4) Makan Sahur
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَة
Artinya : “Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah”. (H.R. Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Artinya : “Perbedaan antara shaum kita dengan shaumnya Ahli Kitab ialah makan sahur”.(H.R. Muslim dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu).
اِسْتَعِينُوا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النَّهَارِ وَبِالْقَيْلُولَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ
Artinya : “Jadikanlah oleh kalian makan sahur sebagai sarana untuk mengerjakan shaum di siang hari, dan jadikanlah tidur sebentar di tengah hari untuk mengerjakan shalat lail”. (H.R. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu).
5) Menyegerakan Berbuka
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya : “Manusia masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka shaum”. (H.R. Muslim dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
Artinya : ”Masih tetap berjaya agama (Islam) selagi umatnya menyegerakan berbuka, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu mengakhirkannya”. (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
6) Menunaikan Zakat Fitrah dan Zakat Maal
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah / 9 : 103).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah / 98 : 5).
بُنِيَ الاِْسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya : “Islam dibangun atas lima, bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, dan mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan hajji, dan shaum Ramadhan”. (H.R. Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memfardhukan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum muslimin”. (H.R. Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Keterangan : Zakat fithrah untuk tiap-tiap jiwa 1 sha’ = 2,305 kg (dibulatkan 2,5 kg).
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Artinya : “Rasulullah telah memfardhukan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang shaum dari omongan yang tidak ada manfaatnya dan dari omongan yang kotor, serta untuk memberi makanan pada orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat (‘idul fithri) maka baginya zakat yang diterima, dan barangsiapa yang mengeluarkannya sesudah shalat (‘idul fithri) maka baginya hanya shadaqah dari shadaqah biasa”. (H.R. Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (Q.S. At-Taubah / 9 : 34).
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
“Barangsiapa dikarunia oleh Allah kekayaan harta tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan, dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk leher orang tersebut, sambil berseru : Akulah kekayaanmu! Akulah kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu!” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
7) I’tikaf pada Sepuluh Akhir Ramadhan :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beri’tikaf pada sepuluh yang akhir dari Ramadhan”. (H.R. Bukhari dai Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila masuk sepuluh (akhir Ramadhan), lebih siaga bersungguh-sungguh dan menghidupkan malamnya, dan beliau bangunkan keluarganya.” (H.R. Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha).
8) Umrah pada Bulan Ramadhan
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Artinya : “Maka sesungguhnya umrah pada bulan Ramadhan sama nilainya dengan haji atau haji bersamaku”. (H.R. Bukhari).
9) Jihad Fi Sabilillah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya tetap berjihad bahkan terus meningkatkan jihadnya di dalam bulan suci Ramadhan. Terbukti, beliau dan para sahabatnya melaksanakan Ghazwah (Perang) Badar pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijrah, demikian pula Ghazwah Fathu Makkah berlangsung pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah.
Selanjutnya pada ayat disebutkan :
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ
“bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhususkan bulan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al-Quran. Disebutkan pula di dalam hadits bahwa pada bulan Ramadhan pula kitab-kitab lainnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan, Kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadhan, dan Kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Dalam riwayat Ibnu Murdawaih disebutkan, Kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadhan.
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, Kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Quran, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul ‘Izzah ke langit dunia. Hal ini terjadi pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam Lailatul Qadar.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.
(Q.S. Al-Qadr / 97 : 1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. (Q.S. Ad-Dukhan / 44 : 3).
Setelah itu, Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara bertahap sesuai kejadian-kejadiannya.
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dalam bulan Ramadhan, yaitu pada malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus. Kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, melainkan Allah mendatangkan jawabannya.
3. Lailatul Qadar
Secara harfiyah, Lailatul Qadar terdiri dari dua kata, yakni Lail atau Lailah yang berarti malam hari dan Qadar yang berarti ukuran atau ketetapan. Secara maknawi, Lailatul Qadar dapat dimaknai sebagai “malam yang agung, mulia, dan penuh barakah, yang lebih baik daripada seribut bulan, atau disebut juga dengan malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Diturunkannya Al-Qur’an pada malam itu juga dipahami sebagai penetapan langkah hidup manusia yang harus dilalui dengan panduan Al-Quran tersebut.
