Oleh: Ruwaida Amer, jurnalis Palestina di Gaza
Masyarakat Gaza berharap perang genosida akan berhenti sebelum Ramadhan.
Semua orang perlu merasa aman, mendapatkan makanan dan air, serta beraktivitas di jalanan tanpa takut akan ledakan.
Baca Juga: Prancis Kecam Rencana Permukiman E1 Israel di Tepi Barat
Diperkirakan 1,7 juta pengungsi berharap mereka dapat kembali ke rumah mereka dan memeriksa apa yang tersisa dari milik mereka.
Mereka juga mempunyai harapan untuk bisa berkumpul kembali dengan tetangga dan teman.
Tak satu pun dari harapan ini yang terwujud.
Gaza masih berada di bawah serangan Israel yang tiada henti. Kelaparan semakin parah.
Baca Juga: Menteri Zionis Klaim Tepi Barat Milik Israel Lewat “Janji Tuhan”
Bagi banyak orang, pekan pertama Ramadhan dihabiskan di tenda-tenda. Suasana Istimewa bulan ini hilang.
Sepeti halnya yang dialami oleh Salim al-Masri (40). Dia diusir dari Kota Gaza. Dia sekarang berada di al-Mawasi, Gaza selatan.
“Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan kesedihan di hati kami,” ujarnya.
Dia mengenang bagaimana dia merayakan Ramadhan di masa lalu.
Baca Juga: Rekaman Bocor, Mantan Kepala Intelijen Israel Akui Kekalahan Negaranya Lawan Pejuang Palestina
Ia mendekorasi setiap ruangan di rumahnya agar setiap orang yang memasukinya bisa merasa ceria. Dan dia dengan cermat merencanakan menu makanan sebelum dan sesudah puasa setiap hari.
“Saya menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan tempat pasar berada,” katanya. “Anak-anak saya akan berlarian di sela-sela toko.”
“Semua ini diambil dari kami karena perang,” tambahnya. “Saya merasa seperti tercekik di sini, duduk di tenda ini. Ruangannya kecil, tidak cukup besar untuk saya, istri, dan anak-anak.”
Tahun lalu ia bangga memiliki meja yang penuh dengan berbagai hidangan untuk keluarganya di bulan Ramadhan, tapi harga sekarang sangat tinggi sehingga “Saya bahkan tidak bisa menyediakan satu jenis makanan untuk mereka.”
Baca Juga: [POPULER MINA] Truk Bantuan Gaza dan Rencana Pemukiman di Tepi Barat
Sementara itu Wafa Akar (52) yang berasal dari kota Khan Younis di Gaza selatan, rumahnya telah hancur dan dia bersedih bagaimana dia tidak bisa menyiapkan makanan seperti yang biasa dia lakukan selama Ramadhan.
Setelah mengungsi, dia kini tinggal lebih jauh ke selatan di Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir.
“Saya tidak akan pernah terbiasa tinggal di tenda,” katanya. “Tenda itu penuh pasir dan saya tidak punya privasi.”
“Saya tidak punya dapur atau peralatan dapur,” tambahnya. “Dan saya tidak punya makanan selain makanan kaleng, yang saya tidak suka makan.”
Baca Juga: Ambisi “Israel Raya” Netanyahu, Bahaya Bagi Palestina, Ancaman Bagi Dunia
Dia sangat sedih karena dia tidak bisa menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya di bulan Ramadhan ini.
“Kami semua tersebar,” katanya.
Sementara itu Jude Barbakh (12 tahun) berasal dari Kota Gaza, tetapi sekarang tinggal di al-Mawasi.
Dia ingat pergi ke sekolah dengan perasaan mengantuk di bulan Ramadhan “karena saya sering begadang sepanjang malam.”
Baca Juga: Solidaritas 80 Tahun HUT RI, Bersama Sumud Flotilla Tembus Blokade Gaza
Begitu hari mulai gelap, dia akan membeli es krim dan camilan lainnya. Dia sangat menyukai samosa.
“Saya biasa berkompetisi dengan teman-teman saya untuk melihat siapa yang memiliki dekorasi terindah di rumahnya,” katanya.
“Saya merindukan segalanya,” tambahnya. “Berada di tenda seperti berada di penjara.” (AT/RI-1/P2)
Baca Juga: Merawat Rahmat Kemerdekaan Republik Indonesia
Sumber: The Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: UNRWA: Satu Juta Perempuan dan Anak di Gaza Hadapi Kelaparan Massal