RASA malu adalah pakaian jiwa yang menjaga seseorang dari jatuh ke dalam kehinaan. Ia adalah benteng terakhir iman yang melindungi manusia dari perilaku yang merusak hati dan menjauhkan dari rahmat Allah. Namun, betapa banyak dari kita yang mengaku beriman, mengaku cinta kepada Allah, tapi masih dengan mudah melanggar batasan-Nya tanpa sedikit pun merasa malu. Seolah-olah tidak ada yang melihat, seolah-olah Allah bukan lagi Dzat yang Maha Mengawasi.
Dahulu para sahabat merasa takut jika satu hari saja tidak khusyuk dalam shalat, mereka malu kepada Allah jika lalai dari ibadah. Tapi kini, tak jarang di antara kita merasa biasa saja ketika meninggalkan kewajiban. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, ada yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, bahkan dipamerkan di media sosial, tanpa merasa bersalah, apalagi malu. Lalu di mana letak iman itu?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari). Hadis ini bukanlah pembolehan untuk bebas berbuat apa saja, tapi sebuah sindiran tajam, bahwa ketika seseorang sudah kehilangan rasa malu, maka tidak ada lagi penghalang antara dirinya dan dosa. Ia akan bebas melakukan apa pun, karena hatinya sudah tidak peka terhadap dosa dan kehinaan.
Rasa malu adalah bagian dari iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Malu itu cabang dari iman.” (HR. Muslim). Maka ketika rasa malu hilang, iman pun mulai terkikis. Ketika seseorang tidak lagi merasa malu kepada Allah, maka tak ada lagi yang menahannya dari membuka aurat, berdusta, menipu, berpacaran, atau bahkan melakukan dosa besar lainnya. Semua itu dilakukan tanpa beban, karena hatinya sudah tumpul, tak lagi hidup oleh nur iman.
Baca Juga: Mahasiswa USK Ikuti Student Mobility di Universiti Malaysia Perlis
Wahai para pemuda dan pemudi, sadarlah. Allah menciptakan kita bukan untuk mengikuti hawa nafsu, tapi untuk taat kepada-Nya. Ketika kita mulai merasa bahwa maksiat itu biasa, ketika kita tak lagi takut dilihat orang saat melanggar perintah Allah, itu adalah tanda bahwa rasa malu sudah sirna. Padahal, seorang hamba seharusnya lebih malu kepada Allah daripada kepada manusia. Jika kita bisa menutupi aib dan menyembunyikan dosa karena takut dilihat orang lain, mengapa kita tidak merasa malu kepada Allah yang Maha Melihat segala sesuatu, bahkan yang tersembunyi dalam hati?
Sering kali seseorang berpikir, “Yang penting hatiku baik,” sembari terus melakukan maksiat. Tapi bagaimana mungkin hati dikatakan baik sementara tubuhnya terus digunakan untuk bermaksiat? Rasa malu yang seharusnya tumbuh dari hati yang hidup kini telah mati, digantikan oleh pembenaran-pembenaran semu yang hanya menipu diri sendiri.
Mari kita renungkan. Setiap dosa yang kita lakukan bukan hanya mencoreng kehormatan diri, tapi juga mengotori iman yang kita klaim ada dalam dada. Jika seorang pemuda yang gagah dan pemudi yang anggun tidak memiliki rasa malu, maka kecantikannya dan kegagahannya hanyalah topeng kosong yang menutupi kehinaan batin. Islam memuliakan pemuda dan pemudi yang menjaga kehormatan diri, yang malu berbuat dosa walau sendirian, yang air matanya jatuh bukan karena dunia, tapi karena takut kepada Allah.
Bangkitlah wahai jiwa yang lelah dalam kemaksiatan. Rasa malu bisa dikembalikan. Ia bukan sesuatu yang hilang selamanya, asalkan ada niat untuk bertaubat. Taubat adalah bukti bahwa kita masih memiliki harapan dan iman yang ingin kembali tumbuh. Jangan tunggu hati ini membatu. Jangan tunggu dosa menjadi kebiasaan yang membuat kita tidak lagi merasa salah.
Baca Juga: Perkuat Kerja Sama Internasional, USK Teken MoU dengan Universitas Palestina
Ingatlah bahwa Allah Maha Pengampun, tetapi jangan kita jadikan sifat Allah yang Maha Lembut itu sebagai alasan untuk terus menunda taubat. Jangan sampai kita menjadi hamba yang mengandalkan rahmat Allah tetapi terus menantang-Nya dengan dosa. Tidakkah kita malu jika kita meninggal dalam keadaan bermaksiat, padahal kita tahu bahwa Allah selalu mengawasi?
Hidup ini hanya sebentar. Dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah. Apa yang kita lakukan hari ini akan ditanya kelak di hadapan Allah. Maka sebelum datangnya kematian, sebelum hilangnya kesempatan, kembalikan rasa malu itu dalam diri kita. Malu kepada Allah karena sering lalai. Malu karena lebih sibuk mengejar dunia daripada mengejar ampunan. Malu karena lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan iman.
Mulailah dari hal kecil. Malu untuk membuka aurat, malu untuk berbicara kasar, malu untuk pacaran, malu untuk meninggalkan shalat. Jika kita jujur kepada diri sendiri, kita pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tapi sering kali kita pura-pura tidak tahu agar bisa tetap menikmati maksiat. Itu adalah kebohongan terbesar dalam hidup: membohongi diri sendiri dan berpura-pura baik di hadapan orang lain.
Jadikanlah rasa malu itu sebagai penjaga diri. Malulah ketika kita lebih mencintai dunia daripada akhirat. Malulah ketika kita tahu kebenaran tapi memilih kesesatan. Malulah ketika kita sering berkata cinta Allah, tapi jarang sekali meluangkan waktu untuk-Nya. Sebab di akhirat nanti, yang akan menyesal adalah mereka yang tidak memiliki rasa malu saat di dunia.
Baca Juga: Al-Quran dan Kekuatan Bahasa: Perspektif Psikolinguistik
Wahai saudaraku, kembalilah. Rasa malu adalah cahaya iman. Jangan biarkan ia padam. Jika kita ingin Allah memuliakan kita di dunia dan akhirat, maka mulailah dengan memuliakan diri sendiri dengan rasa malu. Sebab rasa malu bukan kelemahan, melainkan kemuliaan. Rasa malu bukan halangan untuk bahagia, tapi jalan menuju ridha-Nya.
Semoga Allah tanamkan kembali rasa malu dalam hati kita, agar kita terhindar dari dosa yang membawa celaka, dan digantikan dengan amal yang membawa bahagia. Aamiin.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Orang Tua Hanya Hadir Saat Ambil Rapor? Mari Ubah Pola Ini!