Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yang bertepatan tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.
Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Artinya: “Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abu Qatadah)
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini dhaif yang kemudian menjadikannya sebagai dalil akan diharamkannya puasa pada hari ini. Namun sebagian ulama yang lain memperbolehkan mengamalkan hadits yang dhaif sekalipun, sebatas hadits itu hanya diamalkan dalam rangka untuk memperoleh keutamaan, dan hadits yang dimaksud tidak memiliki kaitan dengan masalah aqidah maupun hukum.
Ulama Membolehkan Puasa Arafah
Diantara masalah ikhtilaf yang selalu dibesar-besarkan adalah Puasa Arafah. Sebagian kaum muslimin memandang bahwa Puasa Arafah, atau mengkhususkan puasa pada hari Arafah hukumnya haram sebagaimana telah kami sebutkan diawal. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa puasa Arafah adalah boleh bahkan dianjurkan dengan beberapa pertimbangan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Diantara ulama yang memperbolehkan Puasa Arafah adalah Ibnu Muflih, salah satu ulama bermadzhab Hambali , beliau mengatakan bahwa disunnahkan untuk melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah. Lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikianlah yang disepakati mayoritas ulama.
Sementara Imam Nawawi ketika menjelaskan ihwal ini, beliau mengatakan, bahwa hukum puasa ‘Arafah menurut Imam Syafi’I dan sebagian besar ulama madzhab Syafi’iyyah adalah disunnahkan bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, beliau berpandangan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Fadhl:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
Artinya: “Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Hadits lainnya disebutkan oleh Maimunah:
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
Artinya:“Dari Maimunah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan juga riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَصُمْهُ يَعْنِي يَوْمَ عَرَفَةَ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata, aku telah melaksanakan haji bersama Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam sedangkan beliau tidak berpuasa di ‘Arafah, aku juga pernah berhaji bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dia juga tidak berpuasa di ‘Arafah, aku pernah juga berhaji bersama ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan dia tidak berpuasa, demikian juga halnya bersama ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, dia juga tidak berpuasa.”
Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan para ulama, mereka mensunnahkan bagi jama’ah haji untuk tidak berpuasa di ‘Arafah supaya kuat untuk berdo’a.
Berkaitan dengan hal itu, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa mayoritas ulama gemar melakukan puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika mereka berada di ‘Arafah untuk melaksanakan wuquf haji.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Waktu Puasa ‘Arafah
Terjadi ikhtilaf dikalangan para ‘ulama mengenai hal ini, yakni waktu melaksanakan puasa ‘Arafah. Tentu ikhtilaf seperti itu wajar terjadi. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini dan juga ibadah qurban (‘Idul Adha) tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama dalam menentukan permulaan awal waktu Ramadhan dan Syawal.
Sementara ulama lain berpandangan bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah suci yang merupakan bentuk solidaritas dari para jamaah haji. Menurut hemat kami, pendapat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran, hal itu tentu didasarkan dengan beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, telah dijelaskan sebelumnya bahwa puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wukuf di ‘Arafah. Jika para jamaah haji telah wukuf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Dan juga, dalam nash-nash tidak pernah disebutkan secara spesifik terkait waktu puasa ‘Arafah di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa di hari ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Asyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik, yakni pada setiap tanggal 10 Muharram.
Kedua, hari Arafah adalah hari dimana para jamaah haji sedang melakukan wukuf di padang Arafah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam,
فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ
Artinya: “Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” (H.R. Asy-Syafi’iy dan Al-Baihaqy dari Atha’)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ketika mengomentari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah berkata, tidaklah hari berbuka yakni ‘Idul Fitri itu mempunyai pengertian hari pertama bulan Syawwal secara ‘muthlak. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka. Hal itu sesuai dengan dalil hadits yang berbunyi, ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’.
Begitu pula dengan hari penyembelihan. Juga dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah, sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Imam Syaafi’i berkata tentang hadits ini: Maka dengan inilah kami berpendapat.
Inilah landasannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun bergantung pada pelaksanaan wukuf di Padang ‘Arafah.
Realisasi Puasa ‘Arafah
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Sebenarnya, bagaimanapun dan apapun pendapat yang dipilih, asalkan memiliki dasar yang tepat, tentu tidak menjadi sesuatu yang perlu diperdebatkan. Tetapi yang terpenting adalah prakteknya. Bagaimanapun juga, dengan merealisasikan puasa ‘Arafah berarti kita telah menghidupkan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Selain sebagai ladang untuk mengamalkan sunnah Rasulullah, amalan ini juga sebagai bentuk kesungguhan kita untuk turut andil mengikuti acuan perlombaan dalam hal kebaikan yang sedang dilakukan oleh para jamaah haji.
Hikmah Puasa ‘Arafah
Salah satu rahmat, hidayah dan karunia Allah pada hari ‘Arafah ini adalah bahwa seseorang yang melaksanakan puasa pada hari tersebut, Allah akan mengampuni dan menjaganya dari dosa setahun yang lalu serta dosa yang akan datang, maka sudah sepantasnya kita berupaya untuk berpuasa di hari ‘Arafah itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Kemudian hikmah dan keutamaan yang lainnya adalah bahwa dengan berpuasa pada hari ‘Arafah merupakan ganti dari ibadah haji sebagaimana yang dilakukan para sahabat. Tidak bisa dipungkiri, ketika para jamaah haji saling berlomba dalam hal kebaikan saat mereka sedang wukuf di ‘Arafah, maka sudah seharusnya bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan wukuf di ‘Arafah untuk tetap ikut andil dalam perlombaan dalam hal kebaikan ini.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum, keutamaan dan pandangan sebagian ulama yang tentu belum mewakili akan hausnya seorang muslim untuk mendalami ihwal ini. Semoga Allah memudahkan kita dalam urusan serta ibadah kita dan amal ibadah kita diterima disisi Allah. Aamiin (P011/R03)
Sumber: mirajnews.com dan lainnya
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam