Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Rumah Tangga Retak Karena Ego yang Tak Terjaga

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 1 jam yang lalu

1 jam yang lalu

13 Views

Di awal pernikahan, semua terasa indah karena cinta sedang hangat membungkus segala perbedaan. Namun seiring waktu, ketika rutinitas menggantikan romantika, ego mulai mencari tempatnya. “Aku lebih benar.” “Aku lebih berkorban.” “Aku lebih banyak menahan.”(Foto: ig)

ADA banyak rumah tangga yang terlihat kokoh dari luar, tetapi di dalamnya sedang rapuh tanpa disadari. Bukan karena kekurangan harta, bukan pula karena tiadanya cinta. Namun karena satu hal yang pelan-pelan merusak: ego yang tak terjaga. Ego kecil yang dibiarkan tumbuh menjadi tembok tinggi di antara dua hati yang dulu pernah bersatu dalam cinta dan janji suci.

Ketika dua insan menikah, mereka membawa dua kepribadian, dua cara berpikir, dua latar belakang yang berbeda. Di awal pernikahan, semua terasa indah karena cinta sedang hangat membungkus segala perbedaan. Namun seiring waktu, ketika rutinitas menggantikan romantika, ego mulai mencari tempatnya.

“Aku lebih benar.” “Aku lebih berkorban.” “Aku lebih banyak menahan.” Kalimat-kalimat seperti itu menjadi bara kecil yang suatu hari bisa menyulut api besar.

Ego tak selalu terlihat kasar. Kadang ia muncul dalam bentuk diam yang dingin, sindiran halus, atau sikap menunggu pasangan untuk minta maaf duluan. Padahal, setiap kali kita menahan diri untuk tidak memaafkan, setiap kali kita menolak menundukkan hati, sebenarnya kita sedang menanam bibit kehancuran dalam rumah tangga sendiri. Rumah yang semula penuh doa dan tawa, perlahan berubah menjadi tempat yang hening namun tak menenangkan.

Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang

Suami merasa tidak dihargai, istri merasa tidak dipahami. Padahal, keduanya saling mencintai — hanya saja ego menutup jalan menuju pengertian. Ego membuat lidah kelu untuk berkata maaf, membuat hati keras untuk mengalah, dan membuat mata buta terhadap kebaikan pasangan. Akhirnya, setiap masalah kecil diperbesar, setiap kesalahan diingat, setiap luka disiram kembali.

Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau bersabda: “Tidaklah berkurang harta karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba dengan memaafkan kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim). Jika memaafkan saja membuat kita semakin mulia, apalagi memaafkan pasangan yang hidupnya kita bagi setiap hari?

Mengalah bukan berarti kalah — justru di situlah kemenangan sejati, ketika seseorang mampu menundukkan egonya demi menjaga keutuhan cinta yang diridhai Allah.

Ego yang tak dijaga sering kali berawal dari perasaan ingin dihargai, tapi disampaikan dengan cara yang salah. Suami ingin dihormati, tapi menuntut dengan nada tinggi. Istri ingin dimengerti, tapi menyampaikannya dengan amarah. Akhirnya, pesan tak tersampaikan, hanya luka yang bertambah. Padahal, kalau keduanya mau menurunkan nada bicara dan meninggikan sabar, bisa jadi semua akan selesai dengan pelukan dan doa bersama.

Baca Juga: Trump dan Kejujuran yang Menelanjangi Dosa-dosa AS

Rumah tangga bukanlah arena adu kuat, tapi tempat saling menguatkan. Bukan tempat membuktikan siapa paling benar, tapi siapa paling tulus menjaga. Sering kali, kehancuran rumah tangga bukan disebabkan oleh dosa besar, tapi oleh hal-hal kecil yang diulang terus tanpa perbaikan.

Nada bicara yang keras, pandangan merendahkan, atau diam panjang tanpa komunikasi — semua itu perlahan melukai, hingga akhirnya cinta pun kehilangan arah.

Maka, penting bagi setiap pasangan untuk belajar mengenali egonya. Saat ingin menang sendiri, tanyakan: “Apakah ini membuat Allah ridha?” Saat ingin marah, tanyakan: “Apakah ini menyelesaikan masalah atau menambah luka?” Saat ingin menuntut, tanyakan: “Apakah aku sudah menunaikan kewajibanku dengan sebaik-baiknya?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bisa menjadi rem agar ego tidak memimpin hati.

Cinta bukan tentang selalu bahagia, tapi tentang kesediaan untuk terus memperbaiki. Ada masa lelah, ada saat salah paham, tapi semua bisa terlewati jika keduanya punya niat untuk kembali menata, bukan meninggalkan. Sebab, rumah tangga bukan tentang siapa yang sempurna, melainkan tentang dua orang yang sama-sama berjuang memperbaiki diri di hadapan Allah.

Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina, Terus Bergerak untuk Al-Aqsa dan Palestina

Satu hal yang sering dilupakan: saat kita menjaga ego, kita kehilangan cinta. Tapi saat kita menjaga cinta, ego akan otomatis tunduk. Rumah tangga yang kokoh bukan karena tak pernah bertengkar, tapi karena selalu ada yang siap meminta maaf duluan, memeluk duluan, dan berdoa duluan. Di situlah rahasia rumah tangga yang bertahan lama — bukan pada siapa paling kuat, tapi pada siapa paling lembut.

Mari kita renungkan: berapa banyak rumah tangga yang hancur bukan karena orang ketiga, tapi karena suami-istri yang tak lagi berbicara dengan hati? Berapa banyak anak yang kehilangan senyum karena orang tuanya sibuk mempertahankan gengsi, bukan saling memahami? Ego memang terasa memuaskan sesaat, tapi meninggalkan penyesalan panjang.

Cobalah hari ini untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Lebih banyak memahami daripada menuntut. Lebih banyak menundukkan hati daripada meninggikan suara. Karena dalam rumah tangga, mengalah bukan berarti kalah — mengalah berarti memilih cinta. Dan cinta sejati bukan sekadar kata manis di awal pernikahan, melainkan keteguhan untuk terus saling memaafkan, meski hati sedang lelah.

Jangan biarkan ego meretakkan rumah yang dibangun dengan doa dan air mata. Rawatlah cinta dengan sabar, bicaralah dengan lembut, dan maafkanlah dengan lapang. Sebab pada akhirnya, yang membuat rumah tangga bertahan bukanlah seberapa besar harta, tapi seberapa besar kerendahan hati untuk menjaga apa yang telah Allah satukan. Sebab rumah tangga yang kuat bukan tanpa masalah, tapi tanpa ego yang dibiarkan berkuasa.[]

Baca Juga: Ketika Cinta Tak Lagi Bernilai: Perceraian Jadi Jalan Cepat

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Health
Khadijah
MINA Health
Tausiyah