Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Palestina Dibantai, Di Mana Suara Negara-Negara Arab?

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 22 detik yang lalu

22 detik yang lalu

0 Views

Dimana suara Arab? (foto: ig)

PEMBANTAIAN brutal yang terus dilakukan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat telah mengguncang dunia. Namun, ironisnya, respon dari negara-negara Arab justru tampak lemah, bahkan nyaris tak terdengar secara konkret. Banyak yang bertanya, ke mana suara dan aksi nyata negara-negara Arab yang seharusnya menjadi pelindung bagi sesama Muslim dan bangsa Arab? Berikut ini alasan-alasan jadi penyebabnya.

Pertama, Fragmentasi Politik Dunia Arab. Negara-negara Arab tidak lagi memiliki kesatuan politik yang kuat seperti era Liga Arab awal berdiri. Perpecahan internal di antara mereka, seperti antara blok pro-Barat (misalnya UEA dan Arab Saudi) dan blok yang lebih independen (seperti Aljazair dan Suriah), melemahkan solidaritas terhadap Palestina. Kondisi ini membuat mereka sulit mengambil langkah kolektif terhadap kekejaman Israel.

Kedua, Normalisasi Hubungan dengan Israel. Beberapa negara Arab telah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel, seperti UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan melalui Abraham Accords yang dimediasi Amerika Serikat pada 2020. Normalisasi ini membuat mereka enggan mengecam atau mengambil sikap keras karena sudah menjalin kerja sama ekonomi, militer, bahkan teknologi dengan Israel.

Ketiga, Ketergantungan Ekonomi dan Militer pada Barat. Sebagian besar negara Arab sangat tergantung pada dukungan ekonomi dan militer dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Sikap keras terhadap Israel berisiko memutus hubungan strategis ini. Sebagai contoh, Arab Saudi masih menjadi salah satu pembeli senjata terbesar dari AS dan Inggris.

Baca Juga: Melanjutkan Amal Kebaikan di Bulan Syawal

Keempat, Kepentingan Nasional Lebih Diutamakan. Banyak negara Arab kini lebih mementingkan stabilitas internal dan pembangunan ekonomi daripada isu solidaritas umat. Misalnya, UEA lebih fokus pada sektor pariwisata dan teknologi, sedangkan Arab Saudi sedang menggencarkan proyek Vision 2030. Isu Palestina dianggap mengganggu fokus domestik mereka.

Kelima, Lemahnya Tekanan dari Rakyat. Beberapa negara Arab mengontrol ketat kebebasan bersuara dan gerakan rakyatnya, sehingga demonstrasi pro-Palestina tidak memiliki dampak politik yang besar. Otoritarianisme yang tinggi menyebabkan suara rakyat sering dibungkam, tidak bisa menekan pemerintah untuk mengambil langkah nyata membela Palestina.

Keenam, Politik Ketakutan terhadap Iran. Banyak negara Arab Teluk lebih memandang Iran sebagai ancaman utama daripada Israel. Mereka cenderung membentuk aliansi strategis dengan Israel secara diam-diam atau terbuka sebagai tandingan terhadap pengaruh Iran di wilayah seperti Suriah, Lebanon, dan Yaman. Ini menjadikan isu Palestina sebagai “beban geopolitik”.

Ketujuh, Keterlibatan dalam Konflik Internal. Negara-negara seperti Suriah, Libya, dan Yaman sedang menghadapi konflik internal yang berkepanjangan. Energi politik dan militer mereka tersedot untuk menjaga stabilitas dalam negeri, sehingga tidak bisa memberikan kontribusi nyata dalam perjuangan Palestina.

Baca Juga: Dolar, Drone, dan Darah: Ekspor Utama Amerika

Kedelapan, Kelemahan Liga Arab sebagai Institusi. Liga Arab tidak memiliki kekuatan eksekusi atau militer yang mampu memaksa anggotanya bersikap tegas terhadap Israel. Resolusi yang dihasilkan sering bersifat simbolik tanpa sanksi atau tindakan nyata, seperti pemutusan hubungan diplomatik atau embargo terhadap negara pendukung Israel.

Kesembilan, Korupsi dan Ketidakseriusan Elit Arab. Banyak elit politik di negara Arab terlibat korupsi dan lebih mementingkan kekuasaan serta bisnis pribadi. Mereka menggunakan isu Palestina sebatas retorika politik untuk menenangkan rakyat, tanpa niat sungguh-sungguh untuk berkonfrontasi dengan Israel secara diplomatik atau militer.

Kesepuluh, Pengaruh Media Barat terhadap Persepsi Publik Arab. Media internasional yang pro-Israel memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik, termasuk di negara-negara Arab yang konsumsi medianya tinggi. Ini membuat narasi tentang Palestina kabur atau diredam, bahkan kadang dipelintir sehingga tidak menimbulkan simpati yang cukup kuat.

Kesebelas, Strategi Pecah Belah oleh Israel dan Sekutunya. Israel dengan cerdik memainkan diplomasi untuk memecah kekuatan dunia Arab. Mereka membentuk aliansi militer dan intelijen dengan negara-negara tertentu untuk memata-matai gerakan pro-Palestina, bahkan menyuplai teknologi pengawasan kepada pemerintah Arab yang otoriter.

Baca Juga: Israel: Negara Iblis yang Berpura-pura Kudus

Keduabelas, Kehilangan Figur Pemimpin Pan-Arabisme. Sejak wafatnya tokoh-tokoh seperti Gamal Abdel Nasser dari Mesir, dunia Arab kehilangan figur pemersatu dan pejuang keras terhadap Zionisme. Pemimpin saat ini lebih pragmatis dan enggan mengambil risiko untuk membela Palestina secara terbuka dan aktif.

Ketigabelas, Diplomasi Internasional Gagal Didorong oleh Negara Arab. Negara-negara Arab memiliki perwakilan di PBB, OIC, dan organisasi internasional lainnya, tetapi mereka gagal menggunakan kekuatan diplomasi secara maksimal untuk menekan Israel. Bahkan, sering terjadi ketidakhadiran atau abstain dalam voting penting yang berkaitan dengan Palestina.

Keempatbelas, Ketidakmampuan Militer untuk Melawan Secara Terbuka. Meskipun beberapa negara Arab memiliki kekuatan militer besar, mereka tidak pernah bersatu untuk memberi tekanan militer terhadap Israel. Ketakutan akan balasan dari AS dan kekalahan strategis membuat opsi militer tidak pernah menjadi bagian nyata dari strategi dunia Arab untuk membela Palestina.

Pasifnya negara-negara Arab dalam merespons kekejaman Israel terhadap Palestina bukan tanpa sebab. Dari kepentingan politik dan ekonomi, tekanan Barat, hingga lemahnya solidaritas regional, semuanya menjadi faktor yang saling berkaitan. Selama kepentingan nasional dan pragmatisme politik lebih diutamakan dibandingkan keadilan dan kemanusiaan, rakyat Palestina akan terus berjuang sendirian dalam penderitaan yang panjang.[]

Baca Juga: Zionis: Tentara Cengeng di Balik Bom Fosfor

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda