B. As-Sunnah
1. Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (H.R. Al Bukhari).
Pada hadits lain beliau bersabda, “Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan izin Allah.” (H.R. Muslim).
Dua hadis ini memberikan harapan optimis bagi orang yang sakit bahwa penyakitnya akan sembuh dan memotivasi orang yang bergerak di bidang kesehatan untuk mengadakan penelitian guna menemukan obat bagi berbagai macam penyakit.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Tetapi obat dan dokter hanyalah sarana kesembuhan, sedang kesembuhan hanya terjadi dengan izin Allah.
2. Perintah Berobat
Usamah bin Syarik Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku pernah berada di samping Rasulullah ﷺ , lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah ﷺ , bolehkah kami berobat? Beliau menjawab, “Ya, berobatlah, wahai para hamba Allah. Sebab Allah tidak meletakkan penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab, “Penyakit tua.” (H.R. Tirmidzi).
Pada hadis lain beliau bersabda, “Berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” Dalam riwayat lain, “Beliau melarang berobat dengan khamr karena dia bukan obat tapi penyakit.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Larangan berobat dengan khamr (alkohol) terbukti sesuai hasil penelitian para pakar kesehatan modern yang menyatakan bahwa khamr (alkohol) memiliki efek negatif bagi tubuh. Alkohol akan menghambat fungsi hati, mempengaruhi hormon kesuburan dan merusak sistem kerja syaraf pusat.
3. Perintah Menjaga Kebersihan
Rasulullah ﷺ bersabda, “Islam itu agama yang bersih, maka hendaklah kalian menjaga kebersihan karena sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih.” (H.R. Baihaqi).
Seluruh pakar kesehatan menyatakan bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan. Maksudnya bahwa kebersihan itu sumber bagi kesehatan. Bila kita selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan maka tubuh kita akan sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit. Untuk menjaga kebersihan lingkungan, Rasulullah ﷺ berwasiat kepada para sahabat :
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Bersihkanlah halaman-halaman kalian, karena sesungguhnya orang Yahudi tidak membersihkan halaman mereka.” (H.R. Thabrani).
Sedang untuk menjaga kebersihan rumah, Rasulullah ﷺ menganjurkan kaum muslimin melakukan shalat sunnah di rumah. Dengan ini rumah merupakan masjid yang lain, karena itu rumah harus bersih dan suci agar shalat yang dilakukan sah.
Samurah bin Jundub mengatakan, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada kami agar menjadikan masjid kami dan memerintahkan kami untuk membersihkannya.” (H.R. Abu Daud).
Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam kebersihan. Kebersihan adalah bagian dari gaya hidup beliau. Banyak hadis yang menyebutkan beliau adalah tipe manusia yang sangat menyukai kebersihan. Beliau gemar bersiwak (gosok gigi), memakai minyak wangi, bertubuh bersih dan berpakaian rapi, dan selalu menjaga kebersihan tangan (hand hygiene) setelah bangun tidur (H.R. Bukhari).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kebersihan Rasulullah ﷺ ditiru oleh para sahabat dan generasi muslim sesudahnya sehingga kebersihan menjadi peradaban utama bagi masyarakat Islam di masa kejayaannya. Orientalis Jerman Sigrid Hunke melakukan studi banding antara peradaban Islam saat itu dengan kondisi bangsa Eropa.
Ia menyatakan, Syaikh Ath-Thurtusyi, ahli fikih dari Andalus saat berkeliling di negara Eropa dikejutkan dengan hal yang membuat bulu kulit berdiri. Hal ini disebabkan dia adalah seorang muslim yang diwajibkan mandi dan berwudhu sebanyak lima kali sehari.
Dia berkata, “Selamanya kamu akan melihat mereka itu kotor. Sesungguhnya mereka tidak membersihkan diri mereka dan tidak mandi kecuali satu atau dua kali dalam satu tahun dengan air dingin. Adapun pakaian mereka tidak mereka cuci setelah mereka pakai hingga pakaian itu kumuh dan rusak.”
III. Rumah Sakit dalam Peradaban Islam
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Prof. Dr. Raghib As-Sirjani menyatakan, barangkali sebagian dari sumbangan terbesar umat Islam di bidang kesehatan adalah pendirian rumah sakit.
