Keteladanan Siti Hajar Bagi Jamaah Haji dan Kaum Perempuan

Sa'i dari Shafa ke Marwah. (Islam Online)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Hari Raya Idul Adha identik dengan pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Ibrahim sebagai seorang ayah, anaknya Isma’il, dan ibunya Sayyidah atau Siti Hajar.

Nama Siti Hajar, ada yang menyebut dari kata “Haa jara” (هاجَر) artinya berpindah. Ada yang yang menyebutnya singkatan dari “Hadzaa Ajrikum” (هذااجركم), yang memiliki arti “ini imbalanmu”.

Menurut ahli Heiroglafi, kata Hajar dari bahasa Mesir kuno “Haa” (ها)  artinya bunga seroja, dan ”Jara” (جر) artinya tanah Jab di wilayah Mesir. Sehingga nama Hajar merupakan nama bunga yang ada di kawasan Mesir.

Keteladanan pengorbanan Siti Hajar ditunjukkan antara lain ketika ia ditinggalkan hanya berdua dengan bayinya, Ismail, di tengah padang pasir gersang, di gurun Arab Saudi.

Saat itu, ia bersama suaminya, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, menunaikan perintah dari Allah untuk hijrah dari wilayah Baitul Maqdis, Palestina ke kawasan Baka (Makkah), Arab Saudi.

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam lahir 2295 SM, ribuan tahun lalu, belum ada penduduk yang menetap di sana, dan belum ada binatang piaraan yang dipelihara.

Sesaat setelah tiba di Lembah Baka, yang kemudian disebut dengan Makkah, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mendapatkan perintah dari Allah untuk kembali ke wilayah Baitul Maqdis, Palestina, meninggalkan keluarganya.

Kemudian Siti Hajar mengikutinya  dan menyeru, “Wahai, Ibrahim. Ke mana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang  tak berpenghuni ini?”

Siti Hajar mengulangi beberapa kali. Namun, Ibrahim tak bergeming demi tetap melanjutkan amanat Allah.

Baca Juga:  PBB Ingatkan Ancaman Bencana Perang Israel-Hizbullah Lebanon

Kemudian Siti Hajar bertanya lagi, “Apakah ini adalah perintah Allah? “Ibrahim pun menjawab, “Ya.”

Mendapat  jawaban itu, Hajar pun menimpali, “Jika demikian, Allah  tidak akan meninggalkan kami”.

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam pun kemudian menghadapkan wajah ke arah Baitullah seraya menengadahkan tangan dan berdoa, yang diabadikan di dalam Al-Quran:

رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيۡرِ ذِى زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةً۬ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَہۡوِىٓ إِلَيۡہِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٲتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Beberapa saat kemudian, Hajar pun membuka wadah berisi kurma yang ditinggalkan suaminya, lalu memakannya. Beberapa teguk air dari kantong pun ia minum. Baru sebentar, rasa haus kembali merongrong tenggorokannya. Maklumlah, ia masih menyusui puteranya ditambah cuaca padang pasir yang relatif panas.

Hari bertambah hari, suhu Arab semakin panas, persediaan makan dan minum pun telah habis. Kemampuan menyusui sang bayi pun semakin menurun. Lama-kelamaan air susunya habis. Sementara si bayi menjadi rewel, menangis, dan terus meronta meminta air susu ibunya.

Tak tahan mendengar tangis anaknya, Siti Hajar bangkit dari tempatnya, meninggalkan bayinya sendirian, demi mencari bantuan. Barang kali saja ada rombongan kafilah yang melewati Makkah kala itu.

Baca Juga:  Kunci Ka’bah Diserahkan kepada Pemegang ke-78

Dilihatnya seperti air di sebuah bukit, yang kemudian dikenal dengan Shafa. Ia berlari ke sana. Ternyata hanya fatamorgana di tengah terik panas padang pasir.

Dilihatnya lagi di sebuah bukit di ujung lainnya, yakni Marwah, tampak ada danau air. Setelah terhuyung-terhuyung tergesa-gesa menuju ke sana, yang jaraknya sekitar 450 meter, ternyata pun fatamorgana. Begitu sampai tujuh kali 450 meter atau sekitar 3,15 km ia bolak-balik Bukit Shafa-Bukit Marwah demi mencari seteguk air.

Mengeluhkah dia? Tidak. Dia meyakini pertolongan Allah pasti akan datang. Tugasnya hanyalah berusaha, bergerak, berjalan, berlari-lari kecil dan berikhtiar. Ia ikhlas menjalaninya, seikhlas ketika melepas kepergian suaminya yang meninggalkan mereka berdua di padang itu atas kehendak Allah.

Akhirnya, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah pun memberikan rezeki berupa sumber mata air zamzam yang muncul justru dari bawah telapak kaki Ismail, bukan di Bukit Shafaatau Bukit Marwah. Siti Hajar dan Ismail pun menikmati air minum zamzam.

Allah mengabadikan Shafa-Marwah itu di dalam ayat:

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا‌ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah [3] Maka barangsiapa yang beribadat haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri  kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 158).

Baca Juga:  Ismail Haniyeh: Bukan Kesepakatan Jika tak Akhiri Perang

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun dalam sabdanya menyebutkan:

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا

Artinya: “Tatkala Jibril memukul zam-zam dengan tumit kakinya (Ismail), Ummu Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,”Semoga Allah merahmati Hajar, Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah).”

Kini, jutaan jamaah haji setiap tahun dan ratusan ribu jamaah umrah sepanjang bulan, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar melalui ritual Sa’i, yakni berlari-kari kecil dari Bukit Shafa menuju Bukit Marwah sebanyak tujuh kali dalam ibadah umrah atau haji.

Begitulah antara lain kurang lebih cara Allah memberikan pemuliaan dan penghormatan kepada Siti Hajar, agar orang-orang yang kemudian mengikuti jejaknya.

Ada lagi bagaimana kesabaran dan ketegaran Siti Hajar sebagai seorang ibu, dengan kekuatan aqidah, ketabahan jiwa, kesabaran, ketawakalan hati, kekuatan mental, keridhaan akan ujian, dan segala keutamaan yang tersemat pada sosok Siti Hajar, adalah teladan bagi kita, terutama para jamaah haji dan umrah melalui manasik Sa’i Shafa-Marwah.

Lebih khusus lagi tentu teladan terbaik bagi Kaum Ummahat, ibu-ibu dari kalangan orang-orang beriman. Termasuk untuk kaum isteri yang senantiasa mendukung perjuangan Sang Suami dalam menunaikan perintah-perintah Allah, dalam perjuangan di jalan Allah.

Itulah keteladanan dan pengorbanan Siti Hajar yang dirahmati Allah, ibunda teladan sepanjang zaman. []

Mi’raj News Agency (MINA)