Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesewenang-wenangan Pendirian Gereja: Fakta, Realita, dan Suara Umat yang Terpinggirkan

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 51 detik yang lalu

51 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

PERNYATAAN mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, dalam forum bersama 700 pendeta pada awal Juni 2025 menyentak nalar dan nurani bangsa ini. Dengan lugas beliau menyatakan, “Gereja sudah 56.000, harusnya bersyukur, bukan ribut satu gereja ke seluruh dunia.”

Pernyataan ini bukan sekadar kritik tajam, tetapi sebuah sorotan terhadap ketimpangan narasi toleransi yang selama ini mengemuka di ruang publik. Toleransi seharusnya bersifat dua arah—bukan satu pihak terus menekan, sementara pihak lain terus menahan diri atas nama kerukunan.

Jumlah Gereja dan Pertumbuhan yang Tidak Seimbang

Menurut data Kementerian Agama (Kemenag) RI, per tahun 2022, jumlah gereja di Indonesia mencapai sekitar 56.000 unit. Bandingkan dengan jumlah masjid yang berkisar masjid besar 300.000 dan musholla sekitar 700.000. Namun angka tersebut harus dibaca secara kontekstual.

Baca Juga: Boikot Zionis Israel, Aksi Damai yang Mematikan

Mayoritas masjid berdiri di kawasan Muslim, mengikuti persebaran umat Islam yang lebih dari 86% dari populasi. Sementara gereja, yang didirikan oleh sekitar 10% umat Kristen dan Katolik, justru tumbuh secara signifikan bahkan di kawasan mayoritas Muslim.

Masalah muncul ketika pendirian gereja dilakukan tanpa izin atau tidak sesuai prosedur hukum. Dalam banyak kasus, rumah tinggal disulap menjadi tempat ibadah tanpa persetujuan masyarakat setempat. Hal ini melanggar Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah.

PBM 2006 dan Manipulasi Fakta di Lapangan

PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 mensyaratkan minimal 90 orang jemaat, ditambah dukungan dari 60 warga sekitar, serta persetujuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk mendirikan rumah ibadah. Ini berlaku untuk semua agama.

Baca Juga: Pesan Dari Jantung Blokade: Ketika Debu Perang Tak Mampu Redam Keimanan di Gaza

Namun sayangnya, banyak gereja—khususnya denominasi kecil dan independen—yang mengabaikan prosedur ini, lalu ketika muncul penolakan warga, mereka menggiring opini seolah-olah sedang didiskriminasi.

Kasus Gereja Yasmin di Bogor adalah contoh nyata. Meski Mahkamah Agung telah mengesahkan penolakannya karena melanggar izin, pihak gereja tetap melawan dan bahkan mengundang perhatian media asing. Padahal, masalah utamanya adalah prosedural, bukan soal kebebasan beragama.

Modus Operandi: Rumah Ibadah Berkedok Rumah Tinggal

Salah satu modus paling umum adalah menyewa atau membeli rumah tinggal, lalu digunakan untuk ibadah rutin. Dari sinilah muncul keresahan masyarakat. Sebuah rumah di kawasan Muslim tiba-tiba menjadi tempat kebaktian setiap minggu. Tetangga terganggu, lingkungan merasa dibohongi.

Baca Juga: Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia dari Jantung Teluk Persia

Contoh kasus:

  • Kupang, NTT (2023): Salah satu rumah di lingkungan Muslim digunakan untuk kebaktian ilegal. Setelah ditertibkan, pemilik rumah justru melapor ke lembaga HAM internasional.
  • Bandung Barat (2024): Sebuah rumah yang dijadikan gereja tanpa izin menimbulkan ketegangan. Saat aparat hendak menertibkan, datang intervensi dari LSM internasional.

Modus ini sangat berbahaya karena melahirkan ketidakpercayaan antarwarga. Hubungan sosial rusak hanya karena rumah ibadah dibangun tanpa etika dan prosedur.

Praktik Pemurtadan dan Misi Terselubung

Selain masalah pendirian gereja, banyak umat Islam juga dirisaukan dengan gerakan misionaris yang menyusup melalui jalur bantuan sosial, pendidikan, dan pengobatan.

