Oleh Muhammad Ridwan, S.Sos. I, Alumni STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor
Gelombang kebencian terhadap umat Islam di India terus meningkat, menampakkan wajah baru intoleransi yang semakin terbuka. Ratusan Muslim ditangkap hanya karena mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sementara kekerasan terhadap komunitas Muslim berubah menjadi tontonan publik yang dinormalisasi oleh sebagian besar masyarakat dan media arus utama.
Insiden terbaru terjadi di Negara Bagian Uttar Pradesh. Menurut laporan Al Jazeera (21 Oktober 2025), aparat keamanan menahan puluhan warga Muslim di Kanpur dan mencatat lebih dari 2.500 nama dalam laporan hukum resmi hanya karena mereka memasang spanduk bertuliskan “I Love Muhammad” saat perayaan Maulid Nabi.
Pemerintah setempat yang dipimpin oleh Yogi Adityanath dari partai nasionalis Hindu BJP menuding ekspresi cinta itu sebagai “tindakan provokatif” yang dapat memicu konflik antaragama. Namun bagi umat Islam, tindakan aparat tersebut hanyalah satu dari sekian banyak bentuk kriminalisasi terhadap identitas dan keyakinan mereka.
Baca Juga: Israel sebagai Buffer State AS yang Semakin Terisolasi
“Ketika cinta kepada Nabi dianggap kejahatan, maka negara telah kehilangan arah moralnya,” ujar pengacara hak asasi manusia Anees Khan.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran yang lebih dalam dalam politik India modern, di mana kebencian terhadap Muslim telah berubah menjadi bagian dari budaya populer. Media televisi dan platform daring sering menampilkan ujaran kebencian, penangkapan, dan kekerasan terhadap Muslim sebagai hiburan — bahkan sebagai “drama nasional” yang menggantikan berita kemanusiaan.
Tragedi pembunuhan anak Muslim berusia tujuh tahun di Azamgarh, yang sempat mencuat pada September lalu, dengan cepat menghilang dari layar berita. Isu-isu yang menyentuh penderitaan umat Islam jarang bertahan lama, seolah-olah nyawa mereka tidak memiliki nilai berita, sementara narasi tentang “kebanggaan Hindu” mendominasi ruang publik.
Di sisi lain, ketika kelompok ekstremis Hindutva menyerukan genosida terhadap umat Islam secara terbuka, media nasional justru bersikap diam atau bahkan menormalisasi kekerasan tersebut sebagai “kewajaran sosial.”
Dari penghancuran rumah-rumah warga Muslim tanpa proses hukum hingga pengusiran pedagang dari pasar dengan label “jihadi-mukt bazaars”, semua itu dibungkus dalam narasi hukum dan ketertiban — seakan penderitaan jutaan Muslim hanyalah bagian dari “tata tertib nasional”.
Baca Juga: Tabiat Abadi Zionis Israel, Selalu Melanggar Perjanjian
Kepemimpinan politik yang berhaluan mayoritarian turut memperparah keadaan. Yogi Adityanath, misalnya, kerap menggunakan retorika yang menyebut umat Islam sebagai “penyusup” dan “ancaman bagi peradaban Hindu”.
Dalam atmosfer seperti ini, banyak Muslim India hidup dalam ketakutan. Salat Jumat bisa memicu kecurigaan, adzan bisa dianggap provokasi, dan simbol kecintaan kepada Nabi ﷺ pun bisa membawa ke penjara.
Ketika negara mulai membenarkan diskriminasi dan menjadikan kebencian sebagai hiburan, kondisi ini bukan hanya ancaman bagi umat Islam, tetapi juga bagi masa depan demokrasi India itu sendiri.
Sebagaimana diingatkan dalam firman Allah:
Baca Juga: Ketika Bumi Memanggil Kita Lewat Gelombang Panas
قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاٰيٰتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ ١١٨…،
“…,Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang mereka sembunyikan dalam hati lebih besar…” (QS. Ali Imron [3]: 118)
Ayat ini menggema dalam kenyataan India hari ini, di mana kebencian dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan dilakukan secara terang-terangan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Umat Islam dunia diimbau untuk tidak tinggal diam. Membela Muslim India bukanlah sekadar solidaritas kemanusiaan, tetapi panggilan iman untuk menegakkan keadilan.
Baca Juga: Perdamaian Tidak Akan Terwujud Tanpa Negara Palestina
Sebab membungkam cinta kepada Nabi berarti menindas fitrah keimanan itu sendiri — dan ketika kebencian dijadikan tontonan, seluruh dunia sedang diuji: apakah akan tetap menjadi penonton, atau berdiri di sisi kebenaran. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tahanan Palestina Abu Moussa Pulang, tapi Gaza telah Hancur dan Keluarganya telah Gugur