Lailatul Qadar itu lebih utama daripada seribu bulan (atau sekitar 83,33 tahun). Pada malam itu, para malaikat turun ke bumi dengan izin-Nya, sehingga sepanjang malam itu tersebar keselamatan bagi penduduk bumi hingga terbit fajar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ () وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ () لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْر ٍ() تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ () سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ()
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (3) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (4) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (5). (Q.S. Al-Qadar / 97 : 1-5).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِين
Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. Q.S. Ad-Dukhan / 44 : 3).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُومٌ
Artinya : “Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) benar-benar telah datang kepadamu, padanya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa yang terhalang (dari) nya, maka sungguh terhalang (dari) kebaikan semuanya. Dan tidak terhalang (dari) kebaikan, kecuali orang-orang yang bernasib buruk”. (H.R.. Ibnu Majah dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).
4. Asbabun Nuzul Surat Al-Qadar
Disebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan kisah kepada para sahabatnya tentang mujahid dari Bani Israil yang bernama Sam’un. Selama 1.000 bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih, Sam’un tidak pernah meletakkan senjata atau beristirahat dari perang Fii Sabilillah. Ia hanya berperang dan berperang demi menegakkan agama Allah tanpa mengenal rasa lelah.
Para sahabat ketika mendengar cerita tersebut, mereka merasa sedih, kecil hati dan merasa iri dengan amal ibadah dan jihad Sam’un. Mereka ingin melakukan amal ibadah dan jihad yang sama seperti Sam’un. Akan tetapi bagaimanakah mungkin untuk melakukannya? Sedangkan umur kehidupan para sahabat umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jarang yang mencapai usia 83 tahun. Pada umumnya hanya mencapai kisaran usia maksimal enam puluh sampai tujuh puluh tahun. Jarang yang lebih daripada usia tersebut.
Ketika para sahabat sedang merenungkan tentang hal itu, maka turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membawa wahyu dan kabar gembira kepada dirinya dan para sahabat. Berkata Malaikat Jibril Alaihis Salam, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepadamu Ya Rasulullah Surat Al-Qadar, yang di dalamnya terdapat kabar gembira untukmu dan ummatmu, yakni Allah berkenan menurunkan Lailatul Qadr, di mana orang yang beramal pada Lailatul Qadar akan mendapatkan pahala lebih baik dan lebih besar daridari pada seribu bulan”.
“Maka amal ibadah yang dikerjakan umatmu pada Lailatul Qadar akan lebih baik daripada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang berjihad selama delapan puluh tahun”. Lalu Malaikat jibril membacakan surat Al-Qadar.
Dengan turunnya wahyu tersebut Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya merasa senang dan gembira. Maka beliau memerintahkan kepada para sahabatnya untuk berupaya menggapainya dengan sungguh-sungguh.
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menyebutkan secara pasti kapan tanggal jatuhnya Lailatul Qadar tersebut, dengan maksud agar kita lebih bersungguh-sungguh mencarinya di sepanjang malam-malam ramadhan, wabil khusus lagi pada malam-malam sepuluh yang akhir. Akan lebih baik lagi tentunya kita beruaha mencarinya di sepanjang malam-malam Ramadhan, sehingga kemungkinan besar mendapatkannya akan lebih kuat lagi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا فَابْتَغُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَابْتَغُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ
Artinya : “Dan sungguh aku telah diperlihatkan kepada Lailatul Qadar ini, kemudian dijadikannya aku lupa. Maka carilah malam qadar itu pada sepuluh hari akhir dan carilah pada setiap malam ganjil”. (HR. Al Bukhari dari Abu Said Al Khudri, No: 1789, hadits ini shahih)
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
Artinya : “Hendaklah kalian mencarinya pada sepuluh yang akhir yakni Lailatul Qadar. Jika seseorang di antara kalian lemah atau tidak mampu, maka janganlah ia melalaikan tujuh yang tersisa”. (H.R.. Muslim dari Ibnu Umar).
5. Doa Lailatul Qadar
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو قَالَ تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya : Dari ‘Aisyah, bahwasanya dia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda jika saya mendapatkan Lailatul Qadar? Apakah yang mesti saya baca?” Jawab beliau, “Bacalah (doa), “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku”. (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha)
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَيُوَافِقُهَا
Artinya : “Barangsiapa yang menghidupkan lailatul Qadar, maka ia mendapatkannya“. (HR. Muslim).
