Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat
Setelah bulan Rajab (Isra’ Mi’raj), silanjutkan dengan bulan Sya’ban, kemdian Ramadhan. Sya’ban berasal dari Bahasa Arab Syi’ab, yang artinya jalan di atas gunung. Maknanya adalah memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan demi mencapai puncak kebaikan.
Ada pula yang menamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/berpencaran).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Keutamaan Bulan Sya’ban
Bulan Sya’ban memiliki beberapa keutamaan, di antaranya bulan tersebut adalah persiapan menjelang puasa Ramadhan. Di antara amalan yang utama di bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah.
Hal ini antara lain seperti disebutkan dari Usamah bin Zaid, berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Artinya: “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yaitu bulan di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (H.R. An Nasa’i. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Ibnu Rajab menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.”
Pada hadits lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, mengatakan,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
Artinya: “Aku pun tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits lainnya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha juga mengatakan,
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Artinya: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa riwayat-riwayat tersebut bisa dikompromikan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) adalah kebanyakan. Dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dapat dikatakan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.
Karena itu, Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim menyebutkan, para ulama mengatakan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.
Di antara rahasia atau hikmah mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Secara fisik juga dianggap sebagai latihan atau dalam olahraga disebut dengan pemanasan sebelum pertandingan. Juga mengingatkan kepada mereka yang memiliki hutang puasa Ramadhan tahun lalu, agar membayar puasanya pada bulan Sya’ban. Seperti isteri Nabi, ‘Aisyah, pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan sebelumnya, dan membayarnya pada bulan Sya’ban, saat suaminya juga memperbanyak puasa di dalamnya.
Di dalam kitab Lathoif Al-Ma’arif disebutkan, memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban adalah sebagai latihan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan.
Bulan Manusia Lalai
Bulan Sya’ban dikatakan sebagai bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (bulan Isra Mi’’raj) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa. Seperti disebutkan di dalam hadits :
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Artinya: “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (H.R. An-Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)
Adapun amaliyah lainnya yang mengkhususkan waktu, hari atau malam tertentu untuk melakukan ibadah, diperselisihkan kedudukan haditsnya.
Khutbah Akhir Sya’ban
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Adalah Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam pada akhir bulan Sya’ban berkhutbah di hadapan para Shahabat untuk menerangkan keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadan.
Ulama menyebutkan, hadits berikut riwayatnya dha’if (lemah), namun diriwayatkan lebih dari 25 riwayat, dan pada makna-makna kalimatnya didukung oleh hadits-hadits shahih. Maka pada hakikatnya meskipun hadits ini riwayatnya dha’if, namun merupakan perpaduan hadits-hadits shahih yang terpecah.
Khutbah akhir Sya’ban Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi Wasallam, seraya menyambut bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخِصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَة فِيْمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ،
قَالُوْا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يفطرُ الصَّائِمُ
فَقَالَ : يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةَ مَاءٍ أَوْ مَذقَةَ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوْكِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ، : خِصْلَتَيْنِ تَرْضْوَنِ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخِصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخِصْلَتَانِ اللَّتَانِ تَرْضَوْنَ بِهِمَا رَبَّكُمْ فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَتَسْتَغْفِرُوْنَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا فَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الْجَنَّةَ وَ تَعُوْذُوْنَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيْهِ صَائِمًا سَقَاهُ اللهُ مِنْ حَوْضِيْ شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Artinya: ”Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan, bulan yang mana Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat (tarawih) di malamnya sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan satu kebaikan (amalan sunnah), maka pahalanya seperti dia melakukan amalan fardhu di bulan-bulan yang lain. Barangsiapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka pahalanya seperti telah melakukan 70 amalan fardhu di bulan lainnya.
Inilah bulan kesabaran dan balasan atas kesabaran adalah surga, bulan ini merupakan bulan kedermawanan dan simpati (satu rasa) terhadap sesama. Dan bulan dimana rizki orang-orang yang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) orang yang berpuasa maka baginya pengampunan atas dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan dia mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa .
Mereka (para sahabat) berkata : “Wahai Rasulullah! tidak semua dari kami mempunyai sesuatu yang bisa diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Rasulullah menjawab: “Allah akan memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau setetes susu”.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Inilah bulan yang permulaannya (sepuluh hari pertama) Allah menurunkan rahmat, yang pertengahannya (sepuluh hari pertengahan) Allah memberikan ampunan, dan yang terakhirnya (sepuluh hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka . Barangsiapa yang meringankan hamba sahayanya di bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.
Dan perbanyaklah melakukan empat hal di bulan ini, yang dua hal dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua hal kamu pasti memerlukannya. Dua hal yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu syahadah (Laailaaha illallaah) dan beristighfar kepada Allah, dan dua hal yang pasti kalian memerlukannya yaitu mohonlah kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka . Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberinya minum dari telagaku, dimana dengan sekali minum ia tidak akan merasakan haus sehingga ia memasuki surga“.
Semoga kita dapat mulai meningkatkan amal ibadah, termasuk puasa sunnah, dan membayar hutang puasa bagi yang belum melunasinya, sebagai tanda bahwa kita bersiap menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. (T/P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan