Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keutamaan Rajab Sebagai Bulan Haram

Ali Farkhan Tsani - Jumat, 8 April 2016 - 21:31 WIB

Jumat, 8 April 2016 - 21:31 WIB

728 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA), dan Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jabar

Bulan Rajab dalam Kalender Hijriyyah terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban, sebelum Ramadhan. Bulan Rajab seperti juga bulan Muharram termasuk bulan-bulan haram.

Allah menyebutkan di dalam firman-Nya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Para mufassir menjelaskan bahwa empat bulan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Penjelasan itu berdasarkan hadits yang menyebutkan:

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bulan-bulan tersebut dinamakan bulan-bulan haram (suci) untuk memperkuat haramnya dan kesuciannya berperang pada bulan-bulan itu. Maka, pada bulan-bulan tersebut, janganlah seseorang menganiaya diri sediri dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang atau melakukan maksiat pada bulan-bulan itu, karena dosanya lebih besar. Termasuk menganiaya diri adalah melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Ulama terdahulu, Al-Qadhi Abu Ya’la menguraikan, bahwa dinamakan bulan-bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Serta pada bulan-bulan tersebut lebih ditekankan dilarang untuk melakukan perbuatan haram karena mulianya bulan-bulan tersebut. Demikian pula pada bulan-bulan itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa haramnya berperang pada bulan ini adalah mansukh (telah dihapus hukumnya) dan boleh memulai berperang. Yaitu memerangi orang-orang kafir yang memerangi kaum Muslimin pada bulan Rajab dan bulan-bulan haram lainnya, karena adanya dalil-dalil yang umum dalam masalah ini. Namun kesimpulannya adalah bahwa memulai berperang pada bulan Rajab hukumnya haram. Namun jika musuh-musush Islam memerangi kaum Muslimin, atau perang tersebut merupakan kelanjutan dari bulan-bulan sebelumnya, maka tidaklah mengapa berperang pada bulan tersebut.

Amaliyah bulan Rajab

Karena mulianya bulan-bulan tersebut, maka para ulama salaf sangat suka untuk melakukan puasa sunah di dalamnya. Seperti dikemukakan Sufyan Ats-Tsauri, “Pada bulan-bulan haram itu, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Seorang sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan shalih yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”

Demikian halnya dalam keutamaan ibadah, seperti difatwakan Ibnu Rajab bahwa tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq (yakni dengan puasa sebulan penuh pada bulan-bulan itu, Rajab misalnya). Sebab, tiga hari itu adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam.

Demikian pula, maka tidak ada satu shalat pun atau shaum pun yang dikhususkan pada bulan Rajab. Kalau mau melaksanakan shalat sunah, ya shalat sunah sebagaimana biasanya, qabliyah dan ba’diyah, yang mengiringi shalat fardhu. Demikian pula shaum sunah Senin dan Kamis. Maknanya adalah menggemarkan ibadah shalat sunah dan shaum sunah pada bulan-bulan haram, termasuk Rajab.

Hal ini disimpulkan antara lain oleh Ath-Thurthusi yang menyebutkan, “Tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan shalat khusus pada bulan ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh, semoga rahmat Allah pada mereka”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan bulan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu-waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat mengenai hal itu. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin.

Syaikh Sayyid Sabiq  dalam Fiqh Sunnah menyatakan, “Adapun shaum Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan shaum Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.”

Namun demikian, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa kesunahan shaum menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap pekan. Terkait siklus bulanan ini Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping Dzulhijjah, Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram.

Disebutkan dalam  Kitab Kifayatul Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk shaum setelah Ramadhan adalah bulan- bulan haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab dan  Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk shaum adalah bulan Muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Adapun terkait hukum shaum dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi dalam Kitab Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim menyatakan “Memang benar  tidak ada satupun ditemukan hadits shahih mengenai shaum Rajab. Namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyukai shaum dan memperbanyak ibadah pada bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram. Maka selama tidak ada pelarangan khusus memperbanyak shaum dan ibadah pada bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang shaum pada bulan Rajab dan ibadah lainnya pada bulan Rajab.

Ditegaskan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan shaum Rajab tersebut terkategori ke dalam hadits dha’if (lemah atau kurang kuat). Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang shalih telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal-amal utama).

Seperti juga dikatakan Al-Hafidz Al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah yang mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya. Selama hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum dan aqidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal”. 

Keagungan bulan Rajab

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Kata Rajab (رجب) berasal dari lafadz ‘rajjaba-yurajjibu-tarjib’, yang berarti mengagungkan. Ini karena adanya penghormatan orang-orang Arab dahulu pada bulan Rajab.

Karena itu, menjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masa jahiliyyah, ketika memasuki bulan Rajab, para penjaga Ka’bah membuka pintu Ka’bah sepanjang bulan tersebut. Padahal biasanya pintu Ka’bah dibuka pada setiap hari Senin dan Kamis saja.

