oleh Muhammad Arroyan, M.Pd., Mudir Shuffah Pondok Pesantren Tahfidz Al Qur’an Al-Fatah Pekalongan
PERAN ayah dalam keluarga sering dipersepsikan sebatas pencari nafkah, sementara aspek emosional dan komunikasi dengan anak kerap terabaikan. Padahal, anak bukan hanya membutuhkan materi, melainkan juga ruang berbicara yang hangat bersama sosok ayahnya.
Dialog yang terbangun di rumah dapat menjadi media untuk menanamkan nilai agama, membentuk karakter, serta mempererat ikatan batin.
Islam menekankan pentingnya komunikasi penuh kasih sayang dalam keluarga. Allah mencontohkan dialog Luqman dengan anaknya:
Baca Juga: Takut Ketinggalan Zaman: Ketika FOMO Menjadi Gaya Hidup Gen Z
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (Q.S. Luqman: 13).
Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan terbaik lahir dari dialog penuh hikmah, bukan hanya perintah satu arah.
Oleh karena itu, dialog antara ayah dan anak tidak lahir begitu saja, melainkan perlu dibangun dengan kesadaran dan kesungguhan. Komunikasi yang sehat dimulai dari kesiapan ayah untuk mendengar dengan empati. Anak akan merasa nyaman membuka diri bila ayah tidak langsung menghakimi, melainkan memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Baca Juga: Pendidikan Pesantren: 3 Kunci Membangun Generasi Islami Berkualitas dan Berakhlak Mulia
Dalam hadits, Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menekankan pentingnya kelembutan dalam setiap interaksi:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.” (HR. Muslim).
Dengan kelembutan, ayah dapat menjadi sahabat bicara yang dirindukan anak-anaknya. Rumah pun menjadi tempat aman untuk berbagi, bukan sekadar tempat singgah.
Baca Juga: Pemerintah Akan Luncurkan Sekolah Garuda di 16 Titik di Seluruh Indonesia
Artinya, membangun dialog menuntut sikap sabar, penuh kelembutan, dan keikhlasan. Dengan pola ini, ayah dapat menumbuhkan rasa percaya sekaligus menghantarkan nilai-nilai Islam kepada anak.
Di zaman sekarang, khususnya Era digital membawa tantangan tersendiri dalam komunikasi keluarga. Anak-anak kini lebih banyak terhubung dengan gawai daripada orang tua mereka. Media sosial, game online, dan arus informasi yang deras sering kali membuat anak lebih nyaman mencari hiburan atau jawaban di luar rumah.
Di sinilah peran ayah menjadi semakin krusial. Jika ayah hadir sebagai sahabat bicara, anak tidak akan mudah terjebak dalam pengaruh negatif dunia maya. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Baca Juga: 5 Langkah Tumbuhkan Literasi Anak, Inspirasi dari Surat Al-‘Alaq
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Q.S. At-Tahrim: 6).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab ayah bukan hanya memberi nafkah, tetapi juga melindungi keluarga dari bahaya, termasuk bahaya nilai dan budaya yang salah. Kehadiran dialog rutin antara ayah dan anak dapat menjadi filter alami, agar anak tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus globalisasi digital.
Selain sebagai pendengar, ayah juga harus menjadi teladan yang hidup bagi anak. Anak-anak lebih mudah meniru daripada sekadar mendengar nasihat. Maka, ayah yang ingin menjadi sahabat bicara sejati harus konsisten dalam akhlak, ibadah, dan keseharian.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Baca Juga: Pendidikan Ash-Shuffah, Jawaban atas Krisis Karakter Generasi Z
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad).
Hadits ini menegaskan bahwa inti dari pendidikan adalah keteladanan. Bila anak melihat ayahnya sabar, disiplin, dan santun, mereka akan lebih mudah menyerap pesan yang disampaikan. Teladan yang hidup jauh lebih berkesan daripada seribu nasihat.
Dengan demikian, menjadi sahabat bagi anak bukan berarti menghilangkan wibawa seorang ayah, melainkan memadukannya dengan kehangatan dan teladan nyata.
Baca Juga: Digitalisasi Sekolah: Peluang dan Tantangan di Era 5.0
Dengan demikian, ketika ayah hadir sebagai sahabat bicara di rumah, anak-anak akan merasa aman, dihargai, dan diarahkan. Dialog yang dibangun dengan kelembutan, ditopang dengan keteladanan, serta diperkuat dengan kesadaran menghadapi tantangan era digital, akan menjadikan keluarga sebagai benteng utama pendidikan.
Islam telah memberi teladan jelas melalui kisah Luqman dan bimbingan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa komunikasi yang penuh kasih adalah kunci keberhasilan mendidik generasi. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Guru Sebagai Inspirator: Mendidik dengan Cinta dan Keteladanan