HARI ini, jumlah umat Islam di dunia mencapai lebih dari dua miliar jiwa. Di Indonesia sendiri, Islam menjadi agama mayoritas yang mendominasi hampir setiap sudut negeri. Azan berkumandang lima kali sehari, masjid menjamur di mana-mana, lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan Islam terus tumbuh. Namun di balik kebanggaan angka itu, ada luka yang menganga, ada realitas getir yang harus kita telan: kita mayoritas dalam jumlah, tapi minoritas dalam kualitas.
Betapa sering kita mendengar, melihat, bahkan mungkin merasakan sendiri, bahwa umat Islam hari ini lemah. Lemah dalam akhlak, lemah dalam keilmuan, lemah dalam semangat menuntut ilmu, lemah dalam kerja keras, lemah dalam ukhuwah, dan lemah dalam kemandirian ekonomi. Kita menjadi umat yang pasrah pada keadaan, menunduk saat diinjak, diam saat dilecehkan, dan sibuk bertikai sesama saudara sendiri.
Miris. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an hanya dibaca untuk mencari pahala, bukan dipahami untuk membentuk karakter. Ketika hadis Rasulullah SAW hanya dikutip untuk debat, bukan untuk diamalkan. Ketika shalat dikerjakan karena rutinitas, bukan karena cinta. Ketika jilbab dikenakan hanya karena mode, bukan karena taqwa. Betapa jauh kita telah melenceng dari apa yang dahulu dijaga dengan darah dan nyawa oleh para sahabat dan pejuang Islam.
Umat Islam kini bagai buih di lautan, banyak tapi ringan, berhamburan ke mana angin membawa. Kita tak lagi menjadi solusi dunia, justru menjadi bagian dari masalah. Kita kehilangan integritas, kalah dalam persaingan global, dan tak mampu menjadi pelopor dalam sains, teknologi, ataupun kemanusiaan. Padahal dahulu kita memimpin peradaban. Kita adalah pewaris kejayaan Baghdad, Andalusia, dan Istanbul. Tapi mengapa kini justru kita menjadi konsumen dari produk dan ideologi orang lain?
Baca Juga: Miris Fantasi Sedarah, Pelanggaran Agama, Sosial, dan Undang-Undang
Muhasabahlah wahai saudaraku. Sudahkah kita benar-benar hidup sebagai Muslim? Atau hanya sekadar beridentitas Islam tapi ruhnya kosong? Apakah kita sudah benar-benar jujur, adil, amanah, disiplin, dan rendah hati? Ataukah kita justru menjadi pribadi yang menipu, dengki, malas, sombong, dan penuh nafsu dunia?
Terkadang kita sibuk menyalahkan keadaan, menyalahkan pemerintah, menyalahkan sistem, menyalahkan barat. Tapi jarang sekali kita bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sudah aku lakukan untuk Islam? Sudahkah aku belajar sungguh-sungguh? Sudahkah aku bekerja dengan jujur? Sudahkah aku menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab? Sudahkah aku mendidik anakku dengan iman dan akhlak mulia? Sudahkah aku menjadi tetangga yang baik? Sudahkah aku mencintai sesamaku karena Allah?”
Jika semua umat Islam hanya menuntut perubahan tanpa mau mengubah diri sendiri, maka kehancuranlah yang akan datang. Sebab Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d:11). Jangan harap kemenangan Allah jika kita sendiri tak mau bergerak. Jangan impikan kejayaan jika hati kita masih dibelenggu kemalasan dan cinta dunia.
Bangkitlah, wahai umat Islam. Bukan karena kita ingin disegani, tapi karena kita punya amanah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Mari mulai dari diri kita sendiri. Perbaiki niat, kuatkan ibadah, tegakkan kejujuran, semangatkan ilmu, dan pererat persaudaraan. Mari kita jadi Muslim sejati, bukan hanya Muslim di KTP.
Baca Juga: Deklarasi Jakarta dan Luka Gaza
Jangan biarkan Islam hanya menjadi nama, hanya menjadi seragam, hanya menjadi identitas kosong. Jadikan Islam sebagai napas, sebagai cahaya, sebagai pedoman hidup yang menghidupkan. Jadikan diri kita pribadi yang mampu membuktikan bahwa Islam adalah solusi, bukan sekadar simbol.
Waktu kita tak banyak. Dunia terus berubah. Umat lain terus berlari. Jika kita tetap tertidur dalam kemalasan dan kejumudan, maka kita akan ditinggalkan sejarah. Dan kita hanya akan dikenang sebagai mayoritas yang tak berdaya—sebuah ironi yang menyayat hati.
Kini saatnya kita bangkit. Tidak untuk sombong, tapi untuk menunaikan amanah. Tidak untuk mencari nama, tapi untuk membela agama. Bangkitlah, wahai saudara-saudaraku. Karena Islam tak pernah kekurangan pengikut, tapi sangat kekurangan pejuang.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, Dua Cahaya dalam Satu Ayat