Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Khalifah Lebih Peduli Tentang Burung Merpati-nya

kurnia - Sabtu, 1 Mei 2021 - 16:19 WIB

Sabtu, 1 Mei 2021 - 16:19 WIB

20 Views ㅤ

Foto: Facebook Adian Husaini

Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum DDII)

Dalam bukunya Bidayah wal-Nihayah, Imam Ibnu Katsir menggambarkan kondisi umat Islam yang parah sebelum Perang Salib (1095 M). Umat ​​Islam pada saat itu dicengkeram penyakit parah ashabiyah (fanatisme sektarian), kerusakan mental, dan gaya hidup mewah di kalangan elit penguasa.

Gubernur Abu Nashr Ahmad bin Marwan misalnya, menghabiskan anggaran sebesar 200.000 dinar untuk setiap acara hiburan yang ia selenggarakan. Artinya setara dengan 850 ribu gram emas. Hari ini, 1 gram emas seharga Rp 931 ribu. Jadi, biaya pesta hiburan semalam sekitar Rp 790 miliar. Tentunya dengan biaya yang sangat sangat mewah untuk ukuran seusia ini!

Masih ada cerita tentang kemewahan para penguasa di masa kekhalifahan Abbasiyah, menjelang invasi Tentara Salib dari Eropa. Pada 516 H, Menteri Sultan al-Mahmud terbunuh. Kejadian itu bertepatan dengan saat istrinya meninggalkan rumah ditemani 100 pelayan dan kendaraan berbahan emas. Padahal, di saat yang sama, banyak orang yang menderita kelaparan.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Ketika Tentara Salib membantai puluhan ribu Muslim di Yerusalem, beberapa ulama mencoba untuk membangkitkan semangat jihadis Muslim, tetapi gagal. Ada cerita yang mengatakan, beberapa pengungsi membawa tumpukan tulang manusia, rambut wanita, dan anak-anak, korban kebrutalan Tentara Salib, kepada para khalifah dan sultan. Tapi, ironisnya, Khalifah justru berkata: “Biarlah aku sibuk dengan hal-hal yang lebih penting. Burung merpati ku, Balqa ‘, telah hilang selama tiga hari dan aku belum melihatnya.”

Itulah sebagian kisah tentang kondisi parah penyakit cinta dunia sebelum invasi dan pembantaian para Tentara Salib, sebagaimana diriwayatkan oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Haakadzaa Dhahara Jiilu Shalahuddin. Saat itu, umat Islam sedang berada di puncak peradaban. Mereka jauh lebih unggul dalam sains dan teknologi daripada orang Kristen Eropa.

Tragedi pembantaian puluhan ribu umat Islam di Masjid Al-Aqsa terjadi pada tahun 1099. Mereka dibantai di dalam masjid. Darah mereka tumpah, membanjiri lantai masjid setinggi kaki mereka. Tentara Salib mengakui bahwa mereka melakukan kekejaman yang luar biasa pada masa itu. Ketika menyerukan Perang Salib, Paus Urban II menyebut Muslim sebagai monster tak bertuhan. (Lihat buku: Adian Husaini, Historical Review of the Jewish-Christian-Islamic Conflict, Jakarta: GIP, 2007).

Kisah kehidupan Khalifah dan para pejabatnya menjelang pembantaian kaum Muslimin di Perang Salib perlu kita renungkan secara mendalam. Artinya, umat Islam pernah mengalami masa sukses dalam sistem kekhalifahan. Tapi, umat Islam juga pernah mengalami kehancuran dalam sistem kekhalifahan.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Sistem kekhalifahan adalah sistem di mana kekuasaan berpusat pada khalifah; mirip dengan kekaisaran atau kerajaan. Sistem semacam ini akan cepat berkembang dan cepat rusak, tergantung kualitas kekhalifahannya. Penyebaran penyakit cinta duniawi di kalangan penguasa menyebar dengan cepat ke tengah-tengah masyarakat, termasuk menjangkiti para ulama.

Puncak kerusakan adalah ketika dunia sains – seperti madrasah atau universitas – juga terjangkit penyakit yang menjadi “akar dari segala kerusakan” (ra’su kulli khathiatin). Saat itu, kampus ternama Nizhamiyah juga terjangkit penyakit berbahaya ini. Ada dosen yang sibuk menjilati penguasa dan memfitnah pengikut aliran lain, demi mendapat kedudukan terhormat di mata penguasa. Bahkan akhirnya terjadi pembunuhan satu sama lain di kampus.

Di puncak popularitasnya, Imam al-Ghazali sebenarnya memilih keluar dari kampus, dan selama bertahun-tahun melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia Islam; mencermati dengan seksama kondisi umat Islam sebelum mereka dibantai oleh Tentara Salib dari Eropa. Pada 1096 al-Ghazali bertempat tinggal di Masjid Al-Aqsa. Hanya tiga tahun sebelum jatuhnya al-Aqsa ke Tentara Salib.

Saat itulah al-Ghazali dan ulama lainnya menemukan akar masalah kehancuran umat Islam, yaitu “hati manusia” itu sendiri. Nabi Muhammad saw memperingatkan: “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika baik, maka semua anggota tubuh juga baik. Namun, jika rusak, maka semua anggota tubuh rusak. Ketahuilah, itu adalah yang qalb. ” (HR Muslim).

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Betapa pun besar kekuatan dan keberhasilan pembangunan ekonomi, jika hati manusia hancur, maka tunggu kehancurannya. Kebencian, keserakahan, kesombongan, dan permusuhan, akan merajalela. Hati yang kotor dan hancur menimbulkan kerusakan moral dan akhirnya tragedi 1099 terjadi.

Belakangan ini di kalangan umat Islam Indonesia bermunculan berita tentang pembentukan partai baru yang dimotori oleh sejumlah tokoh Islam. Yang pernah muncul di media massa adalah Partai Gelora, Partai Masyumi, dan Partai Ummat. Parpol menambahkan sederet partai Islam atau partai berbasis Islam, seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN.

Pembentukan partai tentu saja bertujuan untuk merebut kekuasaan. Kekuatan adalah sarana penting untuk menegakkan kebenaran. Islam dan kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Kebenaran akan dengan mudah ditegakkan dengan bantuan kekuatan. Ini mudah dimengerti.

Itu sebabnya kami menghormati semua niat baik para pemimpin Muslim yang berjuang untuk mendirikan partai politik. Asal muasal niat, tujuan, dan jalan yang baik, insyaAllah berdirinya partai politik merupakan wujud ibadah kepada Allah SWT. Politik merupakan salah satu aspek atau bidang perjuangan yang juga perlu diupayakan, selain bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, media, kesehatan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Apapun bidang perjuangan yang kita pilih, maka yang terpenting adalah pijakan kesucian hati dan keikhlasan niat. Jika tujuan politik hanya untuk mencari kekuatan dunia atau sekedar “berprestasi” atau “bangga” di dunia, maka itu adalah kerugian, dan sulit mengharapkan kemenangan.

Tantangan perjuangan politik saat ini sangat berat. Menghadapi tantangan seperti itu, politisi muslim perlu meyakini bahwa kemenangan hanya diberikan oleh Allah, jika para pejuang politik hidup dan berjuang di jalan Allah dan selalu hidup dalam naungan ridha Allah SWT. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 30 April 2021). (AK/R4/RS3)

 

 

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Tausiyah
Indonesia