Penghafal Al-Qur’an memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam banyak dalil Al-Qur’an dan hadis. Namun, kedudukan itu harus dijaga dengan akhlak mulia, amal yang sesuai dengan ajaran Islam, serta menjauhi sikap yang merendahkan kemuliaan Al-Qur’an.
Salah satu tantangan yang dihadapi penghafal Al-Qur’an adalah godaan syahwat dunia, termasuk syahwat perut (makan).
Syahwat perut merujuk pada keinginan berlebihan terhadap makanan, minuman, atau kenikmatan duniawi lainnya yang terkait dengan kebutuhan jasmani.
Meskipun makan adalah kebutuhan manusia, keinginan yang tidak terkendali bisa mengarahkan seseorang pada sikap berlebihan (israf) dan mengabaikan tanggung jawab spiritualnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-26] Setiap Kebaikan adalah Sedekah
Syahwat perut, yang meliputi keinginan berlebihan terhadap makanan dan minuman, menjadi salah satu ujian besar bagi siapa saja, termasuk para penghafal Al-Qur’an.
Ulama ahlul Qur’an mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap syahwat perut dapat mengganggu ketulusan, fokus, dan hubungan seorang hafizh dengan Allah. Berikut adalah tujuh bahaya syahwat perut bagi penghafal Al-Qur’an menurut pandangan ulama.
Pertama, Melemahkan Hafalan. Kekenyangan atau konsumsi makanan berlebihan dapat melemahkan daya ingat. Para ulama menyebutkan bahwa perut yang penuh membuat otak dan hati sulit menyerap ilmu, termasuk hafalan Al-Qur’an.
Imam Syafi’i pernah menasihati agar menjauhi kebiasaan makan berlebihan, karena itu melemahkan hafalan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Kedua, Mengurangi Khusyuk. Syahwat perut sering kali membuat seseorang cenderung sibuk memikirkan makanan, baik yang telah dikonsumsi maupun yang ingin didapatkan. Hal ini menyebabkan hati tidak fokus kepada Allah, mengganggu kekhusyukan saat menghafal dan beribadah.
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa perut yang kekenyangan menjadi penghalang seseorang untuk mencapai kelezatan ruhani dan khusyuk dalam ibadah.
Ketiga, Mendorong Kemalasan. Perut yang penuh menyebabkan tubuh menjadi lemas dan cenderung malas. Kondisi ini membuat penghafal Al-Qur’an sulit disiplin dalam jadwal muroja’ah dan menambah hafalan.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Ulama menasihati agar seorang hafizh menjaga pola makan sederhana untuk menjaga semangat.
Keempat, Meningkatkan Syahwat Lain. Syahwat perut sering kali menjadi pintu bagi syahwat lainnya, seperti syahwat pandangan, nafsu tidur berlebihan, atau bahkan syahwat seksual.
Semua ini dapat merusak kemuliaan seorang penghafal Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah seorang anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi)
Kelima, Menghilangkan Cahaya Hati. Penghafal Al-Qur’an membutuhkan hati yang bersih agar kalam Allah dapat meresap. Namun, makanan berlebihan, terutama yang syubhat atau haram, menjadi sebab utama hati menjadi keras dan gelap.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Maka celakalah orang-orang yang hatinya telah keras untuk mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar: 22)
Keenam, Menumbuhkan Keserakahan. Ketergantungan pada syahwat perut membuat seseorang menjadi materialistis dan mengurangi sifat qana’ah (rasa cukup).
Akibatnya, seorang hafizh bisa tergoda untuk mencari kesenangan duniawi, yang bertentangan dengan sifat wara’ (menjauhi hal yang tidak bermanfaat).
Ketujuh, Mengurangi Kedermawanan. Syahwat perut cenderung membuat seseorang egois, mementingkan diri sendiri, dan lupa berbagi.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Padahal, seorang penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menjadi teladan dalam akhlak mulia, termasuk kedermawanan.
Seorang muslim harus bisa mengendalikan syahwat perutnya. Allah Ta’ala berfirman agar seorang muslim bisa mengendalikan syahwat perut ini. Allah SWT berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ayat di atas memiliki pesan yang sangat penting terkait bagaimana seorang Muslim menjalani kehidupan dengan keseimbangan dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Berikut penjelasan detailnya.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Pertama, وَكُلُوا وَاشْرَبُوا (Makanlah dan Minumlah). Allah memerintahkan manusia untuk menikmati makanan dan minuman yang halal dan baik (tayyib).
Ayat ini menunjukkan bahwa: pertama, Islam tidak melarang kenikmatan duniawi. Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia dan merupakan nikmat dari Allah yang harus disyukuri.
Kedua, pentingnya menjaga kualitas makanan dan minuman. Islam memerintahkan hanya untuk mengonsumsi makanan yang halal (dibolehkan menurut syariat) dan tayyib (baik untuk kesehatan). Ketiga, sebagai ibadah.
