Kesedihan Natalie di Penjara Israel

Teenager Natalie Soukha, gadis remaja yang ditembak oleh penjajah Israel satu setengah tahun yang lalu. (Foto: Shatha Hammad/Al Jazeera)

 

Pada tanggal 29 April 2016, seorang gadis Palestina, Teenager Natalie Soukha bersama temannya bernama Tasneem berjalan melewati sebuah pos pemeriksaan militer penjajah Israel di desa Beit Ur Al-Tahta, sebelah barat Ramallah di Tepi Barat yang diduduki.

Namun, kedua siswi remaja itu harus terkejut ketika mereka tiba-tiba dikelilingi oleh sejumlah tentara penjajah Israel. Keduanya kemudian dipukuli oleh tentara hingga jatuh ke tanah.

Tidak ada yang mendengarkan teriakan mereka meminta bantuan, sementara mereka terus dipukuli. Hingga akhirnya, Natalie ditembak oleh salah seorang prajurit di bahunya.

Natalie mengalami pendarahan yang tak terkendali. Meski sudah ditembak, Natalie masih terus ditendang dengan kaki bersepatu keras. Natalie kesakitan luar biasa. Ia hanya bisa berharap para penjajah itu berhenti menganiayanya.

Natalie kemudian dikirim ke sebuah rumah sakit Israel di Al-Quds (Yerusalem). Di sana ia mengalami koma selama tiga hari penuh. Tepat setelah dia menjalani operasi untuk mengangkat peluru dari dalam bahunya, Natalie terbangun oleh teriakan seorang perwira interogasi Israel.

Mengenang peristiwa tidak berperikemanusiaan prajurit penjajah itu, Selama berada di rumah sakit, Natalie bercerita.

“Interogator menyerbu ke dalam kamar rumah sakit dan mulai berteriak, membanting keras tangannya di atas meja depan saya. Saya ingin beristirahat sebentar dan saya tidak bisa bicara banyak, tapi dia tidak mau berhenti menginterogasi saya untuk waktu yang lama. Saya tidak bisa mengerti apa yang terjadi di sekitar saya, mengapa mereka menembak saya dan mengapa saya ditangkap. Saat itu saya sangat ketakutan dan yang saya inginkan adalah pulang ke rumah.”

Hari-hari pun berlalu dan otoritas Israel tidak membiarkan Natalie bertemu orang tuanya. Hingga akhirnya, ibunya pun bisa mengunjunginya setelah mencoba beberapa upaya untuk mendapatkan izin masuk ke Yerusalem dari Tepi Barat.

Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat yang diduduki dilarang memasuki wilayah Israel dan Al-Quds (Yerusalem Timur) yang diduduki tanpa mengeluarkan izin. Permintaan izin tersebut dibutuhkan bagi keluarga tahanan untuk melakukan kunjungan rutin ke penjara-, tapi lebih sering ditolak oleh otoritas penjajah Israel.

“Melihat ibu saya, memberi saya kekuatan untuk sembuh dan menanamkan rasa damai dalam diri saya,” kata Natalie.

Namun, Natalie tidak diberikan waktu yang cukup untuk sembuh, sebab ia segera diangkut dengan mobil tahanan ke penjara HaSharon di Israel.

Natalie hanya bisa bertanya-tanya, berapa lama ia akan dikurung oleh penjajah.

Natalie yang tidak tahu alasan ia ditangkap, akhirnya tahu apa yang dituduhkan kepadanya. Ia didakwa “melakukan upaya serangan menusuk”, tuduhan yang tidak pernah dia lakukan.

Natalie kemudian harus menjalani 12 sidang pengadilan. Hakim menjatuhkan hukuman penjara baginya selama satu setengah tahun.

“Saya benar-benar terkejut dengan atmosfer penjara dan hak saya untuk bertemu keluarga ditolak. Saya memikirkan mereka (keluarga) sepanjang waktu dan merindukan pelukan hangat ibuku,” kata Natalie.

Selama masa penahanannya, keluarga Natalie tidak diizinkan untuk mengunjunginya di penjara.

“Setiap kali mereka menolak permintaan ibu saya untuk berkunjung, saya menangis tak terkendali. Saya bermimpi bertemu ibu, memegang tangannya dan menciumnya. Tapi akhirnya saya bangun dan menyadari bahwa dia tidak di samping saya,” kenang Natalie.

Satu tahun kemudian, Natalie dibebaskan dengan membayar jaminan sebesar 4.000 shekel Israel ($ 2.000).

Sehari setelah pembebasannya, Natalie meraih tas sekolahnya dan bergegas kembali ke sekolah. Dia merindukan teman-temannya. Ia bertekad untuk menjadi yang terbaik di kelasnya, karena ketika di penjara, ia belajar dengan keras.

Sementara itu, ibu Natalie yang bernama Roqayah mengisahkan, ia begitu khawatir dengan kondisi putrinya di penjara.

“Terpisah adalah menghancurkan, saya hanya memandang fotonya dan berbicara dengan itu sepanjang waktu,” kata Roqayah. “Saya akan melakukan apa pun yang Natalie inginkan. Saya akan memastikan dia mendapat semua yang dia tidak dapatkan selama di penjara. Saya tidak akan membiarkan dia lepas dari pandangan saya.” (RI-1/P2)

 

Sumber: pengakuan Natalie yang ditulis Farah Najjar, produser daring di Al Jazeera Inggris.

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.