DI TENGAH hiruk-pikuk kehidupan dunia, sering kali kita terperangkap dalam jebakan halus yang tidak kita sadari: kesombongan yang menyamar sebagai kebaikan. Seringkali kita melakukan perbuatan baik—menolong orang, memberi sedekah, berdakwah—dan kita merasa bangga pada diri sendiri, seolah kebaikan itu menjadi cermin yang memantulkan kemuliaan pribadi. Namun, tahukah kita, inilah bentuk kesombongan yang paling licik, yang bahkan bisa menutupi pandangan hati kita dari cahaya kebenaran akhirat?
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan, “Kesombongan yang halus itu lebih berbahaya daripada yang nyata, karena ia menempel pada amal shalih dan menodai niatnya.” Kita sering kali tersihir oleh pujian orang lain, memikirkan bagaimana tindakan kita terlihat di mata manusia, bukan bagaimana Allah melihatnya. Padahal, seorang hamba yang ikhlas tidak menginginkan tepuk tangan manusia; ia mengharap ridha Allah semata.
Cermin dari kesombongan tersembunyi ini dapat kita temukan dalam setiap hati yang merasa cukup dengan amalnya, atau yang membanggakan kebaikan yang telah ia lakukan. Rasulullah SAW bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَعْمَلُ عَمَلًا فِي دِينِ اللَّهِ إِلَّا كُتِبَ لَهُ إِلَّا الشَّرُورُ»
“Tidaklah seorang hamba beramal di jalan Allah kecuali dicatat untuknya, kecuali keburukan (apabila ia sombong).” (HR. Muslim, Shahih)
Baca Juga: Perdamaian di Gaza, Antara Asa dan Realita
Hadis ini menegaskan, amalan yang tampak baik di mata manusia bisa menjadi sia-sia jika hati terselubungi kesombongan. Para salaf, seperti Hasan al-Bashri rahimahullah, menegaskan, “Barang siapa yang hatinya bangga dengan amalnya, maka amalnya hancur.” Bayangkan, kebaikan yang kita banggakan bisa menjadi racun bagi jiwa kita sendiri.
Kesombongan yang menyamar ini sering muncul dalam wujud halus: memberi sedekah sambil memperlihatkan diri, berdakwah untuk dihormati orang, atau menegur kesalahan orang lain dengan tujuan terlihat ‘benar’. Semua itu menodai amal dan mengikat hati pada dunia. Ibnul Qayyim rahimahullah menulis dalam Madarij as-Salikin, “Sesungguhnya kesombongan adalah penyakit hati yang tidak terlihat oleh pelakunya, tetapi Allah melihatnya. Ia adalah racun yang bisa menghilangkan pahala amal seketika.”
Ciri khas kesombongan tersembunyi adalah ketika hati merasa aman dari celaan, ketika kita menolak teguran, atau ketika hati selalu mencari pujian. Maka, ulama salaf selalu menekankan pentingnya muhasabah, introspeksi diri, dan menjaga niat. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak takut miskin dalam harta, tetapi aku takut miskin dalam niat.”
Kita perlu memahami bahwa amal shalih yang sejati lahir dari hati yang tunduk, bukan dari keinginan dilihat hebat. Rasulullah SAW bersabda,
Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى»
“Sesungguhnya amalan tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika kita menanam amal dengan niat mencari pujian, maka pahala bisa hilang; jika kita menanam amal dengan niat mencari ridha Allah, pahala abadi menanti. Maka setiap kebaikan harus diawali dan diakhiri dengan muhasabah, Apakah aku melakukan ini untuk Allah, atau untuk manusia?
Kesombongan yang menyamar ini juga berbahaya karena menipu alam bawah sadar. Hati yang telah terbiasa dihargai manusia akan merasa cukup, bahkan puas dengan sanjungan semu. Dalam diri, mulai timbul rasa aman palsu: “Aku sudah baik, orang lain harus mengikuti jejakku.” Padahal, ini adalah perangkap syaitan yang menjerumuskan hati jauh dari cahaya akhirat. Para salaf memperingatkan, “Jangan bangga dengan amalmu; bisa jadi engkau adalah hamba yang paling hina di sisi Allah.”
Untuk menjaga hati, ulama salaf menekankan tiga kunci: pertama, senantiasa bermuhasabah diri; kedua, memperbanyak doa memohon keikhlasan; ketiga, rendah hati dalam setiap amal. Hasan al-Bashri berkata, “Aku melihat orang yang beribadah tapi hatinya bangga, seperti orang yang menyiram tanaman dengan air kotor; tampak hijau, tapi akar busuk.”
Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin
Akhirnya, sadarilah bahwa dunia ini adalah ladang ujian. Setiap kebaikan harus dibersihkan dari kesombongan, karena di akhirat, manusia akan dihisab bukan dari seberapa banyak yang mereka lakukan, tetapi dari seberapa ikhlas niat mereka. Maka, jangan biarkan pujian manusia menjadi penutup dari cahaya amal yang tulus. Ingatlah firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan menyingkirkan segala bentuk kesyirikan dan ikhlas dalam beragama kepada-Nya.” (Qs. al-Bayyinah: 5)
Kesimpulannya, mari renungkan hati kita: setiap kebaikan yang kita lakukan, periksa niatnya, bersihkan dari kesombongan, dan jadikan hanya untuk ridha Allah. Sebab, kesombongan yang menyamar bisa membunuh pahala dan menyesatkan jiwa, sementara keikhlasan adalah jalan paling mulia menuju akhirat yang abadi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa