Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Dolar AS Jadi Alat Imperialisme Modern

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 27 detik yang lalu

27 detik yang lalu

0 Views

Saat dollar jadi alat imperalisme (foto: ig)

IMPERIALISME dahulu kala tampak dalam bentuk kolonialisme fisik, di mana negara-negara Eropa menjajah wilayah lain demi sumber daya. Namun di era modern, bentuk imperialisme telah bergeser ke bentuk yang lebih halus, yaitu dominasi ekonomi dan finansial. Salah satu instrumen utamanya adalah mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) yang dijadikan alat dominasi global.

Pasca Perang Dunia II, Konferensi Bretton Woods tahun 1944 menjadi titik balik dominasi dolar. Negara-negara peserta menyepakati sistem keuangan global baru, di mana mata uang dunia dipatok ke dolar, dan dolar dipatok pada emas (USD 35/oz). Sistem ini mengukuhkan posisi AS sebagai pusat keuangan dunia.

Pada 15 Agustus 1971, Presiden Richard Nixon menghentikan konvertibilitas dolar ke emas (The Nixon Shock). Ini membuat dolar menjadi mata uang fiat, yaitu tidak didukung oleh komoditas nyata, tapi hanya oleh kepercayaan. Walau sistem Bretton Woods runtuh, posisi dolar tidak goyah—justru menguat sebagai alat dominasi.

AS kemudian membuat kesepakatan dengan Arab Saudi dan negara OPEC lainnya pada 1970-an: minyak dunia hanya boleh diperdagangkan dalam dolar (petrodollar system). Ini membuat semua negara di dunia wajib menyimpan dolar untuk membeli minyak, memperkuat permintaan global terhadap USD.

Baca Juga: Amerika dan Imperialisme Modern, Dunia dalam Cengkeraman Dollar

Dengan sistem petrodollar, negara-negara berkembang harus mengekspor komoditasnya agar mendapatkan dolar untuk impor energi. Ketergantungan ini membuat negara-negara tersebut terjebak dalam lingkaran defisit dan utang luar negeri dalam dolar, memperkuat ketundukan ekonomi kepada AS.

Lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia sering memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang dalam bentuk dolar, namun dengan syarat kebijakan yang menguntungkan Barat: privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar. Dalam banyak kasus, pinjaman ini memperparah kemiskinan dan menguras sumber daya.

Menurut data Bank Dunia dan IMF (2023), lebih dari 60% utang luar negeri negara-negara berkembang tercatat dalam dolar. Ini berarti fluktuasi nilai dolar langsung memengaruhi ekonomi mereka. Kenaikan suku bunga The Fed dapat memicu krisis di negara-negara tersebut, seperti krisis utang Amerika Latin 1980-an dan krisis Asia 1997.

AS menggunakan dominasi dolar untuk menjatuhkan lawan politik. Contoh nyata: sanksi ekonomi terhadap Iran, Venezuela, dan Rusia, di mana akses ke sistem SWIFT dan cadangan dolar dibekukan. Ini menunjukkan bagaimana AS menjadikan dolar sebagai senjata politik internasional.

Baca Juga: Fakta Mengejutkan, Israel adalah Negara Ilegal Menurut Hukum Dunia

Karena USD adalah mata uang cadangan dunia, AS dapat mencetak dolar tanpa dampak langsung sebesar negara lain. Ini dikenal sebagai exorbitant privilege. AS bisa membiayai perang dan defisit besar-besaran, seperti Perang Irak dan Perang Afghanistan, dengan mencetak dolar yang “dipaksa” diterima dunia.

Ketika AS mencetak lebih banyak uang, inflasi akibat pencetakan tersebut sebagian “diekspor” ke negara lain. Negara-negara yang menyimpan dolar mengalami pelemahan daya beli, sementara AS mendapatkan barang dan jasa dari luar negeri dengan uang yang dicetaknya sendiri.

Krisis Global dan Peran Dolar

Krisis keuangan global seperti tahun 2008 menunjukkan bagaimana dominasi dolar membuat negara-negara lain terpapar dampak sistemik dari kebijakan ekonomi AS. Ketika bank besar AS gagal, seluruh sistem keuangan global ikut goyah karena keterikatan pada sistem dolar.

Baca Juga: Senjata Amerika dan Darah Muslim Palestina

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gerakan de-dollarization, di mana negara-negara seperti Cina, Rusia, Iran, dan Brasil mulai bertransaksi dengan mata uang lokal. Proyek BRICS bahkan sedang mengembangkan mata uang alternatif untuk menyaingi dominasi dolar.

Cina mulai menggencarkan penggunaan yuan dalam perdagangan bilateral, termasuk untuk impor minyak dari Arab Saudi. Rusia juga mengalihkan perdagangan energinya ke rubel dan yuan setelah sanksi AS. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran global untuk lepas dari dominasi dolar.

Mata uang kripto seperti Bitcoin juga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dolar. Teknologi blockchain menawarkan transparansi dan desentralisasi, namun adopsinya masih terbatas dan berisiko tinggi. Meski begitu, ia menandai awal pergeseran paradigma keuangan global.

Dengan kombinasi kekuatan politik, militer, dan ekonomi, AS telah menjadikan dolar sebagai alat imperialisme modern yang efektif. Negara-negara yang ingin bebas secara ekonomi harus mengembangkan sistem alternatif yang lebih adil dan berdaulat. Dominasi dolar bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kendali atas masa depan dunia.[]

Baca Juga: Negara Penjajah, Arogansi Israel atas Nama Keamanan

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda