Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Cinta Tak Lagi Bernilai: Perceraian Jadi Jalan Cepat

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 30 detik yang lalu

30 detik yang lalu

0 Views

Janji di hadapan saksi dan langit menjadi sakral, menggema dalam doa dan harapan. Namun, seiring waktu, banyak cinta yang layu bukan karena hujan badai, tapi karena akar keikhlasan tak lagi menembus dalam tanah kesabaran.(Foto: ig)

DI AWAL kisah, cinta selalu tampak seperti jawaban dari segala kerinduan. Dua hati yang bertemu dalam ridha Allah seolah menemukan tempat pulang yang selama ini dicari. Janji di hadapan saksi dan langit menjadi sakral, menggema dalam doa dan harapan. Namun, seiring waktu, banyak cinta yang layu bukan karena hujan badai, tapi karena akar keikhlasan tak lagi menembus dalam tanah kesabaran.

Dulu, mereka berpegangan tangan erat sambil menatap masa depan bersama. Kini, tangan itu terlepas perlahan, bukan karena benci, tapi karena lelah yang tak tersuarakan. Ujian hidup seolah mengubah kata “kita” menjadi “aku” dan “kamu”. Di titik itu, perceraian menjadi kata yang terdengar menakutkan, tapi juga terasa seperti satu-satunya jalan keluar.

Banyak rumah tangga runtuh bukan karena kurang cinta, melainkan karena kurang komunikasi dan doa. Mereka lupa bahwa setiap pernikahan bukan hanya pertemuan dua manusia, tapi dua jiwa yang harus terus disatukan oleh Allah. Ketika doa berhenti, ketika sabar menipis, cinta pun kehilangan arah dan makna. Dan di situlah, perceraian datang bukan sebagai pilihan, tapi sebagai akibat dari hati yang tak lagi bersandar pada-Nya.

Perceraian kini sering dijadikan solusi instan atas luka yang belum disembuhkan. Padahal, setiap luka bisa disembuhkan jika hati mau kembali tunduk kepada Allah. Namun, di zaman serba cepat ini, kesabaran dianggap kuno, dan keikhlasan dianggap bodoh. Padahal justru di dalam sabar dan ikhlas itulah letak kekuatan cinta sejati.

Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal

Banyak yang memilih berpisah karena merasa sudah tidak bahagia. Tapi kebahagiaan sejati bukan tentang selalu tersenyum, melainkan tentang bertahan di saat badai menerpa. Cinta tidak akan selalu indah, tapi ia akan selalu bermakna jika dijaga dengan iman. Sayangnya, banyak yang mencintai karena rasa, bukan karena ibadah, hingga ketika rasa pudar, ikatan pun ikut rapuh.

Rumah tangga seharusnya menjadi taman bagi jiwa, bukan ladang pertengkaran yang membakar hati. Ketika satu pihak salah, yang lain seharusnya menjadi penyejuk, bukan penyulut api. Namun kini, banyak yang saling mengadili tanpa mau mendengar dan memahami. Akhirnya, cinta berubah menjadi medan pertempuran yang hanya menyisakan luka dan air mata.

Ada yang lupa, bahwa pernikahan bukan sekadar menyatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga, dua kehidupan, dan dua takdir. Semua itu butuh waktu, kesabaran, dan saling memahami tanpa batas. Perceraian seringkali terjadi bukan karena takdir Allah semata, tapi karena manusia berhenti berusaha memperbaiki dengan cara yang Allah ridai. Di sinilah letak ujian terbesar: apakah cinta kita masih berlandaskan iman, atau hanya ego yang berbaju cinta.

Terkadang, cinta memang bisa lelah. Tapi lelah bukan alasan untuk menyerah. Justru di titik lelah itulah cinta diuji, apakah ia masih bernapas karena Allah, atau mati karena dunia. Sebab cinta yang bertahan karena iman akan tumbuh kembali, meski diterpa badai yang paling dahsyat.

Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi

Banyak pasangan lupa bahwa cinta butuh dirawat, bukan hanya dinikmati. Ia seperti taman yang perlu disiram dengan doa, dirawat dengan maaf, dan dipelihara dengan kesetiaan. Jika dibiarkan kering oleh ego dan amarah, maka yang tersisa hanyalah debu kenangan. Dan dari situlah, perceraian menjadi pilihan yang tampak mudah, padahal penuh luka yang tak terlihat.

Allah tidak pernah menyukai perceraian, meski ia dihalalkan. Karena di balik perceraian, selalu ada hati yang patah, anak-anak yang kehilangan arah, dan doa yang berhenti di tengah jalan. Cinta yang dulu menjadi cahaya kini berubah menjadi bayangan yang menakutkan. Maka siapa pun yang berpikir bercerai adalah jalan cepat menuju bahagia, sebaiknya merenung kembali di hadapan ayat-ayat Allah.

Terkadang, solusi bukan berpisah, tapi memperbaiki niat dan arah. Mengembalikan cinta kepada Sang Pemilik Hati, yang mampu melembutkan yang keras dan menyatukan yang jauh. Karena cinta yang berporos pada Allah tidak akan mudah hancur oleh ujian dunia. Ia akan selalu menemukan cara untuk pulih, meski harus menangis dalam sujud yang panjang.

Namun jika perpisahan memang menjadi takdir, maka tempuhlah dengan hati yang bersih dan cara yang baik. Jangan biarkan dendam merusak kebaikan yang pernah ada. Karena cinta yang sejati, bahkan ketika berakhir, tetap mendoakan dalam diam. Sebab cinta yang benar tidak pernah berakhir dengan benci, melainkan dengan doa dan keikhlasan.

Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an

Perceraian bukanlah akhir dari segalanya, tapi juga bukan kemenangan. Ia adalah titik di mana kita belajar bahwa cinta tanpa iman akan mudah rapuh. Dari sana, semoga hati yang retak belajar untuk memperbaiki diri, bukan menyalahkan orang lain. Karena sesungguhnya, Allah mempertemukan bukan untuk melukai, tapi untuk mengajarkan arti mencintai dengan cara yang benar.

Cinta sejati tidak selalu berarti bersama selamanya di dunia. Kadang, Allah memisahkan agar keduanya belajar arti kehilangan dan penyerahan. Mungkin cinta itu tak lagi bernilai di mata manusia, tapi tetap berharga di sisi Allah jika dijaga dengan sabar dan keikhlasan. Dan pada akhirnya, cinta yang sejati bukan tentang siapa yang bertahan paling lama, tapi siapa yang paling tulus karena Allah.

Begitulah cinta dalam kehidupan manusia: bisa menjadi rahmat, bisa pula menjadi ujian. Perceraian mungkin tampak sebagai jalan cepat, tapi kebahagiaan sejati tidak pernah ditemukan lewat pelarian. Ia lahir dari hati yang kembali kepada Allah, dari cinta yang disucikan oleh doa, dan dari jiwa yang belajar memaafkan. Karena di akhir segalanya, cinta yang bernilai hanyalah cinta yang mengantarkan kita menuju ridha-Nya.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Tausiyah
Feature
MINA Preneur