allah kehendaki. Salah satu manifestasinya adalah kelembutan dan rahmat Allah yang tampak dalam bentuk pemurnian (tamḥīṣ) bagi orang-orang mukmin di Palestina dan di luar negeri: pemurnian yang memisahkan barisan-barisan sehingga tampaklah orang-orang munafik dan pemilik hati yang sakit, dan terkuaklah hakikat mereka di hadapan manusia.

Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina

Pemurnian itu juga membuat para mukmin mengenal diri mereka sendiri—kekurangan, celah, dan rintangan yang menghalangi mereka dari kemenangan dan peneguhan—sehingga mereka dapat menyingkirkannya dan memperbaiki diri. Apabila barisan telah tertapis dan orang-orang yang luruh gugur dalam api cobaan, dan apabila orang-orang mukmin yang sabar, bertauhid, dan jujur muncul dari ujian itu seperti emas murni yang telah terlebur dari kotorannya oleh api, maka angin kemenangan akan bertiup bagi hamba-hamba pilihan Allah yang pantas bagi-Nya untuk membinasakan kaum kafir demi mereka dan menguatkan agama yang Dia ridhai bagi mereka.

Dan sebelum terjadi pemurnian dan penyaringan ini, janji Allah mengenai kehancuran orang kafir dan kemenangan kaum mukmin—sebagaimana dijanjikan—tidak akan terealisasi.

Prinsip Keempat: Sunnah memberi tangguh (imlā’) dan menjerat (istidrāj) bagi orang-orang kafir dan munafik

Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira bahwa sesungguhnya Kami memberi kelonggaran kepada mereka itu adalah sesuatu yang baik untuk diri mereka; sesungguhnya Kami memberi kelonggaran itu hanyalah supaya mereka bertambah dosa; dan bagi mereka siksa yang menghinakan.” [Ali Imran: 178]

Baca Juga: Olimpiade dan Penjajahan: Polemik IOC–Indonesia

Dan Dia berfirman: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, sungguh Kami akan menjerumuskan mereka sedikit demi sedikit dari tempat yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi mereka kelonggaran; sesungguhnya rencanaku (adzāb-Ku) kuat.” [Al-A’raf: 182-183]

Sunnah ilahi ini sedang berjalan pada masa kini terhadap kubu orang-orang kafir dan munafik, khususnya mereka yang telah mencapai puncak kesombongan, kezaliman, dan keangkuhan; kita melihat mereka bertambah hari demi hari dalam kezaliman, penekanan, dan kesombongan, sekalipun nampak diberi kemampuan dan keunggulan lahiriah — sebagaimana yang terjadi sekarang pada kekuatan Amerika dan Zionis — yang telah berbuat aniaya dan melampaui batas sehingga seakan-akan berkata dalam hati dan perkataan mereka: “Siapa yang lebih kuat dari kami?”

Mungkin terbersit pula pada hati sebagian kaum Muslim ketika melihat orang-orang kafir itu berbuat aniaya dan zalim, namun tetap dibiarkan tanpa segera ditimpa azab: rasa putus asa dan kegalauan bisa menular. Namun muslim yang memahami sunnah Allah, memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda serta kerja sunnah itu pada umat-umat terdahulu, tidak akan tergoda berprasangka buruk semacam itu; sebab dia melihat—dalam cahaya sunnah ini—bahwa orang-orang kafir hari ini, terutama Amerika dan kaum Yahudi, sedang menjalani masa imlā’ dan istidrāj yang justru membawa mereka kepada peningkatan dosa, keangkuhan, dan kezaliman; dan semua itu pada gilirannya mengantarkan mereka kepada akhir yang pasti: kehancuran dan kebinasaan pada waktu yang Allah telah tetapkan bagi mereka.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan negeri-negeri itu Kami binasakan ketika mereka berbuat zhalim, dan Kami tetapkan bagi kehancuran mereka suatu waktu.” [Al-Kahf: 59]

Baca Juga: Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam

Maka sesungguhnya dalam pemberian kelonggaran (imlā’) kepada orang-orang kafir dan dibiarkannya mereka berkuasa atas kaum Muslimin untuk suatu masa tertentu, terkandung ujian dan penyucian (tamḥīṣ) bagi orang-orang beriman. Hingga apabila sunnah ujian itu telah menampakkan hasilnya dan barisan kaum mukminin telah terpilah dan keluar dari ujian dalam keadaan bersih dan murni, maka pada saat itu sunnah imlā’ pun akan mencapai akhirnya: tibalah giliran bagi orang-orang kafir untuk ditimpa azab dan kehancuran sebagai kemuliaan bagi kaum mukmin yang telah disucikan. Lalu Allah memuliakan mereka dengan kemenangan dan kekuasaan di muka bumi setelah kebinasaan orang-orang kafir.

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman dan membinasakan orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 141)

Pemahaman tentang sunnah imlā’ ini memiliki banyak faedah, di antaranya: tidak takut dan tidak tertipu oleh kekuatan musuh, karena sesungguhnya nasib mereka berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah memberi mereka kelonggaran bukan agar kezaliman mereka kekal, tetapi agar mereka binasa pada waktunya. Sekiranya Allah menghendaki, tentu Dia akan membinasakan mereka seketika; namun Allah memiliki hikmah yang agung dalam menunda kehancuran itu.

Keimanan terhadap sunnah ini menghapus rasa putus asa dalam jiwa dan menyingkirkan rasa lemah serta ketakutan yang muncul akibat dominasi dan kekuatan musuh. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda