Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Doa dan Air Mata Menyatu di Baitullah, Kisah Perjalanan Umrah Arsih Fathimah

Redaksi Editor : Rudi Hendrik - 26 detik yang lalu

26 detik yang lalu

0 Views

Ibu Arsih Fathimah bersama Suami saat melaksanakan umrah. (foto: Arsih Fathimah)

HARI keberangkatan itu akhirnya tiba. Hatiku berdebar-debar, bercampur antara bahagia, gugup, dan tak percaya bahwa sebentar lagi aku akan melihat Tanah Suci dengan mata kepala sendiri.

Di rumah, sejak beberapa pekan sebelumnya, kami sibuk bersiap. Putriku dengan penuh cinta membantu merapikan semua perlengkapan umrah kami, memastikan tak ada yang tertinggal.

Namun, di tengah kesibukan itu, satu kesalahan kecil terjadi yang tak disadari siapa pun. Di Bandara Soekarno-Hatta, kami melalui pemeriksaan keamanan dengan langkah yang mantap. Namun tiba-tiba, suara tegas seorang petugas memanggil suamiku.

“Pak, mohon berhenti sebentar. Kami perlu memeriksa tas kabin Anda.” Aku tertegun. Detik-detik berikutnya terasa begitu panjang. Petugas lalu mengangkat sebuah gunting kecil yang memang di persiapkan untuk digunakan saat tahallul.

Baca Juga: Ulama dan Pena: Jihad Ilmiah yang Mengubah Dunia

“Maaf, Pak. Ini tidak boleh dibawa di kabin,” ucapnya tegas.

Aku langsung menoleh ke suami, sementara suami menoleh padaku. Wajahnya tampak pasrah dan sedikit malu. “Ya Allah… itu gunting untuk tahallul,” bisikku pelan.

Suami tersenyum getir, mencoba menjelaskan. “Seharusnya gunting ini masuk koper bagasi, Pak. Tapi mungkin tadi saat merapikan, anak saya keliru meletakkannya.”

Petugas hanya menggeleng sambil berkata, “Mohon maaf, Pak. Tetap tidak bisa dibawa. Kami amankan, ya.”

Baca Juga: Salahuddin al-Ayyubi: Sang Penakluk yang Dikenang Lawan dan Kawan

Kesalahan sepele itu membuat suasana sedikit kacau, tapi aku mencoba menenangkan diri. “Tidak apa-apa,” kataku sambil menggenggam tangan suami. “Yang penting perjalanan kita tetap lancar.”

Dalam hati aku berdoa, Ya Allah, semoga ini hanya ujian kecil di awal perjalanan kami.

Perjalanan panjang di udara pun dimulai. Setelah beberapa jam, kami transit di Mumbai. Lagi-lagi ujian datang. Saat pemeriksaan ulang, petugas menemukan sepuluh butir baterai transmitter yang kami bawa untuk alat komunikasi rombongan.

“Ini terlalu banyak. Hanya boleh dua,” ujar petugas dengan nada tegas. Dengan berat hati, delapan butir baterai diambil.

Baca Juga: Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi di Balik Makam Megah India

Suamiku hanya menghela napas, lalu tersenyum tipis padaku. “Semoga cukup dengan dua ini,” katanya lirih. Aku mengangguk, mencoba tetap optimis, meski dalam hati cemas.

Harapan dan Air Mata di Tanah Suci

Sesampainya di Madinah, rasa haru langsung menyelimuti dada. Begitu kaki ini menjejak tanah penuh berkah itu, air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Ya Allah… aku benar-benar di sini,” bisikku sambil menengadah, mata basah oleh syukur.

Namun kebahagiaan itu hanya sebentar. Menjelang keberangkatan menuju Mekkah, tubuhku terasa lemas. Darah haid tiba-tiba datang, meski sejak di Indonesia aku sudah meminum obat penunda dengan harapan bisa beribadah dengan sempurna.

Baca Juga: 39,2 Ton Harapan dari Langit: Kisah Misi Satgas Garuda Merah Putih II untuk Gaza

Aku terduduk di sudut kamar hotel, tangisku pecah tanpa bisa ditahan. “Ya Allah… kenapa sekarang? Aku ingin menyempurnakan ibadah ini bersama yang lain,” rintihku.

Namun aku tahu, Allah selalu punya rencana terbaik. Aku tetap ikut mandi dan berniat ihram di Bir Ali.

Dalam hati aku berdoa dengan sepenuh jiwa, “Ya Allah, meski hamba belum bisa beribadah sempurna sekarang, izinkan hamba menyempurnakan umrah setelah Engkau sucikan diri ini.”

Di bus menuju Mekkah, aku hanya diam. Melihat teman-teman begitu semangat melantunkan talbiyah, air mataku menetes diam-diam. Aku tersenyum pada mereka, meski hatiku terasa perih.

Baca Juga: Dari Kijang Inova hingga Kopi yang Mengubah Hidup

Hidupku selama ini sederhana. Aku bahkan belum pernah makan di restoran, apalagi menginap di hotel berbintang.

Ketika menelepon anak-anakku, mereka bercanda sambil tertawa, “Umi nggak pernah makan di restoran, sekalinya makan langsung di Mekkah!”

Aku ikut tertawa, meski di balik itu hatiku bergetar oleh rasa syukur. “Alhamdulillah, ya Allah… Engkau izinkan hamba merasakan ini,” bisikku penuh haru.

Namun tinggal di hotel juga penuh cerita lucu. Aku tak tahu cara menyalakan shower, membuat teh, apalagi menggunakan kartu kamar.

Baca Juga: Santri AGA Nurul Bayan Kibarkan Merah Putih dan Palestina di Puncak Cakra

Pernah suatu kali aku lupa lantai kamar sendiri. Aku naik dan turun lift hampir satu jam, kebingungan mencari lantai yang benar.

