Jakarta, MINA – Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin mengatakan, sejak bulan september hingga saat ini kenaikan suhu per bulan rata – rata mencapai 1,5 derajat celcius, perubahan cuaca ekstrem ini dipahami oleh para ekonom global akan berdampak pada penurunan ekonomi global.
“Indonesia saat ini diancam oleh dua hal akibat dari cuaca ekstrim, yaitu kekeringan dan banjir karena hujan ekstrem. Keduanya adalah bentuk yang paling sederhana dari yang akan kita hadapi ketika suhu meningkat secara signifikan,” kata Erma dalam Media Lounge Discussion di Gd. BJ Habibie, Jakarta, pada Rabu (31/1).
Erma mengungkapkan bahwa menurut publikasi yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi Jawa Tengah pada bulan Januari tahun 2024 Jawa Tengah mengalami 47 kali bencana alam yang 80 persen disebabkan oleh cuaca ekstrem.
“Kalau kita melek cuaca banyak laporan terjadi puting beliung di beberapa daerah, ini salah satu dampak dari cuaca ekstrem. Dengan skala dampak yang luar biasa termasuk yang terjadi di Gedung BRIN Gunung Sindur pada awal Januari yang lalu,” jelasnya.
Baca Juga: Menag Kritik Perjalanan Dinas Luar Negeri, Sebut Manfaatnya Kecil Sekali
Lebih lanjut ia menyampaikan perlunya inisiasi untuk membangun bangsa yang siaga terhadap cuaca, membangun kesadaran masyarakat agar siap dan tanggap pada cuaca.
Perlunya pemerintah untuk membentuk komite cuaca ekstrem, untuk meminimalisir dampak buruk atau korban jiwa yang mungkin terjadi akibat dari cuaca ekstrem ini. BRIN melakukan kajian perubahan iklim (2021-2050) khusus wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI).
Kajian yang menggunakan teknik dynamic downscaling resolusi tinggi dari tim periset BRIN tersebut, menunjukkan kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan.
“Tujuan kami adalah fokus pada formula yang paling generik atau general yang bisa kita gunakan untuk mengkalkulasi cuaca ekstrem. Kami melihat selama ini masyarakat melihat cuaca ekstrem dampaknya tidak katastropik atau mengancam nyawa dan tidak berdampak luas,” tuturnya.
Baca Juga: Reuni Akbar 212 Serukan Pembelaan dan Solidaritas terhadap Palestina
Menurut Erma riset – riset yang dikaji oleh BRIN adalah untuk mengetahui lebih dalam mekanisme – mekanisme cuaca ekstrem yang ada di Indonesia ketika terjadi perubahan iklim.
Ketua Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Jakarta, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Agie Wandala Putra pada kesempatan yang sama menyampaikan bahwa saat ini BMKG sedang berupaya untuk mengalihkan paradigma di masyarakat dengan menjadikan informasi cuaca yaitu prediksi atau prakiraan cuaca menjadi kebutuhan informasi sehari – hari.
“Peringatan dini atas cuaca perlu diimbangi dengan kemampuan respon dan kemampuan untuk mengatasinya, maka dari itu masyarakat perlu untuk dibekali dengan kemampuan tersebut. Karena upaya untuk merespon atas ancaman yang timbul dari early warning itu yang masih lemah,” kata Agie.
Sebagai penutup Agie menghimbau kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan, karena dengan memberi kebaikan maka kebaikan itu akan kembali kepada kita.
Baca Juga: Reuni Akbar 212, Ini Pesan Habib Rizieq kepada Presiden Prabowo
“Jaga alam, maka alam akan menjaga kita,” pungkasnya.(L/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Senin Besok, Jadwal Keberangkatan Kereta Jarak Jauh dari Gambir Dialihkan ke Jatinegara