Ketum Persis: Pilih Pemimpin Miliki Tanggung Jawab Baik dan Adil

Jakarta, MINA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP ) mengatakan memilih bukan hanya masalah politik, maka setiap Muslim memiliki tanggung jawab memilih pemimpin yang baik dan adil.

“Pemimpin suatu kaum belum tentu yang terbaik dari kaum tersebut, tetapi pasti dia yang terpilih dari kaum itu. Sebagaimana diisyaratkan dalam pidato Abu Bakar AS Siddiq ketika terpilih menjadi khalifah ‘Aku dipilih menjadi pemimpin kalian bukan berarti aku yang terbaik diantara kalian,” kata Ustaz Jeje dalam keterangan tertulis, di Jakarta, pada Ahad (29/10).

“Poin pentingnya, seorang pemimpin yang terpilih dalam sistem musyawarah dan demokratis adalah ia yang paling bisa diterima sebagian besar masyarakat pemilihnya, meskipun belum tentu yang terbaik,” katanya.

Baca Juga:  PHU Tertibkan Penempatan Akomodasi Jamaah Haji Indonesia

Karena itu, menjadi sangat penting bagaimana membangun kualitas pemilihnya, agar keterpilihan itu sebagai hasil kesadaran kolektif yang objektif dari para pemilih, yaitu masyarakat. Bukan hasil dukungan karena iming-iming, bujuk rayu, money politic, intimidasi ataupun tekanan-tekanan lainnya.

Oleh karena itu, lanjut Ustaz Jeje, konsen dari partisipasi politik umat bukan hanya memikirkan atau fokus kepada siapa figur pemimpin itu, tetapi sejauh mana masyarakat pemilih memahami visi, misi, dan program dari para kandidat pemimpin yang dipilihnya. Kemudian mampu terlibat aktif agar proses pemilihan pemimpin bangsa berjalan dengan cara yang jujur, adil, dan transparan.”

“Tidak kalah penting juga bagaimana pemimpin terpilih itu dikawal dan dampingi oleh para penasihat politik, ahli, dan para pakar yang baik serta memahami problematika dan aspirasi umat. Ini sesuai dengan peringatan hadits Nabi bahwa setiap pemimpin selalu didampingi dua macam penasihat setia; maka ada penasihat yang baik dan ada penasihat yang busuk,” ujarnya.

Baca Juga:  Mulai 2024, Kemendikbudristek Terapkan Penomoran Sertifikat Profesi Nasional

“Menolak politik identitas yang mendorong terjadinya fanatisme kelompok atas nama agama, ras, suku, budaya itu memang sangat penting, tetapi tidak kalah pentingnya juga mendorong dan mengawal proses pemilihan pemimpin politik yang jujur, adil dan trasparan,” Sambungnya.

Ketua MUI Pusat bidang Seni Budaya dan Peradaban ini menambahkan, calon pemimpin bangsa bagaimanapun pasti mencerminkan kader-kader pilihan daripada masyarakat itu sendiri.

Maka keragaman orientasi figur-figur pemimpin mencerminkan keragaman daripada aspirasi masyarakat itu sendiri, tetapi di atas perbedaan aspirasi itu harus dipersatukan oleh satu visi-misi yang disepakati bersama sebagai suatu umat dan satu bangsa.

“Visi misi berbangsa dan bernegara itu telah tertuangkan dalam Muqaddimah konstitusi sebagai sebuah cita-cita bersama” kata dia.

Baca Juga:  HNW: Sistem Pendidikan Pesantren Perlu Dijaga

Oleh sebab itu, ketika seorang pemimpin dari suatu masyarakat yang majemuk, plural, dan beragam telah terpilih melalui aspirasi mayarakat mayoritas, ia tidak berarti boleh mengabaikan apalagi meninggalkan aspirasi masyarakat yang tidak memilihnya.

“Maka dalam konteks pemilihan kepemimpinan di Indonesia, baik yang terpilih maupun yang tersisih pada akhirnya harus bersatu dalam membangun bangsa dan negara mewujudkan negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.

Tidak patut ada oposisi yang didasarkan karena kekalahan apalagi atas dendam politik yang mewariskan perpecahan kepada rakyat,” pungkasnya. (R/R4/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA_

Wartawan: kurnia

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.