Umat Islam merupakan orang yang pertama kali mendirikan rumah sakit di dunia. Pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik (8697 H/705-715 M) dari Dinasti Bani Umayyah untuk pertama kalinya mendirikan Rumah Sakit yang mempunyai dokter-dokter spesialis. Di sini pasien-pasien diberi makan dan minum gratis agar tidak berkeliaran di luar. Sesudah berdiri rumah sakit ini, di berbagai tempat bermunculan balai-balai pengobatan yang disebut Bimaristan (Bahasa Persia, bimar = sakit + stan = tempat).
Ar-Razi (865-925 M), dokter muslim terbesar dan penulis paling produktif, ketika mencari tempat untuk membangun rumah sakit besar di Baghdad, diriwayatkan dia menggantungkan sekerat daging di tempat yang berbeda untuk melihat tempat yang paling sedikit menyebabkan pembusukan.
Ada dua macam rumah sakit yang dikenal dalam peradaban Islam yaitu Rumah Sakit Tetap dan Rumah Sakit Tidak Tetap. Rumah Sakit Tetap adalah rumah sakit yang didirikan di kota. Jarang sekali sebuah kota Islam, walaupun kecil tanpa anda rumah sakit di dalamnya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Adapun Rumah Sakit Tidak Tetap sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah ﷺ yaitu sewaktu terjadi Perang Khandaq. Pada waktu itu Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk merawat prajurit yang terluka.
Para khalifah dan raja-raja di kemudian hari mengembangkan rumah sakit jenis ini dengan menambah perlengkapan berupa obat-obatan, makanan, minuman, tenaga medis berikut apoteknya dengan sistem operasi berpindah-pindah dari kampung ke kampung yang di sana belum ada Rumah Sakit Tetap yang beroperasi.
Rumah Sakit Tetap yang tersebar di kota-kota besar mencapai kualitas yang sangat tinggi. Rumah sakit ini dibagi menjadi dua bagian yang terpisah satu sama lain. Satu bagian khusus pasien pria dan satunya lagi khusus pasien wanita. Di setiap bagian memiliki unit-unit spesialis.
Ada bagian spesialis penyakit dalam, spesialis bedah dan operasi, spesialis penyakit kulit, spesialis penyakit mata dan sebagainya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Masing-masing unit spesialis dibagi menjadi sub unit menurut klasifikasi penyakit. Masing-masing sub unit dipimpin oleh seorang dokter Kepala Sub Unit. Seluruh dokter bekerja bergantian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, di mana mereka harus hadir di ruang perawatan pasien.
Setiap rumah sakit mempunyai sejumlah petugas pria dan wanita, mempunyai perawat dan para asisten yang digaji tetap dan apotik yang menyediakan alat-alat bedah serta perlengkapan yang baik mutunya.
Seluruh biaya pengobatan di rumah sakit ini gratis untuk semua orang. Pasien yang datang diperiksa di ruang luar. Bagi yang menderita penyakit ringan langsung diberi resep obat dan dapat diambil di apotik rumah sakit.
Pasien yang memerlukan perawatan khusus atau opname, dilayani, namanya dicatat kemudian disuruh mengganti pakaian dengan pakaian rumah sakit. Selanjutnya dia diberi zal (ruang) yang telah ditentukan untuk pasien sejenis. Di situlah dia dirawat dan diobati oleh dokter-dokter yang bertugas.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Makanan diberikan sesuai dengan kebutuhan kesehatan dengan ukuran tertentu. Bila ternyata dapat menghabiskannya, berarti ia hampir pulih. Maka dia dimasukkan di ruang khusus untuk orang yang sudah hampir sembuh hingga benar-benar pulih. Kemudian dia diberi pakaian baru serta sejumlah uang bantuan sebelum dia dapat bekerja mencari nafkah kembali.
Rumah sakit-rumah sakit tersebut bukan hanya sebagai tempat pengobatan tetapi juga sebagai tempat pengajaran bagi mahasiswa kedokteran dan riset penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan.
Philip K. Hitti menyatakan, umat Islamlah yang pertama kali membangun apotek, mendirikan sekolah farmasi dan menghasilkan buku daftar obat-obatan. Untuk menjadi ahli obat-obatan seseorang harus menjalani semacam tes, begitu juga dokter yang bekerja di rumah sakit harus memiliki ijazah (sertifikat) setelah melalui berbagai macam tes.
