Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pemutusan hubungan diplomatik dan blokade negara-negara kawasan Teluk yang dipimpin Arab Saudi terhadap tetangganya sendiri, Qatar, 5 Juni 2017, terjadi bertepatan dengan peringatan 50 tahun Perang Enam Hari Israel-Negara-Negara Arab 5 Juni 1967.
Krisis ini tentu membuka kesempatan bagi Israel untuk semakin menduduki Yerusalem Timur (Al-Quds), seluruh Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan. Dan ini akan menjadi pukulan telak kedua setelah yang pertama tahun 1967 itu.
Israel telah mengambil keuntungan berlipat ganda dari krisis sesama negara Arab itu. Sebab utamanya karena prioritas Tel Aviv adalah untuk mengakhiri perlawanan gerakan perlawan Hamas (Harakah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah) di Jalur Gaza.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman, menggambarkan krisis diplomatik anat negara Arab Teluk tersebut sebagai kesempatan besar.
Menurutnya, negara-negara Arab dan lainnya yang memberlakukan blokade terhadap Qatar berada pada posisi yang sama dengan Israel dalam perang melawan gerakan yang mereka tuduh sebagai “terorisme ekstremis Islam”.
Daftar Teroris
Selama bertahun-tahun, Israel dan tentu sekutunya Amerika Serikat telah mencoba menempatkan organisasi seperti Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Hamas, dalam daftar ‘kelompok teroris’.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Jebakan itu kini memakan korban. Dan korbannya tidak lain adalah tetangga-tetangga yang berbatasan langsung dengan Qatar, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan ditambah tetangga sebelahnya lagi Mesir. Mereka negara-negara Arab Teluk itu telah menuduh Qatar sebagai negara yang “mendukung terorisme.”
Di titik ini Israel menemukan sebuah kesempatan untuk memenuhi tujuannya sendiri.
Dampak lainnya, seperti dikatakan para ahli politik Timur tengah, bahwa sebagai akibat dari blokade politik dan ekonomi terhadap Qatar, diperkirakan akan menyebabkan penurunan bantuan yang selama ini cukup banyak dilakukan Qatar ke Jalur Gaza.
Sementara itu, pemimpin senior Hamas Moussa Abu Marzouk mengkonfirmasi bahwa posisinya dalam krisis Teluk di Qatar menyatakan bahwa “perbedaan Arab adalah urusan dalam negeri masing-masing.”
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Menurutnya, fokus Hamas akan tetap pada perjuangan Palestina dan Al-Quds, dan menuju rekonsiliasi persatuan nasional dan rakyat Palestina. Perlawanan akan tetap diarahkan semata-mata pada musuh, yaitu sang penjajah, Zionis Israel.
Sejauh ini Hamas sendiri secara khusus menolak dengan tegas bahwa kelompoknya dimasukkan ke dalam ‘daftar teroris’. Karena perjuangan Hamas sangat jelas, yaitu melakukan perlawanan Intifadhah terhadap penjajahan Zionis Israel di tanah Palestina, di tanah Al-Quds.
Hamas juga mengatakan, seruan Saudi yang ingin Qatar segera memutuskan hubungan dengan pihaknya, sangat disesalkan. Seruan Saudi tersebut sangat kontradiktif dengan tradisi yang ada bahwa Arab akan selalu mendukung Palestina.
Padahal tahun 2015 lalu, Sekjen Liga Arab Nabiel El-Araby dalam wawancaranya dengan koran El-Hayat menyatakan sikapnya untuk menolak memasukkan Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas sebagai kelompok teroris.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Menurut Nabiel El-Araby, Hamas adalah gerakan legal seratus persen gerakan perlawanan melawan penjajahan. Menurutnya Al-Qassam dan kelompok-kelompok perjuangan Palestina lainnya yang tengah berjuang melawan pendudukan Israel tidak bisa dikategorikan sebagai organisasi teroris. Perlawanan seperti itu adalah suatu hal yang legal seratus persen, dan tidak benar jika perjuangan perlawanan penjajahan dicampuradukkan dengan isu terorisme.
Efek Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam cuitan di medos sehari setelah pemutusan hubungan diplomatik Negara-Negara teluk atas Qatar, pada Selasa (6/6/2017) memosisikan diri membela Saudi. Isolasi terhadap negara itu yang dituduh mendanai kelompok-kelompok ekstrem bisa menjadi awal dari berakhirnya dampak buruk terorisme.
Padahal, Menlu Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, sudah menyampaikan pesan kepada Presiden Trump saat melawat ke Timur Tengah dua pekan sebelum krisis itu. Bahwa Qatar siap duduk bersama dan membahas tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada mereka.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Pada bagian lain, Penasihat Senior Kontraterorisme Kemenlu Qatar Mutlaq Al-Qahtani mengatakan bahwa negaranya memang pernah menerima perwakilan kelompok Taliban. Namun itu juga atas permintaan Amerika Serikat dan Arab Saudi serta negara-negara teluk lainnya, kata Mutlaq kepada Al Jazeera pada Ahad (11/6/2017).