Lanjutan ayat 185 surat Al-Baqarah, disebutkan :
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Quran yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Quran, membenarkannya, dan mengikutinya.
Ibnu Katsir menjelaskan, “Bayyinat” artinya petunjuk-petunjuk dan hujjah-hujjah yang jelas dan terang bagi orang-orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang haq dan yang bathil serta yang halal dan haram.
Pada Surat Ali Imran ayat 100-101 Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ ( ) وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ( )
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Ali Imran / 3 : 100-101).
Dengan senantiasa bertadarus Al-Quran, mengaji, memahami maknanya, dan mengamalkan isinya kita akan merasakan makna pentingnya petuntuk Allah dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran adalah sebenar-benar petuntuk. Dengan petunjuk Al-Quran itulah kita dapat menjalani lekuk-liku kehidupan dengan selamat di dunia hingga ke akhirat kelak. Dengan petunjuk Al-Quran itu pula kita tidak akan tersesat oleh berbagai ajakan, aliran, dan rayuan sesat dan menyesatkan yang dipelopori oleh Yahudi. Yahudi memang benar-benar tidak ridha terhadap umat Islam sebelum umat Islam mengikuti millah, cara, pola perilaku, agama mereka.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menandaskan di dalam firman-Nya :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah / 2 : 120).
6. Ru’yatul Hilal
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk shaum Ramadhan.
Al-Maraghi menjelaskan, siapapun menyaksikan masuknya bulan, dan kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu) atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia shaum. Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga sekarang.
Pelaksanaannya secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun telah bergeser dari sietem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian shaum hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Perbedaan Ru’yatul Hilal
Tentang perbedaan menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya terutama di Indonesia selama ini dianggap tidak menimbulkan masalah yang terlalu berarti di kalangan masyarakat. Karena umat Islam di Indonesia selama ini sudah terbiasa dengan penentuan hari raya tersebut.
Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk menentukan tanggal Ramadhan dan hari raya. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun kalau umat Islam kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, insya Allah perbedaan itu tidak terjadi.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian shaum hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Itu perintah kepada seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia. Wewenang Allah dengan segala kemahakuasaannya menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia, di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini. Sesuai kehendak-Nya.
Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia). Ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Di tengah situasi global yang semakin mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan.
Selanjutnya, ayat menyebutkan :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
”dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”
Ibnu Katsir menjelaskan, barangsiapa yang sedang sakit atau ia dalam perjalanan, hingga shaum itu memberatkannya atau membahayakannya, maka dia boleh berbuka. Apabila ia berbuka, maka ia harus mengganti shaum itu sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya”
Dengan kata lain, menurut penjelasan Ibnu Katsir, sesungguhnya diberikannya keringanan ini hanya dalam keadaan sedang sakit atau dalam perjalanan. Sedangkan bagi orang yang mukim lagi sehat shaum merupakan suatu keharusan. Hal ini tiada lain hanyalah kemudahan, keringanan, dan rahmat dari Allah Subhanau Wa Ta’ala.
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dengan ayat ini orang-orang beriman agar mengingat Allah Subnahanu Wa Ta’ala saat selesai mengerjakan ibadah. Diharapkan dengan demikian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya.
Kita wajib bersyukur kepada keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah mengajarkan kita semua dengan hukum-hukum-Nya tanpa kesulitan.
Buktinya, jika kita sedang dalam keadaan udzur, seperti dalam perjalanan atau sakit, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kelonggaran sesuai dengan kondisi kita. Misalnya shalat dengan qashar (memendekkan) dari empat rakaat menjai dua rakaat saja pada shalat Dzuhur. Juga shalat sambil duduk manakala tidak bisa dengan berdiri karena sakit. Karenanya, sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya. Hingga dengan melaksanakan perintah-Nya itu, iman kita semakin sempurna dan kita akan mendapatkan ridha dan ampunan-Nya. Aamiin. Yaa Robbal ’aalamiin.
Penulis, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency), Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Mi’raj News Agency (MINA)