Jakarta, 6 Sya’ban 1435/4 Juni 2014 (MINA) –Direktur Lembaga Pengajian Pangan Obat-obatan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim mengatakan Kalau undang-undang jaminan produk halal (UU JPH) bersifat sukarela (voluntary), maka urgensi menjadi tidak kuat karena tidak memiliki daya paksa terhadap perusahaan.
Yang terjadi selama ini, produsen belum terlalu peduli dengan kehalalan produk, sementara di sisi lain, hak-hak konsumen muslim harus dilindungi, kata Lukmanul Hakim dalam diskusi mencari solusi dalam percepatan pembahasan Rancangan (RUU JPH), di pressroom DPR Gedung Nusantara III. Jakarta, Selasa (3/6).
Beberapa kasus di Indonesia membuktikan bahwa isu mengenai produk yang dicurigai mengandung bahan haram direspon sangat serius oleh konsumen muslim, tambahnya.
“Kalau peredaran produk yang tidak halal tersebut masih beredar luas di masyarakat tanpa keterangan apapun pada kemasannya, siapa yang harus bertanggung jawab,” kata Lukmanul Hakim.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Sifat RUU JPH, menurut Lukmanul Hakim adalah perlindungan, sehingga sifat UU JPH sebagai mandatory merupakan sebuah keniscayaan.
Berkaitan dengan perlindungan JPH, MUI berpandangan bahwa jika kewenangan sertifikasi halal ditangani pemerintah, maka dikhawatirkan isu halal bisa dimainkan sebagai senjata dalam persaingan bisnis.
Negara lain bisa menekan Indonesia untuk mengakui produk yang mereka impor ke Indonesia, meski MUI berpandangan bahwa produk tersebut tidak halal. “Kalau ini yang terjadi, konsumen muslim akan sangat dirugikan,” ujarnya.
Menurut lukmanul Hakim, peran pemerintah bisa dioptimalkan dalam hal sosialisasi, edukasi, pengawasan dan penindakan hukum. Selama ini beberapa peran sudah dijalankan oleh Badan POM. Namun, Badan POM tidak bisa bekerja sendirian, terlebih lagi di bidang edukasi dan penindakan hukum.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Mengenai lembaga sertifikasi halal, MUI berpendirian bahwa untuk menghindari kebingungan masyarakat dan perbedaan pandangan di kalangan ulama, maka hal tersebut sebaiknya tetap ditangani oleh MUI yang telah memiliki lembaga pemeriksa halal, yaitu LPPOM MUI dan lembaga fatwa, yakni Komisi Fatwa MUI. “Ini sudah ideal dan tidak menimbulkan kebingungan masyarakat.” (L/P012/P04)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?