Baca Juga: Dari Bandung Menuju Al-Aqsa: Tadabbur Qs. Al Anfal Ayat 45-56 dan Spirit Perjuangan

  • Bantuan Bencana: Sering kali disertai dengan penyebaran literatur Kristen atau ajakan halus untuk berpindah keyakinan.
  • Panti Asuhan dan Sekolah Gratis: Banyak kasus anak Muslim yatim-piatu yang dimasukkan ke panti Kristen dan dibaptis tanpa sepengetahuan keluarganya.
  • Pelayanan Medis Gratis: Disertai dengan doa bersama ala Kristen dan pembagian Alkitab kepada pasien Muslim awam.

Beberapa organisasi misi internasional seperti World Vision, Compassion, dan sejenisnya memang memiliki dana besar dan jaringan luas. Sayangnya, banyak di antaranya tidak transparan dalam menjalankan aktivitas sosial mereka yang bercampur dengan agenda pemurtadan.

Ketimpangan dalam Perlindungan Hukum

Ketika umat Islam menuntut penegakan aturan atas gereja ilegal, media Barat serta LSM dalam negeri langsung menuduh intoleransi. Tapi ketika masjid ditolak pendiriannya di kawasan minoritas, tidak ada liputan besar-besaran. Dua kasus ini menggambarkan ketimpangan:

  • Kasus Tolak Masjid di Papua dan NTT: Di beberapa daerah minoritas non-Muslim, pendirian masjid seringkali gagal karena penolakan warga, dan tidak menjadi isu nasional. Bahkan pejabat lokal terang-terangan menolak.
  • Kasus Gereja di Cilegon (2022): Penolakan warga atas pendirian gereja dikemas seolah diskriminasi, padahal pendirian belum memenuhi syarat PBM 2006.

Jusuf Kalla: Suara Keadilan dari Tengah

Baca Juga: Kata Situs Formula E tentang Jakarta

Jusuf Kalla bukan tokoh yang anti agama lain. Ia adalah tokoh pluralis, pernah menjabat Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, juga tokoh perdamaian dalam konflik Poso dan Ambon. Ketika beliau menyampaikan sindiran kepada para pendeta, itu adalah suara keseimbangan dan keadilan.

Beliau ingin menyampaikan bahwa umat Kristen di Indonesia sebenarnya sangat bebas dan diberi ruang luas untuk beribadah. Namun kebiasaan membawa satu kasus ke level internasional untuk menekan negara, justru memperkeruh hubungan antarumat beragama.

Umat Islam tidak anti keberadaan gereja. Tapi umat Islam berhak menuntut: Keadilan prosedural, Penertiban rumah ibadah ilegal, Pengawasan terhadap aktivitas misi terselubung, Penegakan hukum yang tidak berat sebelah.

Toleransi sejati dibangun atas dasar hormat-menghormati, bukan eksploitasi kesabaran satu pihak. Jika gereja ingin dihormati, maka hormatilah pula prosedur hukum dan kearifan lokal umat mayoritas. Jangan mendirikan rumah ibadah di sembarang tempat, apalagi dengan modus licik.

Baca Juga: Dari Bandung untuk Al-Aqsa, Tabligh Akbar Menyatukan Umat dalam Ukhuwah dan Perjuangan

Umat Islam selama ini bersabar. Tapi jangan salah tafsir. Kesabaran bukan berarti kelemahan. Jika terus ditekan, diprovokasi, dan difitnah atas nama toleransi yang berat sebelah, maka luka itu bisa menjadi bara yang membakar harmoni bangsa.

Pernyataan Jusuf Kalla patut dijadikan refleksi nasional. Sudah saatnya negara tegas, bukan takut pada tekanan asing. Sudah saatnya umat Islam bersatu menjaga akidah, hak sosial, dan kehormatan agama. Dan sudah waktunya kita semua—termasuk umat agama lain—berani berkata jujur: bahwa kerukunan tidak akan lahir dari kesewenang-wenangan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Referensi:

Baca Juga: 5 Adab Mulia yang Harus Diketahui Peserta Tabligh Akbar

  1. Kementerian Agama RI – Data Rumah Ibadah Nasional 2022
  2. PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah
  3. Komnas HAM RI – Laporan Tahunan Isu Kebebasan Beragama
  4. Liputan media nasional dan lokal kasus Gereja Yasmin, Cilegon, dan Kupang
  5. Pidato Jusuf Kalla, Juni 2025 dalam forum pemimpin gereja

 

Rekomendasi untuk Anda