Di kamar, teman-temanku mulai panik karena aku tak kunjung kembali. Ketika akhirnya aku muncul dengan napas terengah, mereka langsung memelukku. “Umi! Kami kira kamu kenapa-kenapa!” kata salah seorang sambil tertawa lega.

Aku tersenyum malu, tapi dalam hati bersyukur karena mereka begitu peduli. Kerinduan melihat Ka’bah semakin tak tertahankan.

Kisah Menegangkan di Masjidil Haram

Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa

Karena sedang haid, aku hanya bisa duduk di teras luar Masjidil Haram, tepat di depan pintu masuk, sementara teman-temanku masuk untuk shalat.

Sebelumnya, seorang teman yang bisa bahasa Arab sudah menitipkanku pada seorang petugas masjid. “Tolong jaga ibu ini sampai kami selesai shalat,” katanya.

Awalnya aku duduk tenang, memeluk sandal-sandal yang mereka titipkan. Namun, karena ada pembangunan, petugas meminta semua orang bergeser.

Aku pun mengikuti arahan mereka, tanpa sadar aku sudah tidak lagi di tempat awal. Saat teman-temanku kembali, mereka tak lagi menemukan aku.

Baca Juga: Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia dari Jantung Teluk Persia

Aku melihat beberapa orang satu travelku dari kejauhan, namun tak berani memanggil. Aku takut membuat keributan, jadi aku hanya diam, menahan rasa takut dan cemas.

“Aku janji akan tetap menunggu di sini,” bisikku pada diri sendiri. Aku tidak berani pulang ke hotel karena sandal-sandal teman masih bersamaku.

Namun waktu berjalan begitu lambat, orang-orang silih berganti, dan aku tetap duduk di sana, menggigil. “Ya Allah, lindungi aku. Jangan biarkan aku tersesat,” doaku berkali-kali.

Akhirnya, karena aku tak kunjung kembali, rombongan harus bergerak untuk city tour, meninggalkan aku yang masih hilang.

Baca Juga: [POPULER MINA] Perang Iran-Israel Memanas dan Masjid Al-Aqsa di Tutup

Tour leader yang tidak ikut city tour pun tetap di hotel dan jembali ke masjid untuk mencariku, juga seorang bapak yang ternyata ikut hilang.  Hari itu terasa panjang dan penuh kekhawatiran.

Keesokan harinya suamiku mengambil inisiatif. Ia menyewa mobil dan mengajakku bersama muthowwif untuk berkeliling mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adam dan Hawa. Jabal Nur, tempat turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ, Jabal Tsur, tempat Rasulullah bersembunyi saat hijrah, hingga ke Mina dan Muzdalifah, saksi bisu perjalanan haji.

Di Jabal Rahmah, aku berdiri memandang bukit itu dengan mata berkaca-kaca. “Ya Allah, satukan hati kami dalam ridha-Mu, seperti Engkau satukan Nabi Adam dan Hawa,” bisikku dengan suara bergetar.

Hari itu sungguh melelahkan. Panas gurun yang membakar kulit, perjalanan panjang, dan emosi yang naik turun membuat tubuhku hampir menyerah.

Baca Juga: Semarak Bazar Tabligh Akbar: Ragam Stand, Ragam Keberkahan

Namun aku tetap bertahan, karena malam itu adalah saat yang kutunggu seumur hidup.

Dengan didampingi suami, aku akhirnya melaksanakan umrah pertamaku. Ketika pertama kali melihat Ka’bah, kakiku gemetar hebat. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah.

“Ya Allah… inikah rumah-Mu yang selama ini hanya kulihat dari kejauhan?” Aku bersujud, tangisku pecah dalam rasa syukur yang tak terlukiskan.

Kami menyelesaikan thawaf dan sa’i dalam keadaan tubuh lelah namun hati begitu hidup. Di akhir, suami memelukku erat. “Alhamdulillah, kamu berhasil menyempurnakan umrah ini,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku menangis di dadanya. “Terima kasih sudah mendampingiku,” bisikku penuh cinta.

Keesokan harinya, tubuhku benar-benar tak berdaya. Mataku memerah dan bengkak karena terlalu banyak menangis malam itu.

Rasa panas menusuk membuatku harus mengompres mata dengan kain yang kubasahi air zamzam. Setiap tetes air yang menetes ke kulit terasa seperti menenangkan rasa panas itu.

Namun dalam hatiku, kebahagiaan jauh lebih besar daripada rasa sakit. “Ya Allah,” bisikku pelan, “biarlah mata ini panas, biarlah tubuh ini lelah… asal Engkau terima ibadahku.”

Meski aku harus membayar dam karena rambutku sempat rontok selama masa haid, itu tak sedikit pun mengurangi rasa syukurku.

Aku memandang Ka’bah dari kejauhan dan berdoa. “Ya Allah, jika Engkau izinkan, izinkan aku kembali lagi. Bukan hanya sebagai tamu-Mu, tapi sebagai hamba yang mempersembahkan ibadah yang lebih sempurna.”

Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik menuju Baitullah. Ini adalah perjalanan hatik tentang sabar, ikhlas, dan cinta yang hanya kupersembahkan untuk Allah semata.

Dan setiap kali aku mengingat air mata yang jatuh di hadapan Ka’bah malam itu, aku tahu…hati dan cintaku masih kutinggalkan di sana, meski ragaku sudah kembali ke tanah air. []

Mi’raj News Agency (MINA)

  • Arsih Fathimah adalah salah satu jamaah yang menunaikan umrah bersama KBIH Al-Fatah pada 16-24 Agustus 2025.

Rekomendasi untuk Anda