Tentang keagungan bulan Rajab tersebut, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan keberkahan pada bulan Rajab. Seperti  disebutkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Artinya: Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika masuk bulan Rajab, beliau berdoa yang maknanya: ‘Ya Allah Berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban serta berkahilah kami pada bulan Ramadhan’. (H.R. Ahmad dan Ath-Thabarani. Namun hadits ini dianggap dha’if menurut Syaikh Al-Albany).

Bulan Isra’ Mi’raj

Pada umumnya, terutama di Indonesia, bulan Rajab identik dengan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahui ‘Alaihi Wasallam, yang umumnya dikatakan tanggal 27 Rajab. Walaupun beberapa ulama berselisih pendapat kapan tepatnya terjadinya Isra’ Mi’raj tersebut, karena memang tidak disebutkan secara tekstual di dalam hadits.

Ibnu Rajab menguraikan bahwa memang telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Demikian pula sejenis perayaan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, seperti difatwakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa sebenarnya tidak dikenal dari kalangan ulama kaum muslimin terdahulu setelah jaman sahabat yang menjadikan malam Isra’ Mi’raj memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isra’ Mi’raj untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena juga tidak diketahuinya tanggal yang pasti dari malam Isra’ Mi’raj tersebut.

Peristiwa Isra’ Mi’raj itu sendiri diambil dari dua buah kata yang penuh arti yaitu Isra’ yang berarti “perjalanan malam” dan Mi’raj yang berarti “naik ke langit”. Perjalanan malam yang dimaksud adalah perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi ke Masjidil Aqsa di Al-Quds, Palestina. Dari peristiwa Isra’ Mi’raj inilah umat Islam menerima perintah ibadah shalat fardhu lima waktu sehari semalam.

Maka, dikatakan juga oleh ulama bahwa shalat bagi orang-orang beriman adalah bagai Mi’rajnya, naik ke langit, maknanya ibadah khas kepada Allah. Kiasan ulama tasawuf menyebutkan:

الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Artinya: “Shalat itu adalah mi’raj bagi orang-orang yang beriman”.

Adapun munculnya perayaan Isra’ Mi’raj memang tidak ada dalil dari Al-Quran maupun Al-Hadits yang menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj sebagai salah satu hari besar yang patut diperingati. Juga tidak ada contoh dari Nabi bahwa beliau pernah memperingati atau merayakan Isra’ Mi’raj.

Peringatan Isra’ Mi’raj menurut sebagian kaum Muslimin disebut sebagai masalah muamalah atau masalah non-ibadah mahdhah, yang menurut kaidah fiqih hukum asalnya adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya. Sebagaimana juga Maulid Nabi, yang awal mula digagas Panglima Perang Shalahuddin Al-Ayyubi (1174-1193 M.) untuk menggugah ruhul jihad kaum Muslimin melalui gerakan cinta Nabi.

Demi melihat banyak kaum Muslimin yang mulai mengendur semangatnya berperang melawan kaum Salibis dan mulai lunturnya kecintaan kepada baginda Nabi, maka Shalahuddin menggagas suatu majelis semacam pengajian bertemakan cinta Nabi. Shalahuddin kemudian mengambil tema kelahiran Nabi (Maulid) sebagai titik awal menggelorakan semangat berjuang itu.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Salah satu kegiatannya adalah mengadakan lomba cinta syair atau karya puisi, yang kemudian dimenangkan oleh seorang ulama dan sastrawan bernama Al-Barzanji. Karya syair itu kemudian di kenal sebagai Al-Barzanji yang generasi berikutnya kemudian membacakn Al-Barzanji itu pada peringatan Maulid Nabi.

Dimulai yaitu setelah musim haji tahun 579 H (1183 M), Sultan Salahuddin menginstruksikan agar sekembalinya dari Makkah, para jamaah haji mensosialisasikan hari peringatan Maulid Nabi di daerahnya asalnya masing-masing melalui berbagai kegiatan yang meriah. Tujuannya untuk membangkitkan solidaritas dan semangat perjuangan umat Islam.

Melalui titik awal peringatan Maulid Nabi itulah, kemudian menggelora kembali kaum Muslimin untuk melanjutkan perjuangan mempersatukan langkah, menggalang kekuatan, melawan kaum kuffar. Sampai kemudian tercapailah pembebasan Masjid Al-Aqsha dan wilayah Palestina keseluruhan oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.

Dalam kaitan ukhuwwah islamiyyah itulah, seiring semakin kedewasaan perjuangan kaum Muslimin, maka saatnya lebih memperbesar persamaan, persaudaraan dan persatuan kesatuan, dengan saling memahami perbedaan, tanpa harus saling bermusuhan. (P4/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Kolom
Kolom
Kolom
Tausiyah
Indonesia