Sedangkan bagi yang ingin praktek sendiri, dokter diwajibkan menempuh ujian di hadapan majelis dokter-dokter ahli dengan mengajukan tesis di bidang tertentu untuk memperoleh izin praktik. Tesis yang diajukan boleh berupa karangan asli, atau komentar karangan seorang ahli. Setelah diuji sekitar tesis yang diajukan, bila berhasil lulus barulah diizinkan praktek.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
IV. Orang Sakit Dalam Pandangan Islam
Syariat Islam memandang orang yang sakit sebagai manusia yang sedang dalam kondisi krisis. Karena itu, dia memerlukan orang yang mendampinginya, belas kasih terhadapnya, menyemangatinya, menenangkan ketakutannya dan meringankan penderitaan tubuh dan batinnya.
Rasulullah ﷺ memerintahkan menjenguk orang sakit di rumahnya atau di rumah sakit sebagai hak bagi orang sakit dan kewajiban atas kaum muslimin. Beliau bersabda, “Hak orang Islam atas orang Islam yang lain ada enam”, di antaranya beliau menyebutkan, “Apabila ia sakit, maka jenguklah.” (H.R. Bukhari Muslim).
Beliau memberi kabar gembira berupa surga kepada orang yang menjenguk orang sakit, dengan sabdanya, “Barangsiapa menjenguk orang sakit, penyeru dari langit berseru kepadanya, “Engkau baik, memiliki perilaku yang baik dan akan menempati suatu tempat di surga.” (H.R. Tirmidzi).
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Beliau juga memerintahkan agar ketika kita menjenguk orang sakit, kita menyebut hal-hal yang baik di hadapannya, menyemangati jiwanya, membuat harapan panjang umur. (H.R. Tirmidzi).
Perhatian terhadap orang sakit ini tidak hanya terbatas pada orang Islam tetapi berlaku umum, walaupun dia bukan orang Islam. Rasulullah ﷺ pernah menjenguk pemuda Yahudi yang sakit. (H.R. Bukhari).
Tuntunan Islam terhadap penyantunan orang sakit adalah berangkat dari firman Allah:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan Kami telah memuliakan anak-cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q.S. Al-Isra [17]: 70).
Jadi berdasarkan kepada prinsip pemuliaan kepada manusia inilah syariat Islam mengharuskan umatnya untuk memperhatikan dan mengobati orang sakit. Maka dalam pelayanan medis, tidak boleh ada diskriminasi antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, pria dan wanita, muslim dan non-muslim, suku, warna kulit, kebangsaan dan sebagainya. Mereka harus diperlakukan sama dan pelayanan yang maksimal.
Di antara akhlaq (etika) yang diajarkan oleh Islam terhadap penyantunan orang yang sakit adalah menjaga kehormatannya, menjaga rasa malunya, dan menjaga langkah-langkah pemeriksaan dan pengobatan tanpa merusak privasinya. Oleh karena itu syariat Islam tidak membolehkan membuka aurat orang sakit kecuali dalam keadaan darurat dan dengan kadar yang diperlukan untuk pemeriksaan dan operasi.
Begitu juga orang lain tidak boleh ikut menyaksikan pemeriksaan pasien khususnya lawan jenis. Dokter juga tidak boleh berduaan dengan pasien kecuali dengan adanya mahram atau perempuan lain, misalnya perawat. Rumah Sakit Islam di masa keemasannya juga memisahkan antara pasien laki-laki dan pasien perempuan masing-masing di ruang khusus untuk mereka.
Untuk menjaga hak orang sakit Islam membolehkan dokter laki-laki memeriksa pasien perempuan apabila tidak ditemukan dokter yang sesama jenis dan sepadan dalam kemampuan menangani sakit yang diderita oleh pasien.
Hal ini berdasar hadis dari Ruba’i binti Muawwad bin Afra’, dia berkata, “Kami (kaum wanita) berperang bersama Rasulullah ﷺ dengan tugas memberi minum pasukan, melayani mereka dan merawat mereka ke Madinah.”
Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam Kitab Shahihnya :
“Apakah laki-laki boleh mengobati wanita dan wanita mengobati laki-laki.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, menjelaskan hadis di atas, bahwa diperbolehkan pengobatan dari lawan jenis dalam keadaan darurat dengan melakukan tindakan terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.
Syariat Islam juga membolehkan orang Islam mencari pengobatan dari dokter non muslim dan dokter muslim diperbolehkan mengobati pasien non muslim bahkan musuh sekalipun seperti yang dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap Pasukan Salib Richard The Lion Hart.
Dikisahkan bahwa suatu hari Richard sakit keras. Mendengar kabar itu Shalahuddin mengirimkan dokter terbaiknya untuk mengobati Richard. (A/Ast/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)