Hamas pun mengecam keras Trump, dan menyebutnya sebagai upaya mengadu domba dan memecah umat Islam. Pesan yang dibawa Trump ke kawasan Arab adalah pesan buruk. Mencampur adukkan maksud konsep dan nilai. Pesan untuk membelah barisan umat Islam, pernyataan resmi Hamas pada Ahad (21/5/2017) malam itu juga.
Menurut Hamas, Trump malah membiarkan kejahatan penjajah Zionis Israel yang melakukan pembunuhan anak-anak, wanita dan menghancurkan rumah di atas pemiliknya.
Keputusn bersama negara-negara Teluk yang memasukkan Hamas ke dalam daftar kelompok ‘teroris’ itu sendiri sejatinya berlawanan dengan keputusan Pengadilan Uni Eropa pada 2014, yang memutuskan untuk menghapus nama kelompok Hamas dari daftar terorisme Uni Eropa, yang diajukan tahun 2001. Walaupun aset kelompok ini untuk sementara masih dibekukan.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Hal itu karena tuduhan bukan didasarkan pada fakta hukum, tapi lebih pada murni didasarkan pada kesimpulan yang diambil dari berbagai pemberitaan media dan internet.
Lebih dari itu, PBB sendiri telah menolak daftar teroris yang diterbitkan oleh Arab Saudi sehubungan pemboikotan terhadap Qatar yang dituding mendukung tokoh dan kelompok terorisme.
Dialog Terbuka
Qatar memang berbeda dengan Yaman atau Suriah. Qatar segera setelah aksi boikot itu melakukan persiapan tindakan hukum terhadap sejumlah negara Teluk yang telah mengeluarkan blokade terhadap negaranya. Adalah Kepala Komite Hak Asasi Manusia Nasional Qatar (NHRC) Ali bin Smaikh Al Marri mengatakan bahwa organisasinya akan menyewa sebuah firma hukum internasional untuk membuat laporan ke badan internasional atas dampak blokade terhadap warganya.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
NHRC menyebutnya sebagai “hukuman kolektif dan kejahatan internasional”.
Tapi di balik semua itu, Qatar sesungguhnya lebih menginginkan dan mengedepankan dialog secara terbuka dan jujur demi kemaslahatan kawasan bersama.
Seruan ini dikuatkan oleh beberapa negara sahabat seperti Turki, Kuwait, Oman, Rusia, Uni Afrika, Para Ulama Dunia, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Indonesia melalui Kemenlu telah memberikan pernyataan pada Selasa (6/62017) tentang penyelesaikan dalam forum dialog.
Indonesia menekankan semua negara untuk menghormati prinsip hubungan internasional, seperti saling menghormati kedaulatan masing masing negara dan tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain. Serta mengharapkan semua pihak dapat menahan diri dan agar lebih mengedepankan dialog dan rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah.
Nasihat
Ada beberapa nasihat yang perlu dikemukakan Penulis dalam menghadapi krisis Teluk tersebut. Di antaranya:
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
- Kedepankan persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai satu jamaah terbesar umat abad ini kal jasadil wahid, dan hindari semaksimal mungkin perpecahbelahan. (QS Ali Imran: 103, 105).
- Jika ada perselisihan opini dan pertikaian pandangan, seyogyanya kembalikan pada standar terbaik kepemimpinan Al-Quran dan As-Sunnah. (QS An-Nisa: 59).
- Tidak mengikuti jalan-jalan lain selain itu, yang hanya akan semakin mencerai-beraikan umat Islam. (QS Al-An’am: 153).
- Menyelesaikan problematika dengan jalan rahmat, kasih sayang, nilai-nilai perdamaian dan toleransi dalam bingkai musyawarah internal sesama kaum Muslimin. (QS Ali Imran: 159, Asy-Syura: 38, An-Nisa’: 114).
- Menghindari sejauh mungkin berbantahan, permusuhan apalagi peperangan sesama Muslim, yang itu hanya akan menghilangkan kekuatan kaum Muslimin itu sendiri. (QS Al-Anfal: 46).
- Jika ada sesama saudara Muslim, sesama negeri Muslim bertikai, berselisih sampai bermusuhan, maka sebaiknya berdamailah dan takut hanya kepada Allah. (QS Al-Hujurat: 10).
Apalagi kalau sampai peperangan, membunuh sesama saudaranya sama seperti membunuh seluruh manusia. (QS Al-Maidah: 32).
- Mari hindari saling dengki, saling hujat, dan saling membelakangi. Lebih-lebih, jangan sampai memutus hubungan silaturrahim dan jangan memboikot sesama Muslim. Karena semua itu hanyalah bisikan syaitan dan perbuatan dosa.
Semoga Allah mempersatukan kembali jiwa-jiwa kaum Muslimin dan negeri-negeri Muslim, wabil khusus di bulan suci Ramadhan ini, semata demi untuk menggapai ridha dan ampunan-Nya.
Berkah dan doa di penghujung Ramadhan semoga menjadi pemercepat penyelesaian krisis tersebut dalam ridha Allah SWT. Aamiin. (RS2/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)