ADA masa di mana dunia terasa begitu bising. Suara notifikasi dari gawai tak henti berdenting.
Timeline penuh dengan tawa, cerita, dan pencapaian orang lain. Namun di balik layar yang terang itu, ada hati yang perlahan meredup—hening, rapuh, dan merasa sendiri.
Kita hidup di zaman yang ramai, tapi kesepian menjadi penyakit paling sunyi. Kita dikelilingi oleh ribuan suara, tapi jarang benar-benar didengarkan. Kita tersenyum di depan kamera, tapi sering menangis di dalam jiwa. Dunia menawarkan begitu banyak cara untuk terlihat bahagia, namun begitu sedikit ruang untuk benar-benar tenang.
Kesepian bukan karena tak ada orang di sekitar. Kadang justru karena terlalu banyak, tapi tak satu pun benar-benar mengerti. Dalam keramaian yang memekakkan, kita mencari satu suara yang tulus menyapa hati. Dalam tumpukan ucapan “hai” dan “selamat pagi” di kolom komentar, kita rindu pada kalimat sederhana yang penuh makna: “Apa kabar hatimu hari ini?”
Banyak orang berlari, mengejar sesuatu yang mereka sendiri tak tahu. Mengejar validasi, perhatian, cinta, dan pengakuan, seolah itu bisa menambal kekosongan yang menganga. Padahal, semakin kita menggantungkan makna pada dunia yang fana, semakin hampa rasanya jiwa. Dunia bisa memberi panggung, tapi bukan ketenangan. Bisa memberi tepuk tangan, tapi tidak kedamaian.
Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an
Hati manusia diciptakan dengan ruang yang hanya bisa diisi oleh satu hal: hubungan yang tulus dengan Penciptanya. Itulah sebabnya, meski dunia menyanjungmu, jika hatimu jauh dari Allah, kau akan tetap merasa asing. Kau bisa memiliki ribuan pengikut, tapi jika hubunganmu dengan Tuhan renggang, kesepian itu takkan pernah pergi.
Dalam sunyi, Allah sebenarnya sedang memanggilmu untuk pulang. Pulang dari hiruk pikuk dunia menuju heningnya sujud. Pulang dari keramaian yang melelahkan menuju ketenangan dzikir. Pulang dari pencarian yang sia-sia menuju makna sejati kehidupan.
Seringkali, Allah membiarkan kita merasa sepi bukan karena Dia meninggalkan, tapi karena ingin kita menyadari: tidak ada cinta, perhatian, atau popularitas yang mampu mengisi hati seperti kehadiran-Nya. Kesepian adalah sinyal spiritual, panggilan lembut agar kita kembali mengingat siapa sumber kebahagiaan sejati.
Cobalah tenang sejenak. Matikan layar, tutup telinga dari hiruk pikuk, lalu dengarkan apa yang dikatakan hatimu. Ia mungkin lelah, ia mungkin haus. Beri ia seteguk ketenangan dengan menyebut nama Allah. Bacalah firman-Nya, karena setiap ayat bukan sekadar bacaan, melainkan pelukan lembut bagi jiwa yang kehilangan arah.
Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hati yang baik bukanlah hati yang selalu tertawa, tapi hati yang selalu terhubung dengan Allah.
Jangan salah paham dengan kesepian. Ia bukan musuh, tapi guru yang lembut. Ia mengajarkan kita bahwa tidak semua yang tampak ramai membawa ketenangan. Ia mengingatkan bahwa yang paling penting bukan berapa banyak orang mengenalmu, tetapi seberapa dalam kau mengenal dirimu sendiri dan Tuhanmu.
Mungkin saat ini kamu merasa sendirian. Tapi ketahuilah, Allah tidak pernah meninggalkanmu walau sekejap. Ia lebih dekat dari urat lehermu. Ia tahu setiap air mata yang jatuh tanpa suara, setiap doa yang hanya terucap di dalam dada. Ia tahu apa yang membuatmu resah, bahkan sebelum kau sempat mengatakannya.
Ketenangan sejati bukanlah ketika dunia berhenti riuh, melainkan ketika hati belajar hening di tengah hiruk pikuknya. Saat engkau mampu tersenyum bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena engkau yakin ada Allah yang mengatur segalanya dengan bijaksana.
Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir
Mulailah dari hal kecil. Shalat dengan khusyuk. Dzikir dengan rasa rindu. Baca Al-Qur’an seolah itu surat cinta terakhir dari Tuhan. Hadirkan Allah di setiap langkah. Maka perlahan, dunia yang riuh itu tak lagi mengganggu, karena hatimu telah menemukan iramanya sendiri—irama ketenangan yang bersumber dari keikhlasan.
Hidup tidak akan pernah sepenuhnya tenang. Akan selalu ada bising, tuntutan, dan ekspektasi yang membuatmu goyah. Tapi jika hatimu tertambat pada Allah, semua itu tak akan lagi menakutkan. Sebab engkau tahu, di balik setiap hiruk pikuk, ada ruang sunyi yang suci—tempatmu berdua dengan-Nya.
Maka, ketika dunia terasa terlalu riuh dan hati masih sepi, berhentilah sebentar. Jangan mencari keramaian lain untuk menutupi kekosongan itu. Carilah Dia, yang menciptakan hatimu. Karena hanya dengan mengingat-Nya, hati menjadi tenteram. Sebagaimana firman-Nya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dan di saat itulah, kesepian tak lagi menakutkan—karena di dalam sunyi, kau menemukan teman paling setia: Allah yang selalu hadir, bahkan ketika dunia berlalu begitu riuh.[]
Baca Juga: Kesaksian tentang Keperkasaan Rakyat Gaza
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!
















Mina Indonesia
Mina Arabic