Makan dan minum yang sesuai dengan syariat, dengan niat menjaga kesehatan untuk beribadah, dapat menjadi amal ibadah.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Kedua, وَلَا تُسْرِفُوا (Dan janganlah berlebihan). Larangan israf (berlebihan) mencakup beberapa aspek antara lain: dalam jumlah: makan atau minum secara berlebihan dapat membawa mudarat bagi kesehatan, seperti obesitas, penyakit pencernaan, atau lainnya.
Dalam jenis: mengonsumsi sesuatu yang berlebihan dalam variasi atau jenis makanan hingga berujung pada pemborosan, seperti membeli makanan mahal tanpa keperluan. Dalam gaya hidup: mewah atau berlebihan dalam cara makan dan minum menunjukkan sikap sombong atau kurang bersyukur terhadap nikmat Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus melampaui itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi).
Ketiga, إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan). Allah menegaskan bahwa perilaku berlebihan (israf) adalah sesuatu yang dibenci oleh-Nya. Beberapa alasan mengapa israf dilarang antara lain sebagai berikut.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Pertama, melawan prinsip kesederhanaan. Islam mengajarkan hidup sederhana sebagai wujud syukur kepada Allah. Berlebihan menunjukkan sikap tidak menghargai nikmat-Nya.
Kedua, mengurangi keberkahan. Sikap israf dapat menghilangkan keberkahan dari rezeki yang dikonsumsi, sebagaimana dijelaskan dalam hadis, “Barang siapa yang makan dengan kesederhanaan dan bersyukur, maka Allah akan memberkahi rezekinya.”
Ketiga, membawa dampak buruk. Dalam konteks global, israf dalam konsumsi menyebabkan pemborosan sumber daya dan ketimpangan sosial, di mana sebagian orang kelaparan karena sumber daya habis oleh yang berlebihan.
Beberapa Hikmah
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Dalam ayat di atas ada beberapa hikmah atau pesan yang bisa dipetik terutama bagi seorang penghafal al Qur’an dan umumnya bagi setiap muslim, antara lain sebagai berikut.
Pertama, menjaga keseimbangan. Ayat ini menanamkan konsep keseimbangan (wasathiyah) dalam kehidupan. Umat Islam diperintahkan untuk menikmati rezeki Allah tetapi tidak berlebihan.
Kedua, menjaga kesehatan. Berlebihan dalam makan dan minum bisa menyebabkan berbagai penyakit, sedangkan kesederhanaan membantu menjaga tubuh tetap sehat.
Ketiga, menghindari pemborosan. Islam mengajarkan untuk menggunakan nikmat Allah dengan bijak. Pemborosan bukan hanya dosa, tetapi juga merusak tatanan sosial dan lingkungan.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Keempat, menunjukkan rasa syukur. Kesederhanaan dalam konsumsi adalah bentuk syukur kepada Allah, yang menyadarkan kita bahwa semua rezeki berasal dari-Nya.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk menikmati nikmat Allah dengan cara yang halal, bermanfaat, dan tidak berlebihan. Allah tidak menyukai orang-orang yang boros atau berlebih-lebihan karena perilaku tersebut menunjukkan ketidaksyukuran, melanggar prinsip kesederhanaan, dan membawa dampak buruk bagi diri sendiri serta orang lain.
Dengan menjaga keseimbangan dalam makan dan minum, seorang Muslim tidak hanya menjaga kesehatannya tetapi juga menunjukkan kepatuhan kepada Allah dan syariat-Nya.
Adab Makan bagi Penghafal Al-Qur’an
Sebagai penghafal Al-Qur’an, penting untuk menerapkan adab makan yang sesuai dengan ajaran Islam. pertama, makan secukupnya dan hindari makan berlebihan yang dapat menyebabkan rasa malas.
Kedua, memilih makanan halal dan thayyib. Makanan halal dan thayyib adalah jalan untuk menjaga kesucian hati dan pikiran. Ketiga, menghindari pemborosan: makan sederhana menunjukkan rasa syukur kepada Allah. Keempat, berdoa sebelum dan sesudah makan: mengingat Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Itulah mengapa para ulama salaf sangat menjaga sekali dalam hal makanan ini. Termasuk Imam Syafi’i, sangat menjaga makanannya agar tidak berlebihan. Imam Syafi’i pernah berkata, “Kekenyangan membuat tubuh berat, hati keras, menghilangkan kecerdasan, membawa rasa kantuk, dan melemahkan ibadah.”
Dari uraian di atas ada beberapa cara atau solusi untuk menjaga diri dari syahwat perut ini antara lain dengan cara: menguatkan niat: ingatkan diri bahwa hafalan Al-Qur’an adalah amanah besar yang harus dijaga.
Bisa juga dengan berpuasa sunnah: Ini membantu mengendalikan nafsu makan sekaligus meningkatkan spiritualitas. Lalu, membiasakan pola makan sehat: Pilih makanan bergizi yang mendukung hafalan. Dan bersahabat dengan lingkungan yang baik: Teman yang salih akan mengingatkan pentingnya menjaga kesederhanaan.
Dengan menjaga kendali atas syahwat perut, penghafal Al-Qur’an tidak hanya akan mampu mempertahankan hafalannya, tetapi juga mendapatkan keberkahan dalam hidup dan menjadi teladan yang baik bagi umat. []
Mi’raj News Agency (MINA)